October 31, 2019

Tisu Basah untuk Menghilangkan Najis

Tisu Basah untuk Menghilangkan Najis
TISU BASAH APAKAH BISA MENYUCIKAN / MENGHILANGKAN NAJIS, BISAKAH?

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu

Ustadz saya ingin menanyakan

1.apakah wet tissue ( tissue basah bayi ) bisa digunakan untuk mensucikan najis seperti di tangan , bangku, handphone ( najis hukmiah) karena walau saat ini ada yang air murni 99% dan tanpa ada kandungan alkohol, tapi masih ada campuran 1% zat lain seperti anti septik, mohon disertakan dalilnya juga

2. Bagaimana mengqodo puasa pada penderita penyakit kronik seperti autoimun yang sakit seumur hidupnya kadang sehat tapi lebih banyak tidak sehatnya apakah diperbolehkan mencicil puasa sesuai kemampuannya diniatkan sampai selesai dan tetap membayar fidyah sepanjang tahun belum terbayar?

Apakah pembayaran fidyah harus dibayar tiap tahun? Atau yang sudah dibayar fidyah tahun lalu tidak perlu di bayar fidyah lagi ditahun selanjutnya tetapi tetap hanya membayar mengqodo puasa?
Terimakasih ustadz

JAWABAN

1. a) Wet tissue atau tisu basah tidak bisa digunakan untuk menghilangkan najis karena ia tidak termasuk ke dalam kategori air mutlak yang suci dan menyucikan, demikian menurut pandangan mayoritas ulama dari madzhab empat. Karena, yang bisa dijadikan alat menyucikan dan menghilangkan najis hanyalah air mutlak yakni air yang tidak kecampuran apapun kecuali sedikit.

Dalam QS Al-Furqan 25:48 Allah berfirman:

وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُوراً [الفرقان:48].

Artinya: Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih, (25:48)

Dalam QS Al-Anfal 8:11 Allah berfirman:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِه [الأنفال:11].

Artinya: dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.

Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk, hlm. 1/96, menjelaskan makna ayat di atas sbb:

فذكره سبحانه وتعالى امتنانا فلو حصل بغيره لم يحصل الامتنان: وبحديث أسماء المذكور وتقدم بيان وجه الدلالة: ولأنه لم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم إزالة النجاسة بغير الماء ونقل ازالتها بالماء ولم يثبت صريح في ازالتها بغيره فوجب اختصاصه إذ لو جاز بغيره لبينه مرة فأكثر ليعلم جوازه كما فعل في غيره

Artinya: ... ayat di atas menjelaskan bahwa najis bisa suci dengan air dan tidak dengan selainnya. Ini juga berdasarkan hadis dari Asma' yang tersebut di atas. Juga, karena tidak ada hadis Nabi yang menyatakan bisanya menghilangkan najis dengan selain air dan adanya hadis yang menyatakan menghilangkan najis dengan air dan tidak ada penjelasan yang tegas atas (bolehnya) menghilangkan najis dengan selain air. Oleh karena itu, maka wajib dikhususkan ke air. Karena, kalau seandainya sah menyucikan najis dengan selain air, niscaya Nabi akan menyebutkannya satu kali atau lebih agar supaya diketahui bolehnya hal itu sebagaimana Nabi lakukan di kasus lainnya.

b) Tisu basah juga tidak bisa menghilangkan najis bahkan untuk cebok BAB (buang air besar) atau kencing. Padahal tisu kering itu dibolehkan khusus untuk cebok sebagai pengecualian karena Rasulullah membolehkan cebok dengan batu, maka tisu kering dianalogikan dengan batu karena ada keserupaan.

Nawawi menyebutkan di dalam Nihayatuz Zain hlm 16 :

وأما شروطه من حيث ذاته فهي أن يكون جامدا طاهرا قالعا غير محترم ولا مبتل ومن المحترم مطعوم الآدميين أو الجن

Artinya: Adapun syarat alat yang digunakan cebok dari segi bendanya adalah harus berupa benda padat, suci, dapat menyerap / membersihkan, tidak dimuliakan dan tidak dibasahi. Termasuk bagian dari benda yang dimuliakan adalah makanan manusia dan Jin.

2. Orang sakit boleh tidak berpuasa. Karena sakit adalah bagian dari udzur yang dibolehkan untuk tidak puasa Ramadan. Kalau sakitnya itu terus menerus terjadi sampai di luar Ramadan dan tidak bisa sembuh, maka ia boleh tidak mengqodo puasa dan diganti dengan membayar fidyah (tebusan pengganti) yang nilainya 1 mud (sekitar 700 gram beras) setiap hari yang ditinggalkan dan diberikan pada orang miskin. Baca detail: Puasa Ramadan

October 21, 2019

Anak Kandung Jadi Wali Nikah Ibunya, Bolehkah?

ANAK KANDUNG BOLEHKAN MENJADI WALI NIKAH IBUNYA?

assalaamu'alaikum.
Ustadz saya ingin bertanya, begini ustadz, saya seorang janda dengan 1 anak laki laki berusia 7 tahun tp anak saya kondisi fisiknya hiperaktif dan cacat suara atau tidak bisa berbicara layaknya anak normal lainnya. kemudian, status anak saya adalah anak luar nikah karena dulu waktu saya menikah dengan ayah biologisnya saya sudah mengandung anak saya ini yang berusia 6 bulan. pertanyaannya ustadz :

1.apakah anak saya bisa menjadi wali nikah bagi saya ketika saya menikah?
2.apakah anak saya bisa menjadi imam shalat bagi saya?.

sekian ustadz beberapa pertanyaan saya, terima kasih banyak sebelumnya atas perhatian dan jawaban ustadz... segala puji bagi Allah tuhan seluruh alam.

JAWABAN

1. Ulama berbeda pendapat tentang apakah boleh bagi anak untuk menjadi wali dari ibunya? Madzhab Hanafi dan Maliki menyatakan bisa apabila dia berakal sehat menurut diagnosa dokter. Bahkan anak lebih utama menjadi wali daripada ayahnya.

Sedangkan menurut madzhab Hanbali juga bisa jadi wali, namun lebih utama ayah dibanding anak apabila sama-sama ada.

Sedangkan menurut madzhab Syafi'i, anak tidak bisa menjadi wali ibunya.


Syarat wali nikah sbb:
1. Islam (beragama Islam). Tidak sah wali kafir selain kafir Kitabi (Yahudi dan Kristen boleh menjadi wali).
2. Aqil (berakal sehat). Tidak sah wali yang akalnya rusak.
3. Baligh (sudah usia dewasa) tidak sah wali anak-anak.
4. Lelaki. Tidak sah wali perempuan.
Baca detail: Pernikahan Islam


2. Bisa apabila berakal sehat, dan baik bacaann Fatihah-nya. Baca detail: Bermakmum pada Imam yang Tidak Fasih

PERNAH MENYENGGOL ANJING, APAKAH MASIH NAJIS?

Ass saya mau tanya.
Dulu saya tidak sengaja menyenggol anjing dan saya lupa untuk mensucikan nya. Saat in saya sudah tdak ingat dibagian mana saya terkena anjing dulu. Tapi saya sadar saya sampai saat in saya belm mensucikan nya. Karna saya lupa di bagian mna.
Bagaimana solusii nya ya. Tolong d bantu. Ok terimakasihh.

JAWABAN

Status najisnya anjing masih menjadi perbedaan di kalangan empat madzhab fikih. Tiga madzhab fikih (Syafi'i, Hanafi, Hambali) berpendapat bahwa anjing itu najis. Namun bagian mana yang najis juga masih diperselisihkan. Yang paling ketat adalah madzhab syafi'i yang menyatakan bahwa seluruh bagian tubuh anjing adalah najis. Sedangkan dua madzhab yang lain menyatakan bahwa yang najis adalah air liurnya.

Perlu dicatat, bahwa menurut madzhab Syafi'i sekalipun, najisnya anjing itu baru menular apabila salah satu atau kedua pihak ada yang basah.

Jadi: a) Badan anda tidak najis apabila saat bersenggolan dengan anjing itu badan anda dan tubuh anjing itu dalam keadaan kering. Ini pandangan madzhab Syafi'i.
b) Sekalipun salah satu antara anda dan anjing itu ada yang basah namun dianggap tidak najis apabila yang tersentuh bukan air liur anjing itu. Ini pandangan madzhab Hanafi dan Hambali.
c) Sementara itu menurut madzhab Maliki, anjing yang hidup itu tidak najis alias suci.

Dengan demikian, dengan mengikuti salah satu pandangan madzhab empat di atas yang dapat memberikan solusi bagi anda, maka tidak ada masalah dengan bagian tubuh anda yang bersenggolan dengan ajing. dengan kata lain, tubuh anda suci dan tidak ada yang perlu dibasuh air. Baca detail: Najis Anjing Menurut Empat Madzhab

WUDHU MEMAKAI AIR SAWAH, MENGAPA TIDAK BOLEH?

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Semoga KSIA semakin sukses dan terus memberi manfaat bagi orang banyak.
Saya ingin bertanya mengenai permasalahan air untuk wudhu. Apakah tidak boleh berwudhu menggunakan air sawah? Kalau tidak boleh alasannya apa? apakah karena airnya dangkal/tidak dibendung dulu atau ada alasan lain?
pernah suatu hari saya mau wudhu di pancuran air yang bersumber dari sawah, tapi dilarang oleh kakak saya karena airnya tidak dibendung/dibikin kolam dulu.

