February 12, 2019

Masalah Radd dalam Hukum Waris

Masalah Radd dalam Hukum Waris
Masalah Radd dalam Hukum Waris Islam

Radd adalah kebalikan dari al-'aul. Maksudnya, setelah seluruh ahli waris mendapatkan bagiannya, ternyata masih ada kelebihan harta warisan.

Dengan kata lain, apabila ada kelebihan harta warisan padahal semua ahli waris sudah mendapat bagian, maka kelebihan itu dikembalikan (radd) pada ahli waris yang ada; masing-masing menurut kadar bagiannya kecuali suami atau istri yang tidak mendapatkan bagian dari radd ini. Kelebihan harta hanya dikembalikan pada ahli waris lain selain suami atau istri.

Baca juga: Masalah Aul

Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ahli waris telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ahli waris sesuai dengan proporsi atau persentase bagian mereka masing-masing.

Syarat Terjadinya Radd

Ada tiga syarat terjadinya radd yaitu (a) adanya ahli waris bagian pasti (ashhabul furudh); (b) tidak adanya ahli waris ashabah atau sisa; (c) ada sisa harta waris.

Penerima Bagian Pasti yang Bisa Mendapatkan Radd

Penerima bagian pasti yang dapat menerima Radd ada 8 yaitu:

- anak perempuan (binti)
- cucu perempuan keturunan anak laki-laki (bintul ibni)
- saudara kandung perempuan (ukhti syaqiqoh)
- saudara perempuan seayah (ukhti li abi)
- ibu kandung, nenek atau ibu dari bapak (ummul abi)
- saudara perempuan seibu (ukhti li ummi)
- saudara laki-laki seibu (akhi li ummi)

Keadaan Terjadinya Masalah Radd ada 4 (Empat)

Pertama, adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri.
Cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris. Misalnya, seseorang yang wafat meninggalkan tiga anak perempuan. Maka, harta langsung dibagi tiga. Masing-masing mendapat 1/3.

Seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan. Maka, langsung dibagi 10, masing-masing mendapat 1/10.
Kedua, adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri. Maka, nilai pembagi diambil dari nilai pembilangnya, bukan dihitung dari jumlah ahli waris (per kepala).

Contoh, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu 1/6, untuk kedua saudara laki-laki seibu 1/3.

Ketiga, adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
Menjadikan pokok masalahnya dari penerima bagian pasti yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala. Contoh, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan.
Keempat, adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri

Menjadikannya dalam dua masalah. Pada persoalan pertama kita tidak menyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua kita menyertakan suami atau istri. Contoh, Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu.

Contoh riil masalah Radd dan Solusinya

(a) Seseorang meninggal, ahli warisnya adalah anak perempuan dan ibu. Harta warisan senilai Rp. 40 juta.

Cara Penyelesaian:

Bagian anak perempuan 1/2 (setengah) sedangkan ibu 1/6 (seperenam). Asal masalah adalah 6 (enam).

Anak Perempuan = 1/2 x 6 = 3
Ibu = 1/6 x 6 = 1
Jumlah = 4

Asal masalah adalah 6, sedangkan jumlah bagian 4. Maka solusi dengan radd, asal masalahnya dikembalikan kepada 4. Caranya sebagai berikut:

Anak perempuan = 3/4 x 40 Juta = Rp. 30.000 (tigapuluh juta)
Ibu = 1/4 x 40 Juta = Rp. 10.000 (sepuluh juta)

(b) Seseorang meninggal, ahli warisnya adalah istri, 2 orang saudara seibu dan ibu. Harta warisan senilai Rp. 40 juta.
Bagian istri 1/4, 2 orang saudara seibu 1/3 dan ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 12.

Istri = 1/4 x 12 = 3/12
2 saudara = 1/3 x 12 = 4/12
Ibu = 1/6 x 12 = 2/12
Jumlah = 9/12

Karena ada istri sedangkan istri tidak mendapakatkan bagian radd, maka sebelum sisa warisan dibagikan, hak untuk istri diberikan lebih dahulu dengan menggunakan asal masalah sebagai pembagi. Caranya sebagai berikut:

Bagian untuk istri = 3/12 x Rp. 40 Juta = Rp. 10.000.000 (sepuluh juta).