Jazakumullah.
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

JAWABAN

Tidak ada larangan berwudhu dengan air sawah. Karena, hukum asal dari air adalah suci dan menyucikan. kecuali apabila jelas tampak ada najis pada air yang jumlah airnya kurang dari dua kulah. Baca detail: Air Dua Kulah

DAMPAK HUKUM NONTON VIDEO YANG MENGHINA ISLAM

Assalamu'alaikum.apakah seorang muslim yang melihat video yang menghina Islam maka muslim tersebut mendapat dosa murtad?

JAWABAN

Tidak apabila tidak ikut-ikutan menghina. Baca detail: Penyebab Murtad

Namun dia wajib menjauh dari perilaku tersebut. Wajib bagi muslim untuk menjauhi lingkungan pergaulan yang buruk agar tidak tertular energi negatifnya. Baca detail: Wajib Menjauhi Lingkungan Pergaulan Buruk

CANDAIN IBU, APA MURTAD?

Assalamu'alaikum.saat saya buang air besar dan saya ngeden terlalu keras,ibu saya berkata "jangan ngeden,nanti malah ambeien",lalu saya mengejek ibu saya sambil ngeden dengan keras.di Konsultasi Al Khoirot dijelaskan bahwa penyebab murtad adalah "membangkang ajaran agama yang disepakati tanpa udzur". Yang ingin saya tanyakan

1.apakah perilaku saya yang mengejek ibu saya sambil ngeden dengan keras menyebabkan saya mendapat dosa murtad?
2. apakah perilaku saya yang mengejek ibu saya sambil ngeden dengan keras sama saja saya membangkang ajaran agama yang disepakati tanpa udzur?
3.apa maksud " membangkang ajaran agama yang disepakati tanpa udzur"?
4.apa contoh perbuatan yang termasuk " membangkang ajaran agama yang disepakati tanpa udzur"?

JAWABAN

1. Tidak.
2. Tidak.
3. Membangkang maksudnya tidak mengakui perintah atau larangan agama yang semua ulama sepakat atas hukumnya. Misalnya, shalat lima waktu itu wajib menurut semua ulama. Tapi anda tidak menganggapnya wajib. Atau, zina hukumnya haram menurut seluruh ulama (ijmak). Tapi anda menganggap tidak haram. Itu berakibat murtad.
4. Lihat no. 3. Baca detail: Penyebab Murtad

October 19, 2019

Hukum Membakar Al-Quran

HUKUM MEMBAKAR AL QURAN

27. Saat membersihkan lantai dari tumpahan kecap, saya menemukan sebuah logo baju di lantai, bertuliskan nama orang, yang cara ejaannya sama dengan salah satu asmaul husna (yaitu Robbi). Karena agak terburu-buru, saya lalai dan menaruh lagi logo tersebut di lantai, hingga logo tersebut tidak sengaja terkena tissue yang sudah tercemar kecap. Begitu sadar saya mengamankan logo tersebut ke atas meja. Apakah saya sudah berdosa murtad?

JAWABAN

27. Jauh dari dosa murtad. Karena logo itu cuma mirip saja tapi tidak dimaksud sebagai kata Robbi. Kalau seandainya memang ada kata Robbi di lantai, maka hukumnya berdosa membiarkan di lantai tapi tidak sampai berakibat murtad. ِ Asumsi anda terlalu jauh. Kecuali apabila anda dengan sengaja menaruh kata Allah di lantai dan dengan sengaja menginjak-nginjaknya. Ini lain soal.

Idealnya, ketika ada tulisan nama Allah atau Asmaul Husna di lantai, maka hendaknya diambil ditaruh di atas atau dipendam atau dibakar. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Usman bin Affan setelah menulis Al-Quran yang versi standar, maka ia memerintahkan al-Quran versi yang lain untuk dibakar.

Dalam menafsiri hadits tersebut Ibnu Battol menyatakan (lihat, Ibnu Hajar Asqalani, Fathul Bari, hlm. 6/650) :

في هذا الحديث جواز تحريق الكتب التي فيها اسم الله بالنار، وأن ذلك إكرام لها، وصون عن وطئها بالأقدام

Artinya: Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya membakar kitab-kitab yang terdapat nama Allah. Itu termasuk memuliakannya dan memeliharanya dari terinjak kaki.

WAS-WAS (6)

3C. Saat mengalami lonjakan emosi kemarin, istri saya mengucapkan pertanyaan tuduhan dengan kata sharih. Saya menjawab "Saya tidak akan pernah mengerjakan apapun yang dapat membahayakan pernikahan kita/saya"

Sekali lagi dia bertanya dengan kata kinayah. Saya menjawab "Aku mau kamu sama anak-anak di sini (sama aku)."

Keinginan saya adalah mempertahankan pernikahan.

Apakah ada dampaknya?

3D. Saat membacakan ayat pertama surat An-Nas untuk berdoa meminta Allah mengusir was-was saya, ada lintasan jahat yang frontal dengan niat saya. Saya betul-betul ingin bertahan dalam pernikahan dengan istri saya.
Apakah ada dampaknya? Atau karena saya penderita OCD saya dan istri tidak terkena dampak?
Was-wasnya masih terus menyerang saat saya menuliskan ini. Apakah berdampak?

3E. Saat di kantor kelurahan, menunggu sekrah, anak-anak saya kehausan. Istri saya tidak bisa menyalakan kendaraan, untuk mengambil minuman di rumah. Saya bertanya, "Kalau aku idupin mesinnya?"
Apakah ada dampak hukumnya?

3F. Saya sempat berkata pada istri, "Kamu masih bete sama aku." Tujuannya hanya untuk mengkonfirmasi keadaan emosinya. Tidak ada niat lain/tidak ada niat macam-macam. Apakah ada dampaknya?
Saat menuliskan pertanyaan ini, saya sempat menulis secara salah kata kamu dengan kata 'Sa', apakah ada dampaknya?

3G. Sesudah lonjakan emosinya reda, istri saya bertanya apakah saya baik-baik saja. Saya berkata, "I'm okay". Apakah benar tidak ada dampak?

3H. Istri saya mengetahui saya kurang sehat dan menawarkan memijat saya. Saya berkata, "Kamu juga sakit." Apakah ada dampaknya?

3I. Apakah mengklik iklan promo hijab di toko online saat terlintas (mungkin juga karena) menganggap modelnya atraktif bisa berdampak pada pernikahan?
Saat menuliskan pertanyaan ini, sekali lagi ada lintasan tidak sukarela yang mengganggu. Apakah berdampak? Atau karena saya penderita penyakit was-was (awalnya saya tulis tanpa kata 'penyakit') jadi tidak berdampak?

3J. Apakah mengetikkan kata 'merdeka.com' di kolom irl google dapat berdampak hukum?

3K. Saya diserang panik hebat di kantor kelurahan, termasuk saat sekertaris kelurahan menjelaskan bagian mana yang harus ditandatangani pada surat keterangan ahli waris ibu saya. Saya mengucapkan kata 'tanda tangan' dalam keadaan kalut. Apakah berdampak?

5A. Kami memiliki teman yang pernah tinggal bareng dengan pacarnya. Saya dan istri diam-dia menentang perbuatan mereka, tapi kami mengirimi mereka makan dan uang saat mereka dalam kesulitan. Apakah kami termasuk menghalalkan hal haram?
Tepat sesudah menulis kata 'menentang', sekali lagi ada was-was/racun, apakah berdampak apapun?

5B. Seperti orang Indonesia lainnya, kami sering tidak ingat halal-haram saat memberi 'uang terima kasih' di kantor pemerintah, atau saat 'titip sidang' saat kena tilang. Bahkan kadang kami menawarkan, atau berkata 'ga apa apa', saat petugas berbasa-basi menolak. Secara hakiki kami mengakui keharaman suap.
Apakah termasuk menghalalkan hal haram?

6A. Saya dan istri dua kali membelikan anak laki-laki kami jaket yang sebetulnya ditujukan untuk anak perempuan, namun desainnya tidak kentara untuk anak perempuan, karena kualitas dan harganya yang bagus. Sraat itu kami tidak bermaksud menyerupakan anak laki-laki kami dengan anak perempuan. Namun kami sadar jaket itu aslinya untuk anak perempuan, tapi kami berkata tidak apa-apa karena desainnya cukup universal.
Apakah termasuk menghalalkan hal haram?

6B. Dulu saya juga agak sering memakai baju berdesain androgyn (tetap laki-laki tapi lembut), bukan dengan maksud menyerupai perempuan, tapi karena tidak mau memakai sesuatu yang berkesan chauvinist. Apakah berdosa?

10. Dulu kadang saya tidak mengerjakan shalat jum'at dengan alasan sakit. Kalau dipikir ulang, saya sebenarnya saya masih bisa memaksakan diri, sehingga sebenarnya belum mencapai sakit yang menjadi udzur. Istri saya pun kadang menyarankan saya beristirahat karena berpikir saya sudah sakit yang mencapai titik udzur.
Kami berdua mengakui wajibnya shalat jum'at bagi laki-laki. Saya tahu saya berdosa, tapi apakah termasuk kekufuran?

13. Saya pernah berbohong dengan mengatakan 'pernah di sangka pendeta' saat memakai kemeja hitam dan jas hitam. Saya tidak memakai kostum tersebut untuk maksud aneh-aneh, hanya karena suka berpakaian warna gelap. Apakah termasuk kekufuran? Saya tahu bagian berbohongnya merupakan dosa besar.

JAWABAN

3C. Tidak ada dampak.
3d. Tidak berdampak.
3e. Tidak ada dampak.
3f. Tidak ada dampaknya.
3g. Tidak ada.
3h. Tidak ada.
3i. Tidak ada.
3j. Tidak berdampak.
3k. Tidak berdampak.

5a. Tidak termasuk menghalalkan perkara haram.
Tidak ada dampak.

5b. Tidak termasuk menghalalkan. Perlu diketahui bahwa menyuap aparat kadang dibolehkan dalam situasi kita terzalimi. Baca detail: Hukum Korupsi dalam Islam

6a. Tidak termasuk.
6b. Tidak berdosa.

10. Tidak masuk kufur.
13. Tidak termasuk kufur. Terkait bohong, Baca detail: Bohong dalam Islam

Haruskah Jujur Pada Suami Atas Aib Masa Lalu?

HARUSKAH JUJUR PADA SUAMI ATAS AIB MASA LALU?

Assalamualaikum,

Saya seorang istri Dan ibu Dari 1 anak.

Selama ini saya bekerja untuk membantu suami perihal perekonomian keluarga. Saya ikhlas Dan sampai di rumah pun saya tidak pernah mengabaikan tugas Dan kewajiban saya sebagai istri Dan ibu.

Suami setia, hanya saja tidak Ada kepekaan Dan care nya dengan anak apalagi istri. Saya selalu melakukan segala Hal sendiri, sehingga merasa suami tidak hadir walaupun fisik nya Ada di rumah.

Saya sudah berusaha komunikasikan Hal tersebut dengan suami dalam keadaan tenang maupun bertengkar. Hanya saja tidak pernah dihiraukan Karena beliau alasan sudah terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Padahal pekerjaannya freelance Dan di lakukan di rumah.

Anak saya tinggal di rumah orang tua saya. Dan kurang dekat dengan Ayah nya Karena ayah nya kurang bs memanfaatkan waktu dengan anak kami.

Sehingga saya melakukan kesalahan yang fatal, yaitu berselingkuh Dan sempat berzina. Namun saya Dan lelaki itu menyadari kesalahan kami Dan mulai memperbaiki diri dengan menjauh Dan menyudahi kesalahan kami Karena benar benar ingin bertobat. Hanya saja Tiba tiba suami saya mengetahui perselingkuhan yang pernah saya lakukan.

Pada intinya saya murni ingin bertaubat Karena Allah SWT.

Pertanyaan saya

1. Apakah saya harus jujur kepada suami saya pernah berzina?krn suami terus memaksa saya bersumpah dengan Al Quran. Saya khawatir semakin menyakiti hati nya namun saya juga takut dengan adzab krn sumpah palsu.

2. Apakah boleh aib itu tetap saya tutupi Dari suami Karena saya benar benar sudah menyesali Dan dalam proses perbaikan diri sebagai bukti taubat nasuha saya. Namun resiko nya kami bercerai jika saya tidak mau di sumpah dengan alquran.walaupun cerai atau tidak saya tetap Akan perbaiki diri Karena takut pada Allah.
3. Suami sempat menjatuhkan talak lewat wa namun 1 minggu kumudian kami berhubungan biologis. Bagaimana status talak tsb?
4.bagaimana agar taubat saya di terima Allah SWT.

Mohon pencerahan nya.

JAWABAN

1. Menutupi aib adalah wajib. Dan suami tidak berhak untuk menanyakan aib istrinya apalagi menyuruhnya bersumpah, sebagaimana istri tidak berhak untuk menanyakan aib suaminya. Namun, kalau suami memaksa bertanya dan bahkan meminta istri bersumpah, maka ini termasuk dalam kondisi darurat di mana istri dibolehkan untuk berbohong demi menjaga kelestarian rumah tangga. Walaupun seandainya diminta bersumpah dengan Al-Quran. Imam Nawawi dalam Riyadus Solihin, hlm. 6/181, menyatakan:

إن الكلام وسيلة إلى المقاصد، فكل مقصود محمود يمكن تحصيله بغير الكذب يحرم الكذب فيه، وإن لم يمكن تحصيله إلا بالكذب جاز ااكذب

Artinya: Ucapan itu menjadi perantara pada tujuan. Setiap tujuan yang terpuji yang bisa dicapai tanpa berbohong maka haram berkata bohong. Namun apabila tidak bisa mencapai tujuan kecuali dengan berbohong, maka bohong dibolehkan.
Baca detail: Bohong dalam Islam

2. Boleh berbohong termasuk dengan sumpah apabila itu diperlukan. Apabila tujuannya demi mempertahankan rumah tangga sebagaimana diterangkan di jawaban no. 1. Baca detail: Bohong dalam Islam

3. Talak via WA termasuk kategori talak kinayah. Yang baru jatuh talak apabila disertai niat. Silahkan tanya ke suami apakah disertai niat atau tidak. Baca detail: Cerai secara Tertulis

Apabila disertai niat, maka jatuh talak 1. Hubungan intim yang dilakukan seminggu kemudian bisa dianggap sebagai tanda rujuk menurut pendapat sebagian madzhab fikih. Baca detail: Cara Rujuk

4. Baca detail: Cara Taubat Nasuha

PERBEDAAN FATWA AL-KHOIROT

Dengan hormat berikut yg berbeda dengan jawaban atad pertanyaan saya . Dapat di temui di link sebagai berikut

NOTE: perbedaannya pada jawaban diatas diharamkan karena soal aqidah dan harus menolaknya. Mengapa dalam jawaban saya dipersilahkan. Mana yg benar mohon konfirmasinya.

JAWABAN

Kedua pendapat di atas sama-sama benar dan kalau dilihat secara lebih teliti sebenarnya tidak berbeda. Yang berbeda adalah saran akhir yang kami berikan.

Pertama, kedua jawaban kami sama-sama menyatakan bahwa pemberkatan di gereja sama-sama haram hukumnya.
Tanya-Jawab di kasus pertama:
"1. Bagaimana hukumnya dalam Islam mengenai Pemberkatan BODONG (yg mnrt mereka itu) ?
Jawaban: 1. Haram hukumnya. Dan ini termasuk masalah aqidah yang serius karena sudah antar-agama. Anda harus menolaknya dengan resiko gagal menikahinya sekalipun."

Tanya Jawab di kasus kedua (kasus anda):
"3. Namun, Ada permintaan terakhir dari orang tua calon saya yaitu sebelum beragama islam agar dilakukan acara Pemberkatan Nikah secara katolik beda agama terlebih dahulu.

4. Setelah itu baru calon saya pindah agama dan melangsungkan akad nikah dengan saya dan meninggalkan ajaran katolik kedepannya.
Jawab: Kesimpulan: pemberkatan nikah di gereja secara Katolik adalah haram."

Kedua, yang berbeda adalah saran yang kami berikan. Pada kasus pertama, kami sarankan agar tidak dilanjutkan. Sedangkan saran kedua (kasus anda) kami sarankan untuk dilanjutkan. Mengapa berbeda? Karena ada pertimbangan subyektif dari kami terkait potensi masa depan rumah tangga dalam kedua kasus tersebut.

Ketiga, sekedar diketahui dalam masalah fatwa dan pandangan ijtihad para ulama bahwa berbeda dalam fatwa terkait hal yang furu'iyah (masalah fikih) adalah biasa. Dan itu justru menjadi rahmat bagi orang awam. Ketika ulama mujtahid berbeda, maka kita bisa mengambil pendapat dari salahsatunya yang sekiranya dapat memberi solusi pada masalah yang sedang kita hadapi. Ambil misalnya masalah anjing. Sebagian ulama menyatakan najis, sebagian lagi menganggap suci. Baca detail: Najis Anjing Menurut Empat Madzhab

October 18, 2019

Cara Menyucikan Najis Hukmiyah

CARA MENYUCIKAN NAJIS HUKMIYAH

Salam, Ustadz..
Mengenai Cara Menyucikan Najis Hukmiyah sudah dijawab oleh Ustadz beberapa bulan lalu, dan itu cukup jelas. Tapi saya ada pertanyaan lagi, saya pernah dengar seorang Kyai (background madzhab dan kitab kajiannya sama) menerangkan bahwa cara menyucikan najis hukmiyah itu kita pegang segayung air di tangan dan pegang lap di tangan yang lainnya, ketika air dialirkan pada najis itu harus langsung dilap, lalu siram lagi najisnya, langsung lap lagi, begitu seterusnya sampai paling 3x. Jadi jangan dibiarkan air siraman itu menggenang di atas najis hukmiyah tadi. Pertanyaannya ;
1. Bagaimana tanggapan Ustadz Alkhoirot mengenai pendapat itu ?
2. Referensi air bekas siraman najis hukmiyah itu boleh menggenang dan tidak najis itu dalam apa ya ?
3. Apakah najis 'ainiyyah ketika ain najisnya dihilangkan, pakai lap basah (misalnya) tempat yang basah itu harus kering dengan sendirinya atau bisa dikeringkan oleh kita pakai lap kering ?

Terima kasih Ustadz atas jawabannya, Barokallahufiikum..

JAWABAN

1. Cara itu tidak benar. Najis hukmiyah itu cukup dialiri satu kali siraman air. Itu artinya air bekas siraman itu suci hanya saja tidak menyucikan. Sebagaimana air bekas dipakai berwudhu. Keduanya sama-sama disebut air mustakmal. Baca detail: Hukum Air Suci Terkena Bekas Wudhu

2. Di semua kitab fikih madzhab Syafi'i pasti ada. Di bab air suci tapi tidak menyucikan. Misalnya dari kitab Fathul Qarib berikut tentang: 4 Macam Air

Silahkan lihat jenis air ketiga (c). Di situ dijelaskan tentang air mustakmal atau air suci yang tidak bisa menyucikan antara lain: "air yang sudah digunakan untuk menghilangkan najis."