Sisa warisan setelah diberikan pada istri adalah Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta) dibagi untuk 2 orang saudara laki-laki seibu dan ibu. Cara membaginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli waris yaitu 4+2=6. Maka bagian masing-masing adalah :

2 Saudara = 4/6 x Rp. 30.000.000 = Rp. 20.000.000 (dua puluh juta)
Ibu = 2/6 x Rp. 30.000.000 = Rp. 10.000.000 (sepuluh juta)
Jumlah = Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta)

Maka perolehan masing-masing ahli waris adalah :
Istri = Rp. 10.000.000
2 saudara = Rp. 20.000.000
Ibu = Rp. 10.000.000
Jumlah = Rp. 40.000.000 (empat puluh juta)

Semua ashabul furudh (pemilik bagian pasti) dapat memperoleh bagian radd kecuali suami/istri.

Baca juga:

- Masalah Aul
- Ahli Waris Dzawil Arham

Artikel ini dikutip dari buku:
Judul: Hukum Waris Islam
Penulis: A. Fatih Syuhud
Penerbit: Pustaka Al-Khoirot
Tahun terbit: 2018

February 11, 2019

Masalah Aul dalam Hukum Waris

Masalah Aul dalam Hukum Waris

Masalah Aul

Aul artinya bertambah, maksudnya bertambahnya asal masalah (penyebut) dikarenakan jumlah total pembilang bagian ahli waris melebihi jumlah penyebut. Dalam kasus ini, maka penyebutnya disamakan dengan pembilang untuk seluruh bagian ahli waris.

Contoh Aul 1

Seorang wafat, ahli warisnya adalah suami, 2 anak perempuan dan ibu. Maka penghitungannya sebagai berikut: (a) Suami: 1/4; (b) 2 anak perempuan: 2/3; (c) Ibu: 1/6

Untuk menghitung, penyebut dirubah menjadi 12. Maka hasilnya sbb: (a) Suami: 1/4 = 3/12; (b) 2 anak perempuan 2/3 = 8/12; (b) Ibu: 1/6 = 2/12. Jumlah total = 13/12 (pembilang [13] lebih tinggi dari penyebut [12] ini disebut aul).

Disebabkan jumlah pembilang lebih tinggi dari penyebut, maka penyebut bagian ahli waris disamakan dengan pembilang menjadi 13. Menjadi: (a) Suami 3/12 dirubah menjadi 3/13 ; (b) 2 anak perempuan 8/12 dirubah menjadi 8/13; (c) Ibu 2/12 dirubah menjadi 2/13. Sehingga totalnya menjadi pas yaitu 13/13.

Contoh Aul 2

Seorang wafat meninggalkan ahli waris suami, ibu, 2 saudara perempuan kandung. Maka, pembagiannya sebagai berikut: (a) Suami: 1/2; (b) Ibu: 1/6; (c) 2 saudara perempuan kandung: 2/3

Untuk menghitung, penyebut dirubah menjadi 6, maka hasilnya sebagai berikut: (a) Suami 1/2 = 3/6; (b) Ibu 1/6 = 1/6; (c) 2 saudara kandung perempuan 2/3 = 4/6. Jumlah total: 8/6. (pembilang lebih tinggi dari penyebut ini disebut aul).

Disebabkan jumlah pembilang lebih tinggi dari penyebut, maka penyebut bagian ahli waris disamakan dengan pembilang menjadi 8. Menjadi: (a) Suami 3/6 dirubah menjadi 3/8; (b) Ibu 1/6 dirubah menjadi 1/8; (c) 2 saudara perempuan kandung 4/6 dirubah menjadi 4/8. Sehingga jumlah total menjadi 8/8.

Artikel ini dikutip dari buku:
Judul: Hukum Waris Islam
Penulis: A. Fatih Syuhud
Penerbit: Pustaka Al-Khoirot
Tahun terbit: 2018

PEMBAHASAN AUL DALAM KITAB IANAH AT-TALIB FI BIDAYAT ILM AL-FARAIDH


باب العول

العول: هو زيادة في مجموع السهام المفروضة ونقص في أنصباء الورثه.