Imam Nawawi dalam kitab Roudotut Tolibin, hlm. 1/28, menjelaskan definisi dan cara menghilangkan najis hukmiyah secara lebih tegas sbb:

فَالْحُكْمِيَّةُ: هِيَ الَّتِي تَيَقَّنَ وُجُودَهَا وَلَا تُحَسُّ، كَالْبَوْلِ إِذَا جَفَّ عَلَى الْمَحَلِّ وَلَمْ يُوجَدْ لَهُ رَائِحَةٌ وَلَا أَثَرٌ، فَيَكْفِي إِجْرَاءُ الْمَاءِ عَلَى مَحَلِّهَا مَرَّةً، وَيُسَنُّ ثَانِيَةً، وَثَالِثَةً

Artinya: Najis hukmiyah adalah najis yang diyakini adanya tapi tidak terlihat. Seperti kencing apabila kering dan tidak ada lagi bau dan bekasnya. Cara menghilangkannya adalah dengan mengalirkan air pada tempat najis satu kali. Sunnah mengalirkan dua kali atau tiga kali.

3. Najis ainiyah yang dihilangkan pakai lap basah, maka statusnya tetap najis. Karena lap basah itu bukan air suci yg menyucikan. Jadi cara menghilangkan najis ainiyah ada dua tahap: pertama, hilangkan benda najisnya (sehingga menjadi najis hukmiyah); kedua, siram satu kali dengan air suci dan menyucikan. Baca detail: Najis dan Cara Menyucikan

Imam Nawawi dalam kitab Roudotut Tolibin, hlm. 1/28, menjelaskan cara menghilangkan najis ainiyah secara detail sbb:

وَأَمَّا الْعَيْنِيَّةُ: فَلَا بُدَّ مِنْ مُحَاوَلَةِ إِزَالَةِ مَا وُجِدَ مِنْهَا مِنْ طَعْمٍ، وَلَوْنٍ، وَرِيحٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَبَقِيَ طَعْمٌ، لَمْ يَطْهُرْ، وَإِنْ بَقِيَ اللَّوْنُ وَحْدَهُ وَهُوَ سَهْلُ الْإِزَالَةِ، لَمْ يَطْهُرْ. وَإِنْ كَانَ عُسْرُهَا، كَدَمِ الْحَيْضِ يُصِيبُ الثَّوْبَ، وَرُبَّمَا لَا يَزُولُ بَعْدَ الْمُبَالَغَةِ، وَالِاسْتِعَانَةِ بِالْحَتِّ وَالْقَرْصِ، طَهُرَ. وَفِيهِ وَجْهٌ شَاذٌّ أَنَّهُ لَا يَطْهُرُ، وَالْحَتُّ وَالْقَرْصُ لَيْسَا بِشَرْطٍ، بَلْ مُسْتَحَبَّانِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ، وَقِيلَ: هُمَا شَرْطٌ، وَإِنْ بَقِيَتِ الرَّائِحَةُ وَحْدَهَا وَهِيَ عَسِرَةُ الْإِزَالَةِ، كَرَائِحَةِ الْخَمْرِ، فَقَوْلَانِ. وَقِيلَ: وَجْهَانِ. أَظْهَرُهُمَا يَطْهُرُ. وَإِنْ بَقِيَ اللَّوْنُ وَالرَّائِحَةُ مَعًا، لَمْ يَطْهُرْ عَلَى الصَّحِيحِ، ثُمَّ الصَّحِيحُ الَّذِي قَالَهُ الْجُمْهُورُ، إِنَّ مَا حَكَمْنَا بِطَهَارَتِهِ مَعَ بَقَاءِ لَوْنٍ أَوْ رَائِحَةٍ، فَهُوَ طَاهِرٌ حَقِيقَةً، وَيُحْتَمَلُ أَنَّهُ نَجِسٌ مَعْفُوٌّ عَنْهُ

Artinya: Najis ainiyah (najis yang terlihat benda najisnya) harus dihilangkan unsur najisnya berupa rasa, warna dan bau. Apabila itu sudah dilakukan lalu masih ada rasanya, maka masih tidak suci. Apabila masih ada warnanya saja, dan itu mudah dihilangkan, maka tidak suci. Apabila sulit menghilangkan warnanya, seperti darah haid yang mengenai baju yang terkadang tidak hilang setelah berusaha keras, dengan cara dikerok atau digosok, maka suci. Mengerok atau menggosok tidak disyaratkan tapi disunnahkan menurut jumhur ulama... Apabila masih tersisa baunya saja dan itu sulit dihilangkan seperti bau alkohol maka ada dua pendapat. Yang paling zhahir, suci. Apabila masih tersisa warna dan bau sekaligus maka tidak suci menurut pendapat yang sahih. Pendapat yang sahih yang dikatakan jumhur ulama adalah bahwa yang kami hukumi suci walaupun ada warna atau bau itu adalah suci secara hakiki atau dianggap najis yang makfu.

Cara menghilangkan najis ainiyah di baju

Imam Nawawi dalam kitab Roudotut Tolibin, hlm. 1/29, selanjutnya menguraikan:

وَقَدْ أَشَارَ إِلَيْهِ فِي (التَّتِمَّةِ) ثُمَّ بَعْدَ زَوَالِ الْعَيْنِ يُسَنُّ غَسْلُهُ، ثَانِيَةً، وَثَالِثَةً، وَلَا يُشْتَرَطُ فِي حُصُولِ الطَّهَارَةِ عَصْرُ الثَّوْبِ عَلَى الْأَصَحِّ، بِنَاءً عَلَى طَهَارَةِ الْغُسَالَةِ. وَإِنْ قُلْنَا بِالضَّعِيفِ: إِنَّ الْعَصْرَ شَرْطٌ، قَامَ مَقَامَهُ الْجَفَافُ عَلَى الْأَصَحِّ، لِأَنَّهُ أَبْلَغُ فِي زَوَالِ الْمَاءِ.

Artinya: Dalam kitab Tatimmah dikatakan: Setelah hilangnya benda najis maka sunnah membasuhnya yang kedua kali dan ketiga kali. Tidak disyaratkan untuk suci memeras baju menurut pendapat yang paling sahih berdasarkan pada sucinya ghusalah. Menurut pendapat yang menyatakan dhaif: memeras baju itu menjadi syarat yang sama dengan kering menurut pendapat yang paling sahih. Karena memeras baju itu lebih kuat dalam hilangnya air.


مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ طَهَارَةِ الْمَحَلِّ بِالْعَصْرِ أَوْ دُونَهُ: هُوَ فِيمَا إِذَا وَرَدَ الْمَاءُ عَلَى الْمَحَلِّ، أَمَّا إِذَا وَرَدَ الْمَاءُ الْمَحَلَّ النَّجِسَ، كَالثَّوْبِ يُغْمَسُ فِي إِجَّانَةٍ فِيهَا مَاءٌ وَيُغْسَلُ فِيهَا، فَفِيهِ وَجْهَانِ: الصَّحِيحُ الَّذِي قَالَهُ الْأَكْثَرُونَ: لَا يَطْهُرُ، وَقَالَ ابْنُ سُرَيْجٍ: يَطْهُرُ، وَلَوْ أَلْقَتْهُ الرِّيحُ فِيهِ وَالْمَاءُ دُونَ قُلَّتَيْنِ، نَجُسَ الْمَاءُ أَيْضًا بِلَا خِلَافٍ

Artinya: Sucinya tempat yang terkena najis dengan cara diperas atau tidak diperas itu dalam konteks apabila air mengalir ke tempat (yg terkena najis). Adapun apabila air datang ke tempat najis, seperti baju yang celup di wadah yang ada airnya dan dibasuh/dicuci di dalamnya maka ada dua pendapat: yang sahih sebagaimana pendapat kebanyakan ulama dan pendapat Ibnu Suraij: suci. Apabila angin membawa benda mutanajis itu ke wadah yang berisi air kurang dua kulah, maka airnya najis tanpa khilaf.

Baca juga: Percikan Kencing Najis yang Dimakfu

Talak dengan Isyarat, Apa Sah?

WAS-WAS TALAK DAN IMAN: TALAK DENGAN ISYARAT BAGI ORANG NORMAL APAKAH SAH?

Bismillahirrahmanirrahiim

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang

Maaf. Tiga hari kemarin serangan paniknya melonjak hebat, baik dari sisi frekuensi maupun intensitasnya.
Seya benar-benar perlu bantuan

26. Saya pernah dijelaskan bahwa suara yang tidak membentuk kata seperti hembusan nafas, helaan nafas, deheman, suara batuk dan lainnya yang sejenis tidak berdampak. Namun hukumnya tidak sama dengan isyarat. Boleh minta penjelasannya?
Sebelumnya saya pernah diberi link tentang masalah ini, namun linknya berbahasa Arab, sehingga saya tidak bisa membacanya


JAWABAN

26. Yang pernah kami jelaskan adalah bahwa hembusan nafas dst dan isyarat itu sama. Dalam arti, sama-sama tidak ada dampak apabila itu dilakukan oleh suami normal. Berikut linknya:

Sebagian kami kutip:
Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj, hlm. 6/435, menyatakan:

" إشارة ناطق بطلاق : لغو ؛ وإن نواه وأفهم بها كل أحد " .