وذلك عند تزاحم الفروض وكثرتها، بحيث تستغرق جميع التركة ويبقى بعض أصحاب الفروض، بدون نصيب من الميراث.
فنضطر عند ذلك زيادة أصل المسألة، حتى تستوعب التركة جميع أصحاب الفروض، وبذلك يدخل النقص إلى كل واحد من الورثة، ولكن بدون أن يحرم من الميراث.

فالزوج الذي يستحق النصف قد يصبح نصيبه الثلث في بعض الحالات كما إذا عالت المسألة من (6) الى (9) فعوضًا عن أن يأخذ (ثلاثة من سته) وهو النصف يأخذ (ثلاثة من تسعة) وهو الثلث.

وهكذا بقية الورثة يدخل عليهم النقص في أنصبائهم في حالة عول المسألة.

الأصول التي تعول، والأصول التي لاتعول:

التي لاتعول هي (2، 3، 4، 8)
فإذا كان أحد أصول المسألة من هذه الأعداد فإنه لايمكن أن يكون في المسألة عول.

التي تعول هي (6، 12، 24)
فإن لكل أصل من الأصول نوعًا من العول.

فالستة تعول الى (7 وَ 8 و 9 و 10)

والإثنا عشر تعول إلى (13، 15، 17)

والأربعة والعشرون تعول إلى (27) عولاً واحداً فقط.

1 - مثال عن الستة تعول إلى سبعة: زوج وأختان

أصل المسألة من (6) وتعول إلى (7)
للزوج النصف (3)، وللأختين الثلثان (4).

وهي أول مسألة عالت في الإسلام وأول من أعال الفرائض سيدنا عمر -رضي الله عنه- كما روى عن سيدنا ابن عباس -رضي الله عنهما -.

2 - مثال عن الستة تعول إلى ثمانية: زوج وأم وأخت شقيقة أو لأب.

أصل المسألة من (6) وتعول إلى (8)
للزوج النصف (3)، وللأم الثلث (2)، وللأخت الشقيقة أو لأب النصف (3).

وتسمى هذه بالمباهلة

وسبب تسميتها: أنها وقعت في خلافة سيدنا عمر رضي الله عنه فجعلها من ثمانية وبعد موت سيدنا عمر- رضي الله عنه- أظهر الخلاف سيدنا ابن عباس - رضي الله عنهما - فجعل للزوج النصف وللأم الثلث وللأخت مابقي ولا عول - فقيل له لِمَ لم تقل هذا لعمر فقال: (كان رجلاً مهابًا فهبته) ثم قال: (إن الذي أحصى رمل عالج عددا لم يجعل في المال نصفًا ونصفًا وثلثًا، ذهب النصفان بالمال فأين موضع الثلث) ثم قال له علي أو عطاء: (هذا لايغني عنك شيئًا لو قتلت أو مت لقسم ميراثنا على ماعليه الناس) قال ابن عباس -رضي الله عنهما -: (فإن شاؤا فلندع أبناءنا وأبناء هم ونساء نا ونساء هم وأنفسنا وأنفسهم ثم نبتهل فنجعل لعنة الله على الكاذبين). فسميت بذلك المباهلة. (1)

__________

.(1) أفاده صاحب كتاب (الفوائد الجلية). وعزاه إلى الخطيب.

----------


3 - مثال عن الستة تعول إلى تسعة: زوج وأم وأخت شقيقة وأخت لأب وأخت لأم.


أصل المسألة من (6) وتعول إلى (9)
للزوج النصف (3)، وللأم السدس (1)، وللشقيقة النصف (3)، وللأخت لأب السدس (1)، وللأخت لأم السدس (1).
وتسمى هذه المسألة بالغراء لاشتهارها كالكوكب الأغر.

4 - مثال عن الستة تعول إلى عشرة: زوج، وأم، وأخت شقيقة، وأخت لأب، وختين لأم
أصل المسألة من (6) وتعول إلى (10)
للزوج النصف (3)، وللأم السدس (1)، وللأخت الشقيقة النصف (3)، وللأخت لأب السدس تكملة للثلثين (1)، وللأختين لأم الثلث لتعددهن وعدم الحجب (2).
وتسمى هذه المسألة: بأم الفروخ لكثرة مافرخت بالعول.

5 - مثال عن الإثنى عشر تعول إلى (13): في مثل بنتين وأم وزوج.
أصل المسألة من (12) وتعول إلى (13)
للبنتين الثلثين (8) وللأم السدس (2) وللزوج الربع (3).

6 - مثال عن الإثنى عشر تعول إلى (15): في مثل بنتين وزوج وأب وأم.
أصل المسألة من (12) وتعول إلى (15)
للبنتين الثلثين (8) وللزوج الربع (3). وللأب السدس مع التعصيب (2) وللأم السدس (2).

7 - مثال عن الإثنى عشر تعول إلى (17):

مثاله: (3) زوجات، وجدتين، و (8) أخوات لأب، و (4) أخوات لأم.
أصل المسألة من (12) وتعول إلى (17)
للزوجات الربع (3)، وللجدتين السدس (2)، وللأخوات لأب الثلثين (8)، وللأخوات لأم الثلث (4).

وتلقب بالديناريه الصغرى، وسبب تسميتها بالديناريه الصغرى لأن الميت خلف فيها (17) دينارًا وحصل لكل واحدة منهن دينارًا وتلقب أيضًا بأم الأرامل لما فيها من الأرامل، وتلقب أيضًا بأم الفروج لأنوثة الجميع.

8 - مثال عن (24) تعول إلى (27) فقط: زوجة وبنتين وأب وأم. أصل المسألة من (24) وتعول إلى (27):
للزوجة الثمن (3)، وللبنتين الثلثين (16) وللأب السدس (4)، وللأم السدس (4).

وتلقب بالمنبرية لأن الإمام علي -رضي الله عنه- سئل عنها وهو على منبر الكوفة وكان صدر خطبته: (الحمد لله الذي يحكم بالحق قطعًا ويجزي كل نفس بما تسعى واليه المآب والرجعى) فسُئل عنها فقال ارتجالا: (صار ثُمن المرأة تُسعًا) ومضى في خطبته، وتلقب أيضًا بالبخيلة لقلة عولها (1)

________________

.(1) أفاده شيخنا العلامة الشيخ عبد الفتاح راوه - رحمه الله تعالى- في كتابه: (الدرر الؤلؤية).


February 08, 2019

Ahli Waris Dzawil Arham

Ahli Waris Dzawil Arham




Dzawil Arham (Kerabat Non Ahli Waris)

Dzawil Arham (ذوي الأرحام) dalam istilah ahli fiqih adalah kalangan kerabat yang bukan Ahli Waris Ashabul Furudh (bagian pasti) atau Ahli Waris Asabah (bagian sisa); baik laki-laki atau perempuan.[1]

Pandangan Ulama Fikih tentang Dzawil Arham

Mazhab Syafi’i dan Maliki serta Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas berpendapat bahwa dzawil arham tidak mewarisi sama sekali, jadi apabila seseorang meninggal dunia tidak meninggalkan dzawil furud dan ashobah maka harta peninggalannya diserahkan kepada baitul mal dan tidak diberikan kepada dzawil arham. Dalil yang menjadi dasar mereka adalah hadis Nabi Muhammad Saw; “bahwa Rasulullah Saw. mengenakan jubah untuk beristikharah kepada Allah swt, tentang pusaka ‘Ammad dan Khalah. Kemudian Allah memberikan petunjuk bahwa untuk keduanya tidak ada hak pusaka” (HR Sa’ad al Musanadat).
Sedangkan Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hanbal dan kalangan muta’akhirin dari ulama madzhab Maliki dan Syafii, yang dinukil dari pendapat Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khatab berpendapat bahwa dzawil arham itu dapat mempusakai harta peninggalan apabila tidak ada dzawil furud dan ashobah karena dzawil arham lebih diprioritaskan dari baitul mal.[2]

Syarat Dzawil Arham Dapat Warisan

Para ulama mutaakhirin dari kalangan madzhab Syafi'i berpendapat bahwa dzawil arham berhak mendapat warisan dengan syarat:

a.      Tidak ada ahli waris bagian pasti kecuali suami-istri;
b.     Tidak ada ahli waris asobah.
c.      Tidak ada baitul mal yang berfungsi.[3]