Artinya: Isyarat talak dari orang yang bisa bicara (tidak bisu) hukumnya sia-sia (tidak ada dampak) walaupun seandainya dia berniat talak dan itu dipahami oleh semua orang.

Zakariya Al-Anshari dalam Asnal Matolib, hlm. 3/277, menyatakan:

" لو أشار ناطق بالطلاق ، وإن نوى ، كأن قالت له : طلقني ، فأشار بيده : أن اذهبي : لغا ، وإن أفهم بها كل أحد ؛ لأن عدوله عن العبارة إلى الإشارة : يُفْهِم أنه غير قاصد للطلاق ، وإن قصده بها ؛ فهي لا تقصد للإفهام إلا نادرا ، ولا هي موضوعة له " .

Artinya: Apabila suami yang bisa bicara memberi isyarat talak, walaupun ada niat talak, seperti istri berkata pada suaminya "Ceraikan aku!" lalu suami memberi isyarat dengan tangannya (yang maksudnya): "Pergilah!" maka itu sia-sia. Walaupun setiap orang mengerti pada isyarat itu. Karena, perpindahannya dari ekspresi kalimat pada isyarat menunjukkan bahwa suami tidak bermaksud untuk mentalak. Walaupun ia berniat talak saat berisyarat tersebut. Karena, isyarat itu tidak dimaksud untuk memberi pemahaman keculi dalam kasus langka. Juga, isyarat itu tidak dimaksudkan untuk talak.


WAS-WAS TALAK DAN AKIDAH

1. Sebenarnya saya samar tentang kejadian yang saya akan tanyakan ini. Suatu hari beberapa tahun yang lalu, istri saya marah besar dan mengancam/bermaksud pergi meninggalkan rumah. Saya berkata, "Daripada kamu, yang pergi, mending aku yang pergi."
Saat itu saya tidak tahu tentang lafadz kinayah, dan hanya bermaksud mencegah dia pergi. Saya tidak mau kehilangan dia, di saat yang sama takut dia dan anak terkatung-katung. Saya ingat dengan pasti, saya tidak benar-benar bermaksud pergi (malah saya benar-benar tidak ingin pergi, apalagi mengubah status hukum), dan sesudah kata-kata itu saya berjuang menenangkan dia dan berbaikan. Kami berbaikan beberapa saat kemudian.
Bagaimana hal ini dihukumi?

2A. Maaf bila pertanyaan ini pernah dijelaskan. Tapi saya masih sering gugup. Apakah berkeras melanjutkan mengucapkan kata lafadz kinayah dalam konteks aman (seperti saat menawarkan diri untuk membeli barang), saat sejak sebelumnya ada rasa takut, dihukumi berniat?

2B. Salah satu yang sering terjadi saat ini adalah saya sering khawatir tentang adanya 'niat' saat berbicara dengan kata yang berkonotasi negatif, atau bila intonasinya negatif seperti kesal atau sedih. Seakan kata tersebut termasuk lafadz kinayah, dan seakan ada yang menuduh saya menyengaja.
Misalnya: Suatu saat ketika saya sedang sangat lelah, anak kedua saya mengajak bermain. Saya menjawab 'tired (capek)'. Sejak itu saya dirundung kekhawatiran tentang kondisi niat saya mengucapkan hal tersebut, walau saya berusaha mengabaikan dan berusaha mengingat bahwa saya tidak ada niat apapun.
Hal ini juga terjadi tiap saat saya bermaksud meminta istri mengerjakan sesuatu, atau mengerjakan/mengucapkan sesuatu dalam keadaan pikiran tidak fokus/blank/tergesa-gesa.
Boleh mohon bantuannya?

2C. Beberapa hari terakhir ini tingkat stress sangat tinggi, hingga OCD saya melonjak keterlaluan, sampai level kekalutan berat.
Dalam suatu keadaan, anak kedua saya mencabut kabel data, saya mengeluh "Yaaa!" Tiba-tiba saja saya didera ketakutan hebat bahwa kata tersebut adalah lafadz kinayah, dan ada serangan panik, saya takut saya berniat aneh-aneh saat mengucapkannya. Padahal saya tahu tepat pada saat itu saya sedang menghindari sebuah kata yang saya pikir termasuk lafadz kinayah (mungkin sebenarnya bukan, yaitu kata 'dicabut').
Apakah ada dampak dari kejadian tersebut? Apakah kekalutan hebat tersebut (sudah dua hari) menjadi udzur bagi saya?

2D. Untuk konfirmasi. Istri berbicara dengan kalimat "Sekilas, aku kaya' orang bego mau dinikahin mewah-mewah,..." Tidak sengaja, saya membuat suara tanpa kata-kata saat itu. Apakah ada dampaknya?

2E. Istri saya bertanya bagaimana fia harus melihat dirinya sendiri (dalam hal takdir). Saya merasa tidak punya ilmu, jadi saya menjawab, "Mungkin seharusnya kamu tanyainnya ke yang..." Saya berhenti karena terserang panik. Apakah mungkin ada dampak hukum dari kata-kata saya?

2F. Saat melihat istri saya berbaring di sofa, saya meminta dia kembali ke kamar, dengan kalimat "biar hangat juga". Tadi nya saya hampir berkata "saja" di ujung kalimat. Tapi saya takut kata tersebut berakibat pembatasan, dan saya khawatir takut berdampak. Bagaimana hukumnya?

2G Apakah memindahkan channel tv saat adegan menunjukkan sesuatu yang berkaitan dengan pernikahan (untuk menghindari melihat sesuatu yang mungkin bisa memicu fobia) dapat berdampak hukum?

2H. Istri saya menceritakan keinginan membeli rumah dekat rumah kakak saya, namun karena kadang ada gesekan antara dia dan istri kakak, saya bertanya "apakah bijak kalau kamu lihat [nama istri kakak] tiap hari?" Sebelum mengatakan hal tersebut saya sudah melafalkan niat saya untuk tetap dalam pernikahan kami. Namun ditengah pertanyaan tersebut, ada lintasan yang kemudian saya khawatirkan apakah rasa takut ataukah niat.
Apakah pertanyaan tersebut termasuk lafadz kinayah?
Rasa takut atas lintasan tersebut sangat kuat. Bagaimana hal tersebut dihukumi? Apakah ada dampak?

2I. Apakah saya benar bahwa salah kalimat dalam lintasan/ucapan dalam hati tentang kejadian yang sudah lewat dalam pernikahan tidak berdampak?
Saya sempat hampir terbalik saat menulis hingga hampir saja frase 'yang sudah lewat' ditaruh pada posisi yang menyebabkan kalimatnya bisa berarti lain dan berbahaya. Apakah ada dampaknya?

3A. Bagaimana hukumnya mengucapkan kata yang bisa berarti kata lafadz sharih/kinayah (saya tidak tahu masuk yang mana) namun bisa berarti lain sama sekali? Seperti pada kalimat "Give me a break" atau "Take a break", dalam maksud kata 'istirahat', atau saat meminta istri berhenti mengisengi, atau berhenti membicarakan suatu argumen/topik.
Boleh mohon penjelasannya?

3B. Bila sebuah kata biasa memiliki kesamaan bunyi dengan kata lafadz sharih dalam bahasa lain, bagaimana kata tersebut dihukumi? Misalnya bagaimana dengan kata 'los' yang berarti kios/lapak pasar?

4A. Saat menonton film, kadang ada tokoh malaikat, setan atau jin, yang tentunya tidak dalam konsep yang sesuai iman Islam. Kadang terlintas kalimat pengingkaran, yang di maksud sebenarnya adalah mengingkari hal yang seperti pada film tersebut, tapi yang terbetik pada lintasan tersebut hanya nama objeknya, tidak dilintaskan spesifik kata 'seperti itu', atau 'seperti yang di film itu'. Padahal malaikat, syaithan, atau jin jelas ada. Hal ini tidak diucapkan, hanya ada dalam pikiran, dan segera diluruskan. Apakah termasuk kekufuran?

4B. Bagaimana hukumnya bila terjadi pikiran kufur, bukan was-was sehingga ada unsur kesengajaan, namun tidak bertahan, langsung dibantah sendiri, dan tidak diucapkan/dikerjakan? Apakah masih termasuk yang dimaafkan?

4C. Apabila terjadi kerancuan penggunaan istilah hukum dalam pikiran saat memikirkan sebuah dosa, misalnya saat memikirkan dosa tidak mengerjakan shalat. Apakah ada dampaknya pada perbuatan dosa yang sudah terjadi sebelumnya?

5. Sebulan lalu, istri saya pernah bertanya tentang mandi junub, "yang penting basah kan?" Entah kenapa, mungkin saya lupa, saya menjawab, "iya yang penting teraliri air". Saya segera mengkoreksi dengan kalimat, "yang penting kena air." Kemudian saya bercerita tentang sebuah tulisan yang bercerita bahwa Rasulullah mandi dengan air dari mangkuk besar.
Apakah saya terhitung mengubah-ubah hukum Allah?

6. Istri saya bercerita dia sering merasa disalahkan pada hal-hal kecil, dan ini membuatnya gampang tegang. Saya bertanya "Sama siapa? Sama aku?". Karena merasa dituduh.
Maaf bila pertanyaannya bodoh, tingkat kecemasan saya sedang tinggi. Apakah ini termasuk lafadz kinayah?

7. Apakah ada dampaknya bila suami menjawab dengan kata 'terserah' saat ditanya tentang pilihan aman, seperti tempat makan, tempat liburan, baju yang dipilih atau sebangsanya? Bagaimana hal tersebut dihukumi?