Cara Membagi Warisan Ke Dzawil Arham

Dzawil Arham mendapat warisan dengan cara tanzil yakni mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya dan pembagian antara laki-laki dan perempuan statusnya sama.
Pendapat yang menyatakan dzawil arham dapat mewarisi cara pembagiannya adalah dengan memposisikan ahli waris dan mendekatkannya pada mayit. Misalnya cucu perempuan dari anak perempuan menempati posisi anak perempuan.
Sistem tanzil tidak memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para 'ashabahnya. Dengan demikian, sistem ini akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
Untuk memperjelas pemahaman tentang sistem tanzil ini berikut contoh-contoh:

Apabila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara kandung perempuan, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub) disebabkan saudara kandung perempuan di sini sebagai ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya:
Anak kandung perempuan 1/2, Saudara kandung perempuan 1/2, Saudara laki-laki seayah mahjub.
Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah). Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6) bagian secara fardh, dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan seperenam (1/6) bagian sebagai ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan pewaris meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Inilah gambarnya:
Saudara kandung perempuan 3/6, Saudara perempuan seayah 1/6, Saudara perempuan seibu 1/6, paman kandung 1/6
Jadi cara pembagiannya adalah dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris.

Golongan Dzawil Arham

Golongan dzawil arham ada 11 yaitu:[4]

1)    Cucu dari anak perempuan (awladul banat) ke bawah. Yaitu:
a.      Cucu laki-laki (bintul ibni)
b.     Cucu perempuan (bintul binti).
c.      Cicit laki-laki  (ibnu bintil ibni)
d.     Cicit perempuan (bintu bintil ibni).
2)    Anak saudari perempuan / keponakan (awladul akhowat) secara mutlak dan ke bawah. Yaitu:
a.      Anak lelaki dari saudari kandung (ibnul ukhti syaqiqoh),
b.     Anak lelaki dari saudari sebapak (ibnul ukhti li abi)
c.      Anak lelaki dari saudari seibu (ibnul ukhti li ummi)
d.     Anak perempuan dari saudari kandung (bintul ukhti syaqiqoh)
e.      Anak perempuan dari saudari sebapak (bintul ukhti li abi)
3)    Anak perempuan saudara laki-laki / keponakan (bintul akhi) baik kandung, sebapak, atau seibu. Yaitu:
a.      Anak perempuan dari saudara kandung (bintul akhi syaqiq),
b.     Anak perempuan dari saudara sebapak (bintul akhi li abi),
c.      Anak perempuan dari saudara seibu (bintul akhi li ummi)
4)    Anak dari saudara lelaki seibu / keponakan (ibnul akhi dan bintul akhi li ummi) baik keponakan laki-laki atau perempuan. Yaitu:
a.      Anak lelaki dari saudara lelaki seibu (ibnul akhi li ummi),
b.     Anak perempuan dari saudara lelaki seibu (bintul akhi li ummi).
5)    Paman seibu (ammi li ummi) yakni saudara ayah seibu. Yaitu:
a.      Paman seibu (ammu li ummi),
b.     Paman ayahnya mayit (ammi abil mayit),
c.      Paman kakeknya mayit (ammu jaddil mayit) dan ke atas.
6)    Bibi sisi ayah (ammati) secara mutlak. Yaitu:
a.      Bibi kandung (ammati syaqiqoh),
b.     Bibi sebapak (ammati li abi),
c.      Bibi seibu (ammati li ummi),
7)    Anak perempuan dari paman sisi ayah / sepupu (bintul ammi) dan ke bawah. Yaitu:
a.      Anak perempuan dari paman kandung / sepupu (bintul ammi syaqiq),
b.     Anak perempuan dari paman sebapak / sepupu (bintul ammi li abi),
c.      Anak perempuan dari paman seibu / sepupu (bintul ammi li ummi).
d.     Anak perempuannya sepupu laki-laki (bintu ibnil ammi)
8)    Paman sisi ibu (kholi) dan bibi sisi ibu (kholati) secara mutlak, yaitu:
a.      Paman kandung (kholi syaqiq),
b.     Pamak sebapak (kholi li abi),
c.      Paman seibu (kholi li ummi)
d.     Bibi kandung (kholati syaqiqoh),
e.      Bibi sebapak (kholati li abi),
f.       Bibi seibu (kholati li ummi).
9)    Kakek dari ibu (al-jaddul fasid).
10)                        Nenek dari ibu (al-jaddatul fasidah).
11)                        Kerabat yang berkaitan dengan 10 golongan di atas seperti:
a.       Anak lelakinya bibi sisi ayah (ibnul ammati),
b.     Anak lelakinya paman sisi ibu (ibnul kholi),
c.      Bibinya paman sisi ibu (kholatul kholi), dan seterusnya.