8. Apakah mengucapkan "let's start over" atau terjemahannya dalam bahasa Indonesia, saat berbaikan sesudah pertengkaran dengan istri, berdampak hukum?

9. Apakah memanggil istri dengan sebutan 'girl' berdampak hukum? Maksudnya, dia kan jelas istri saya, bukan lajang

10. Apakah kata 'putus' dihukumi sebagai kata lafadz kinayah?
Saat menonton acara mancing dengan istri, istri berkomentar bahwa pemancingnya harus memakai sarung tangan karena ikannya sangat besar dan kuat. Saya menyetujui dengan berkata "ya itu sakit sekali, bisa putus (jari)". Namun kata jari tersebut tidak diucapkan.
Apakah saya benar beranggapan tidak ada dampak?

11. Beberapa hari yang lalu saya sempat tidak sengaja berkata seperti ini, "ya kalau aku sih bangun jam 2 pagi, karena memang mesti shalat malem." Saya terkejut sendiri. Segera saya luruskan bahwa shalat malam tidak wajib.
Hal ini adalah karena saya terbiasa tidur dulu sebelum shalat isya, dan bangun untuk shalat Isya' dan shalat malam. Jadi sebenarnya yang teringat adalah kewajiban shalat Isya' nya, karenanya kata 'mesti' itu tersebut. Di sisi lain mungkin saya sedang memikirkan keinginan saya untuk lebih disiplin memperbanyak shalat malam.
Bagaimana hukumnya? Apakah saya berdosa?

12. Dalam pembicaraan mengenai Bogor message tentang paradigma wasathiytah, saya menyebut bahwa Islam adalah jalan pertengahan, maksudnya tidak lunak/lemah tapi juga tidak intoleran/radikal. Apakah saya salah berkata demikian?

13. Istri saya juga sempat sekali lagi tidak sengaja menyebut kata 'mungkin' saat membahas sebuah kejadian yang telah terjadi (saat membahas mengenai anak kami yang tidak masuk sekolah pilihan pertama pada PPDB) dengan kalimat "mungkin ini memang yang terbaik." Segera ia koreksi bahwa keputusan Allah pasti yang terbaik. Saya tahu kata mungkin tersebut adalah refleks karena dia tidak mau sok tahu. Apakah ada dosa pada kalimat tersebut?

14. Istri saya pernah membuat suara mengeluh dengan beberapa kali membuat suara dari tenggorokan (seperti mengorok) saat saya bermaksud mengajarinya sebuah doa yang agak panjang. Dia tidak bermaksud menghina doanya, namun dia mengekspresikan ketidaksanggupannya menghafal doa sepanjang itu, dan bila ada nada ejekan, yang dia hina adalah dirinya sendiri. Saya segera menegurnya akan tindakan tersebut. Dan dia beristighfar. Namun apakah perbuatan tersebut termasuk murtad? Istri saya termasuk suka bercanda, namun karena pendidikan agama dari orang tuanya kurang, dan saya pun sangat awam, kadang bercandanya menyerempet mengkhawatirkan.

15. Di waktu lain, hampir dua tahun lalu, saya dan istri membaca posting seorang teman di sosmed tentang pisang sebagai buah yang ada di surga. Saat itu kami belum membaca surat yang dimaksud, sehingga kami dengan bingung berkata bahwa kami belum pernah tahu tentang hal tersebut. Buah yang kami tahu disebut di Al Qur'an adalah buah zaitun, kurma, anggur, buah tin, dan buah Arab lainnya. Namun saat menyatakan pernyataan tersebut, kami melakukannya sambil tertawa. Apakah kami dianggap telah menghina Al Qur'an? Apakah termasuk perbuatan murtad?


16. Sebelum mendapat fatwa KSIA tentang najis hukmiyah, saya sempat membahas masalah yang kami hadapi tersebut. Saya menceritakan pendapat madzhab Syafi'i terkait masalah tersebut. Istri saya sempat keberatan dengan berkata bahwa dia tidak mau ikut pendapat tersebut. Dia sebenarnya belum mengerti pendapat madzhab lain, dia hanya merasa kesulitan mengikuti pendapat madzhab Syafi'i. Pendapat yang dia merasa cocok adalah seperti pendapat madzhab Maliki, namun dia bukan memilih pendapat tersebut karena sudah mengerti (dia bahkan belum tahu pendapat madzhab Maliki tersebut), hanya karena merasa kesulitan saja. Bagaimana hukumnya?

17. Istri saya sempat menonton tayangan tentang desa adat hindu di Bali, lengkap dengan liputan ritual hindu/animis tersebut. Saya sempat melarang, entah karena yakin hal tersebut haram (akibat pengaruh wahabi yang tersisa) atau karena khawatir haram (juga karena sisa paham Wahabi). Dia agak berkeras menonton dan saya biarkan. Akhirnya saya bersyahadat dua kali, awalnya karena takut melakukan perbuatan murtad, sekali lagi karena saya takut telah mengharamkan hal halal.
Apakah saya atau istri melakukan perbuatan dosa?

18. Istri saya sempat bercerita tentang dua artis jepang yang bersahabat dengan menggunakan kata lafadz sharih. Saya tahu bahwa konteksnya bercerita, namun karena saya sedang amat kelelahan, saya tetap agak panik, sehingga saya menjawab dengan menyebut nama salah satu dari artis tersebut. Apakah saya benar bahwa tidak ada dampaknya?

19. Sekali lagi hal ini untuk pegangan saya. Apakah benar bahwa menjawab kata-kata/pertanyaan istri yang tidak ada lafadz sharih ataupun kinayah di dalamya mutlak tidak ada dampak, walau ada serangan panik saat menjawab? (saya sedang kurang sehat) Karena was-was tidak berdampak hukum?
Bagaimana hukumnya menjawab kalimat yang ada lafadz sharih/kinayahnya namun dalam konteks bercerita. Kalau tidak salah, bila yang ada adalah kata lafadz kinayah tidak ada dampak juga secara mutlak?

20A.. Apakah benar, lintasan jahat, keraguan, atau ketakutan apapun tidak berpengaruh pada bagaimana suatu perkara dihukumi?

20B. Dan apakah benar bahwa pikiran rancu/was-was/kekhawatiran mengenai status keislaman di masa lalu tidak berpengaruh atas status keislaman itu sendiri, maupun segala perkara yang terjadi di masa lalu tersebut?

21. Apakah lintasan pikiran yang terjadi saat mengerjakan suatu tindakan nonverbal berpengaruh secara hukum pada pernikahan? Bukankah tidak berpengaruh? Seperti apapun lintasannya.

22. Apakah diperkenankan membuka usaha restoran/rumah makan (halal tentunya) mengingat selalu ada risiko ikhtilath di sebuah restoran.

23. Apakah berkata 'lakum dinukum waliyadin' saat menggambarkan perbedaan pendapat, namun pihak satunya lagi adalah muslim, dihukumi sebagai dosa takfir? Misalnya saat ada perbedaan pandangan mendasar soal politik.

24. Saya dan istri pernah melarang anak sulung bermain di mesjid saat ia masih menggunakan popok dulu sekali, karena beranggapan popok itu isinya najis. Kami hanya berpikir saat itu, najis tidak boleh dibawa masuk mesjid. Apakah kami berdosa mengubah-ubah hukum Allah? Apakah termasuk dosa murtad?

25. Kemarin saya sempat lalai membiarkan anak kedua saya bermain menggunakan sepatu di pojok pelataran mesjid yang sudah masuk batas suci. Tidak ada keinginan saya menghina baitullah. Tidak lama kemudian, saya menyuruhnya membuka sepatu.
Apakah saya sudah menghina rumah Allah? Apakah termasuk dosa murtad?

JAWABAN


1. Tidak ada hukumnya. Dalam arti tidak berpengaruh apapun pada pernikahan anda. Karena ucapan anda bukan pernyataan (Arab: insya'), tapi kalimat kondisional. Dalam kalimat kondisional, yang berdampak hukum apabila dalma bentuk kalimat talak muallaq. Sedangkan kalimat di atas tidak termasuk, karena tidak ada kondisi/syarat yang jelas. Contoh talal muallaq yang jelas: "Kalau kamu ke pasan, maka kamu aku talak." Baca detail: Talak Muallaq dan Cara Rujuk

2a. Ucapan kinayah yang di luar konteks menceraikan istri, seperti dalam kasus anda, itu tidak dianggap apapun. Tidak ada dampak hukum apapun. walaupun seandainya disertai niat. Itu sama dengan ucapan cerita talak. Baca detail: Cerita Talak

2b. Ucapan kinayah di luar konteks menceraikan istri tidak berdampak apapun walaupun seandainya disertai niat. Jadi, niat atau tidak niat tidak ada dampak hukum. Tidak perlu dipikirkan. Sebagaimana ucapan sharih di luar konteks tidak ada dampak hukum.

2c. Tidak ada dampak. Sekali lagi, ucapan kinayah yang di luar konteks tidak ada dampak hukum secara mutlak walaupun seandainya ada niat.

2d. Tidak ada dampak.
2e. Tidak ada.
2f. Tidak ada dampak.
2g. Tidak berdampak.
2h. Bukan kinayah. Seandainya pun kinayah tidak ada dampak karena dalam konteks yang berbeda yakni konteks bercerita.
2i. Benar, tidak ada dampak.

3a. Break dalam contoh di atas bermakna istirahat dan frasanya (give me a break, take a break) bermakna jauh dari kinayah talak. Jadi, tidak ada dampak apapun walaupun seandainya ada niat. Tidak perlu ditakuti.

3b. Tidak ada hukum. Tidak ada dampak.

4a. Tidak (sudah pernah dijelaskan).
4b. Ya, dimaafkan. Lintasan hati dan pikiran terkait dosa tidak dianggap (sudah pernah dijelaskan).
4c. Tidak ada dampak.

5. Tidak dianggap mengubah
6. Tidak masuk kinayah.
7. Tidak ada dampak.
8. Tidak berdampak.
9. Tidak berdampak.
10. Benar. tidak ada dampak.

11. Tidak masalah apalagi yang dimaksud adalah shalat isya'nya. Seandainya pun yg dimaksud adalah shalat sunnahnya itu juga tidak berdosa. Mengatakan "mesti" b ukan berarti mewajibkan perkara yang tidak wajib. Kata 'mesti' di sini bisa dimaksudkan keinginan anda untuk selalu istiqomah shalat malam.

12. Tidak salah. Di Al-Quran sudah disebutkan soal itu. Baca detail: Kriteria Ahlussunnah Wal Jamaah

13. Tidak salah mengatakan demikian. Karena kita tidak tahu secara pasti kehendak Allah itu seperti apa.

14. Tidak termasuk murtad. Dalam soal doa, tidak harus kita hafal. Bisa saja kita membacanya.

15. Tidak termasuk perilaku murtad. Yang dianggap menghina apabila kita tidak percaya pada kandungan ayat Al-Quran dan hadits sahih. Selain itu, perlu juga diketahui bahwa kandungan Al-Quran hendaknya dipahami berdasarkan pemahaman para ulama mufassir, bukan pemahaman sendiri sebagaimana propaganda Wahabi Salafi.

16. Tidak apa-apa. Kalau memang ada pendapat yang memberi solusi, maka bisa mengikuti madzhab tersebut walaupun dia tidak tahu sebelumnya pendapat madzhab apa.

17. Tidak dosa (sudah pernah dijelaskan baik terkait tempat ibadat non-muslim atau masalah ketidaktahuan hukum).

18. Tidak ada dampak.

19. Benar. Ucapan sharih dalam konteks bercerita tidak ada dampak. Begitu juga ucapan kinayah. Bahkan terkait kinayah tidak berdampak secara mutlak (ada niat atau tidak).

20a. Benar (sudah pernah dijelaskan).
20b. Benar. Sudah dijelaskan bahwa status keislaman masa lalu anda aman. Dan itu sudah cukup meyakinkan anda agar tidak perlu lagi kuatir akan status masa lalu anda.

21. Betul, tidak berpengaruh. Apapun bentuk lintasan pikiran itu.

22. Boleh. Ikhtilath yang dilarang itu apabila: a) hanya berduaan (kholwat); b) atau ikhtilath lebih dari dua lawan jenis namun terjadi hubungan yang tidak dibolehkan seperti pergaulan bebas, dll Baca detail: Mahram dalam Islam

23. Tidak. Karena dalam bahasa Arab ada istilah 'takwil' yaitu memaknai suatu pada arti yang lain (bukan arti utama). Jadi, kata lakum dinukum diartikan "ya sudah pendapat sendiri-sendiri saja". Menakwil (memalingkan) suatu kata pada makna yang lain itu umum terjadi termasuk dalam bahasa Arab. Ahli akidah Islam Ahlussunnah wal jamaah biasa mentakwil kata "Allah alal Arasy" (makna literal: Allah di atas Arasy) ditakwil dengan makna: Allah berkuasa atas Arasy.

24. Tidak termasuk mengubah. Itu bisa dianggap sebagai kehati-hatian seorang ayah. Alasan itu tidak salah. Walaupun seandainya di bawa ke dalam masjid juga tidak apa-apa karena Rasulullah pernah melakukannya.

25. Tidak termasuk. Dulu, Rasulullah terkadang shalat dengan memakai sandal. Jadi, sepatu itu sebenarnya suci kecuali terbukti sebaliknya. Namun, kalau takmir masjid melarang menaikkan sandal/sepatu maka tentu kita taati.

October 11, 2019

Kaidah Fikih: Yakin tidak hilang karena Keraguan

Kaidah Fikih: Yakin tidak hilang karena Keraguan
Kaidah kelima: Yakin tidak hilang karena adanya keraguan (اليقين لا يزول بالشك) .

Kaidah ini menjelaskan adanya kemudahan dalam syariah Islam. Tujuannya adalah menetapkan sesuatu yang meyakinkan dianggap sebagai hal yang asal dan dianggap. Dan bahwa keyakinan menghilangkan keraguan yang sering timbul dari was-was terutama dalam masalah kesucian dan shalat. Keyakinan adalah ketetapan hati berdasarkan pada dalil yang pasti, sedangkan keraguan adalah kemungkinan terjadinya dua hal tanpa ada kelebihan antara keduanya.

Maksudnya adalah bahwa perkara yang diyakini adanya tidak bisa dianggap hilang kecuali dengan dalil yang pasti dan faktual (berdasarkan fakta) dan hukumnya tidak bisa berubah oleh keraguan. Begitu juga perkara yang diyakini tidak adanya maka tetap dianggap tidak ada dan hukum ini tidak berubah hanya karena keraguan (antara ada dan tiada). Karena ragu itu lebih lemah dari yakin, maka keraguan tidak dapat merubah ada dan tidak adanya sesuatu.

Dalil yang dipakai untuk kaidah keempat ini adalah berdasarkan pada hadits Nabi di mana seorang lelaki bertanya pada Nabi bahwa dia berfikir apakah dia kentut apa tidak saat shalat. Nabi menjawab: "Teruskan shalat kecuali apabila mendengar suara atau mencium bau (kentut)." (لاينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا)

Kaidah ini masuk dalam mayoritas bab fiqih seperti bab ibadah, muamalah, uqubah (sanksi) dan keputusan. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa kaidah ini mengandung 3/4 (tiga perempat) ilmu fiqih.

DALIL DARI KAIDAH INI

1. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim

أنه شُكِيَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ . قَالَ : (لَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا) . روى البخاري (137) مسلم (361)

Artinya: Dilaporkan pada Nabi seorang laki-laki yang berfikir bahwa dia menemukan sesuatu saat shalat (merasa kentut). Nabi bersabda: "Hendaknya tidak keluar dari shalat kecuali apabila mendengar suara atau yakin mencium bau (kentut)." HR Bukhari no. 137, Muslim no. 361.

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 2/43, menjelaskan maksud hadis ini:

مَعْنَاهُ : يَعْلَم وُجُود أَحَدهمَا ، وَلَا يُشْتَرَط السَّمَاع وَالشَّمّ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ ... وَلَا فَرْق فِي الشَّكّ بَيْن أَنْ يَسْتَوِي الِاحْتِمَالَانِ فِي وُقُوع الْحَدَث وَعَدَمه , أَوْ يَتَرَجَّح أَحَدهمَا , أَوْ يَغْلِب عَلَى ظَنّه , فَلَا وُضُوء عَلَيْهِ بِكُلِّ حَال"

Artinya: Maksudnya ia mengetahui adanya salah satu dari suara kentut atau mencium baunya. Dan tidak disyaratkan mendengar atau menciumnya berdasarkan ijmak ulama ... Tidak ada bedanya dalam soal ragu antara samanya dua kemungkinan atas terjadinya hadas kecil dan tidak adanya hadas, atau unggulnya salah satunya atau dugaannya kuat, maka tidak wajib wudhu dalam keadaan apapun.

2. Hadis riwayat Al-Bazzar

عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (يَأْتِي أَحَدَكُمُ الشَّيْطَانُ فِي صَلَاتِهِ, فَيَنْفُخُ فِي مَقْعَدَتِهِ فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ أَحْدَثَ, وَلَمْ يُحْدِثْ, فَإِذَا وَجَدَ ذَلِكَ فَلَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا) أَخْرَجَهُ اَلْبَزَّار.

Artinya: Dari Ibnu Abbas Rasulullah bersabda: "Setan akan datang pada salah satu dari kalian saat sedang shalat. Lalu setan itu meniupkan sesuatu di perutnya sehingga dia berpikir dia telah hadas padahal tidak hadas. Apabila dia menemukan hal itu, maka hendaknya dia tidak keluar dari shalat sampai mendengar suara (kentut) atau mencium bau (kentut)." HR Al-Bazzar. Hadis ini sahih menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Talkhish Al-Khabir, hlm. 1/128).

Kaidah cabang dari kaidah ini ada 13 sebagai berikut:

1. Yang asal itu tetapnya sesuatu seperti asalnya ( الأصل بقاء ما كان على ما كان).

Contoh: Apabila terjadi keraguan apakah tangan pemilik anjing itu najis atau suci dan tidak ada bukti yang menguatkan, maka statusnya suci karena kembali pada hukum asal dari tubuh manusia adalah suci.

2. Hukum asal adalah bebas dari tanggungan (الأصل براءة الذمة)

Maksudnya:Setiap individu itu bebas dari tanggungan atas hak orang lain.

Setiap individu yang mengklaim sebaliknya, maka dia harus menunjukkan bukti. Kaerna manusia dilahirkan tanpa tanggungan atas orang lain.

Contoh:
1. Apabila seseorang membeli suatu benda, maka dia menjadi pemilik dari benda itu dan berhak untuk memanfaatkannya. Sebagaimana ia juga menjadi pihak yang menanggung madorot dalam membayar harga yang harus dibayarkan untuk memilikinya.

2. Apabila seorang lelaki mengklaim orang lain hutang padanya. Lalu pihak kedua mengingkarinya, maka ucapan pihak kedua yang dianggap dengan disertai sumpah. Karena asalnya adalah bebasnya pihak kedua dari tanggungan. Akan tetapi apabila ada bukti, maka yang dianggap adalah ucapan pihak pertama.


3. Sesuatu yang ada dengan keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan (ما ثبت بيقين لايرتفع إلا بيقين‏)
4. Hukum asal dari sifat dan sesuatu yang baru adalah tidak ada (الأصل في الصفات والأمور العارضة عدمها‏)
5. Hukum asal adalah menyandarkan hal baru pada waktu yang terdekat (الأصل إضافة الحادث إلى أقرب أوقاته)
6. Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh menurut mayoritas ulama (الأصل في الأشياء الإباحة عند الجمهور‏)
7. Hukum asal dari farji atau kemaluan adalah haram (الأصل في الأبضاع التحريم).
8. Tidak dianggap dalil yang berlawanan dengan tashrih (لا عبرة للدلالة في مقابلة التصريح‏).
‎9. Sesuatu tidak dinisbatkan pada orang yang diam (لا ينسب إلى ساكت قول)
‎‎10. Praduga itu tidak dianggap (لا عبرة بالتوهم).
‎11. Perkiraan tidak dianggap apabila sudah jelas kesalahannya (لا عبرة بالظن البين خطؤه‏).
‎12. Orang yang tercegah secara adat, seperti tercegah secara hakikat (الممتنع عادة كالممتنع حقيقة‏)
‎13. Tidak ada argumen yang disertai kemungkinan yang timbul dari dalil (لا حجة مع الاحتمال الناشئ عن الدليل

October 05, 2019

Hukum Cium Tangan

Hukum Cium Tangan
Bagaimana hukum mencium tangan orang yang kita hormati? Seperti orang tua, guru, kyai, ulama, pejabat, dll? Apakah termasuk perbuatan syirik seperti anggapan orang Wahabi Salafi? Ataukah dibolehkan dengan catatan dan syarat tertentu? Bagaimana pandangan ulama Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja)?

HUKUM MENCIUM TANGAN ULAMA DAN ORANG TUA

Hukumnya boleh mencium tangan kedua orang tua, para ulama dan orang soleh berdasarkan beberapa hadis, atsar Sahabat dan pendapat para ulama salaf berikut:

1. Hadits riwayat Abu Bakar bin Al-Muqri dalam bab "Mencium Tangan", hlm. 58. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari 11/57 sanad hadis ini kuat dan baik. Isi hadits:

عن أسامة بن شريك قال: "قمنا إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقبَّلنا يده
Artinya: Kami berdiri di depan Nabi lalu mencium tangan beliau.

2. Hadits riwayat Baihaqi dalam Al-Sunan Al-Kubro hlm. 7/101 dengan sanad dari Tamim bin Salamah. Teks hadits:

لَمَّا قَدِمَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الشَّامَ اسْتَقْبَلَهُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، فَقَبَّلَ يَدَهُ، ثُمَّ خَلَوْا يَبْكِيَانِ". قَالَ: فَكَانَ يَقُولُ تَمِيمٌ: "تَقْبِيلُ الْيَدِ سُنَّةٌ
Artinya: Ketika Umar bin Khattab datang ke Syam (sekarang Suriah), ia disambut oleh Ubaidah bin Al-Jarrah. Al-Jarrah lalu mencium tangan Umar dan keduanya sama-sama menangis. Tamim berkata: Mencium tangan adalah sunnah.

3. Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi, Nasai dan lainnya. Tirmidzi mensahihkan hadis ini dari Sofwan bin Assal. Teks hadits:

قال يهودي لصاحبه: قم بنا إلى هذا النبي، فأتيا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فسألا عن تسع آيات بينات، فذكر الحديث... إلى قوله: فقبلا يده ورجله، وقالا: نشهد أنك نبي الله
Artinya: .. Kedua orang Yahudi itu mencium tangan dan kaki Nabi dan berkata; Kami bersaksi bahwa engkau adalah Nabi Allah.

4. Hadits riwayat Abu Daud

عن أم أبان بنت الوازع بن زارع، عن جدها زارع وكان في وفد عبد القيس، قال: (فجعلنا نتبادر من رواحلنا فنقبل يد رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجله
5. Hadits riwayat Baihaqi

ثم جاء منذر الأشج حتى أخذ بيد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقبلها، وهو سيد الوفد
6. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 11/48

أن أبا لبابة، وكعب بن مالك، وصاحبيه، قبلوا يد النبي صلى الله عليه وسلم حين تاب الله عليهم
7. Hadits (atsar) riwayat Tabrani, Baihaqi, Hakim dari Al-Sya'bi:

أن زيد بن ثابت صلى على جنازة فَقُرِّبتْ إليه بغلتهُ ليركبها فجاء عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، فأخذ بركابه، فقال زيد بن ثابت: خلِّ عنها يا ابن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم. فقال ابن عباس: هكذا أُمِرْنا أن نفعلَ بالعلماء والكبراء، فقبَّل زيد بن ثابت يد عبد الله وقال: هكذا أمِرنا أن نفعل بأهل بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya: … Zaid bin Tsabit mencium tangan Abdullah bin Abbas lalu berkata: Demikianlah kami diprintahkan untuk bersikap pada Ahli Bait Rasulullah.

8. Hadits riwayat Bukhari dari Abdurrohman bin Razzin

أخرج لنا سلمة بن الأكوع كفاً له ضخمة كأنها كف بعير فقمنا إليها فقبلناها
9. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 11/48

وعن ثابت: (أنه قبل يد أنس) وأخرج أيضاً: (أن علياً قبل يد العباس ورجله). وأخرج من طريق أبي مالك الأشجعي: (قلت لابن أبي أوفى: ناولني يدك التي بايعتَ بها رسولَ الله صلى الله عليه وسلم، فناولَنيها، فقبلتُها
Artinya: Tsabit mencium tangan Anas … Ali mencium tangan dan kaki Al-Abbas..

10. Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wal Hidayah, 7/55

في فتح بيت المقدس على يد عمر بن الخطاب رضي الله عنه بعد كلام...: ( فلما وصل عمر بن الخطاب إلى الشام تلقاه أبو عبيدة ورؤوس الأمراء، كخالد بن الوليد ويزيد بن أبي سفيان، فترجَّل أبو عبيدة وترجَّل عمر، فأشار أبو عبيدة ليقبل يد عمر، فهمَّ عمر بتقبيل رِجل أبي عبيدة فكف أبو عبيدة، فكف عمر.
Artinya: … Saat Umar bertemu Abu Ubaidah keduanya sama-sama berjalan kaki.. Abu Ubaidah hendak mencium tangan Umar, sedang Umar ingin mencium kaki Abu Ubaidah.. lalu keduanya saling mencegah..

11. Muhammad Al-Safarini dalam Ghada' Al-Albab Syarah Mandzumat Al-Adab, 1/287

وفي الآداب الكبرى: وتباح المعانقة وتقبيل اليد والرأس تديّناً وتكرّماً واحتراماً مع أمن الشهوة
Artinya: Boleh berpelukan dan menicum tangan dan kepala karena memuliakan asalkan aman dari syahwat.

12. Ibnul Jauzi berkata (sebagaimana dikutip oleh Al-Safarini dalam Ghada' Al-Albab Syarah Mandzumat Al-Adab, 1/287)

ينبغي للطالب أن يبالغ في التواضع للعالم ويذل له، قال: ومن التواضع تقبيل يده. وَقبَّل سفيانُ بن عيينة والفضيلُ بن عياض أحدهما يد الحسين بن علي الجعفي، والآخر رِجْلَه
Artinya: Pelajar atau santri hendaknya meninggikan sikap hormat pada orang alim dan merendahkan diri padanya. Termasuk tanda tawadhu adalah mencium tangannya. ..


HUKUM MENCIUM TANGAN PEJABAT DAN HARTAWAN

Mencium tangan pejabat, orang kaya atau artis hukumnya makruh.

1. Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarah Muhadzab hlm. 4/636 berkata:

يُستحب تقبيل يد الرجل الصالح، والزاهد، والعالم، ونحوهم من أهل الآخرة وأما تقبيل يده لغناه ودنياه وشوكته ووجاهته عند أهل الدنيا بالدنيا ونحو ذلك فمكروه شديد الكراهة
Artinya: Sunnah mencium tangan laki-laki soleh, orang zuhud, orang alim dan ahli akhirat lain. Adapun mencium tangan orang karena harta dan status duniawinya.. maka hukumnya sangat makruh.

2. Abul Ma'ali dalam Syarhul Hidayah (sebagaimana dikutip oleh Al-Safarini dalam Ghada' Al-Albab Syarah Mandzumat Al-Adab, 1/287)

أما تقبيل يد العالم والكريم لرفده فجائز؛ وأما أن تُقَبَّلَ يده لغناه، فقد روي: "من تواضع لغني لغناه فقد ذهب ثلثا دينه"، وقد علمت أن الصحابة قَبَّلوا يد المصطفى صلى الله عليه وسلم، كما في حديث ابن عمر رضي الله عنهما عند قدومهم من غزوة مؤتة
Artinya: … Adapun mencium tangan seseorang karena hartanya maka diriwayatkan: “Barangsiapa tawadhuk pada orang kaya karena hartanya maka hilanglah sepertiga agamanya.” …