[1] Al-Khan dan Al-Bagha, Al-Fiqhul Manhaji ala Madzhab Al-Syafi’i, hlm. 5/190.
[2] Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 3/54.
[3] Al-Khan & Al-Bagha, Al-Fiqh Al-Manhaji ala Madzhab Al-Imam Al-Syafi’I, hlm. 5/190; Khatib Al-Syarbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syujak, hlm. 2/108; Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 3/54.
[4] Khatib Al-Syarbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syujak, hlm. 2/108.

Dzawil Arham

Dikutip dari: Buku Hukum Waris Islam
Penulis: A. Fatih Syuhud
Penerbit: Pustaka Al-Khoirot
Tahun terbit: 2018 

February 07, 2019

Hukum Tajdid Nikah Mbangun Nikah

Hukum Tajdid Nikah Mbangun Nikah
HUKUM MBANGUN NIKAH ATAU TAJDID NIKAH / PEMBAHARUAN AKAD NIKAH

Assalamualaikum. Wr. Wb
Saya 34 taun dan suami saya 30 taun. Dari awal pernikahan sudah terganjal restu dr orangtua suami karena maslah kejawen. Menurut mereka letak rumah saya dan suami bisa membawa petaka dan mengancam keselamatan serta membuat mereka tidak panjang umur.

Pernikahan saya mau 5 tahun dikaruniai 1 anak usia 4 taun, dan tiba2 pihak orangtua dr suami saya meminta suami untuk mengajak 'mbangun nikah",padahal pernikahan kami baik2 saja. Alasan dr orangtua suami adalah agar sejahtera dan untuk keselamatan ke depannya.

Karena saya tidak mau menuruti kemauan mertua, akhirnya mertuapun merujuk pd kalimat yg mengarahkn kami untuk bercerai. Sudah melakukan pertemuan dan pembicaraan spya dapat solusi tetapi mertua tetap kekeh, mereka merasa terancam keselamatannya karena saya tidak mau 'mbangun nikah'. Suamipun tidak bisa memberikan ketegasan karena... Takut durhaka jika menolak 'mbangun nikah' dan diapun tidak mau menceraikan saya karena tidak ada alasan untuk menceraikan.

Sementara suami sya memiliki pola pikir bahwa tidak berdosa melakukan bangun nikah jika terpaksa dan tidak meyakini dan masih mencoba mengajak saya untuk mau melakukan itu. Saya sdh berkonsultasi pd ustad dn tetap disuruh menolak menjalani hal tsb krna dekat dg syirik.

Saat ini saya memilih tinggal bersama dg orang tua saya atas ijin suami, dg niat menennangkan diri. Setlh sebulan suami minta saya kembali pulang..tetapi ketika saya tanya bagaimana soal ketegasan masalah 'mbangun nikah' ternyata suami saya belum punya keputusan.. Jadi dia belum bisa menolak namun dia juga tidak mau menceraikan saya. Akhirnya saya belum mau pulang kerumah.

Pertanyaan saya, apakah bisa saya menolak dinafkahi lahir batin supaya suami berkeputusan? Dan supaya jatuh talak secara agama dg berjalannya waktu berapa lama kah itu?

Bagaimana seharusnya saya bersikap jika suami masih tidak juga tegas..berapa lama saya harus menunggu sehingga talak jatuh? Terima kasih sebelumnya.

Wassalamualaikum. Wrwb

JAWABAN

Sikap anda yang menolak secara tegas untuk melakukan 'mbangun nikah' itu menurut kami kurang tepat dan kurang bijaksana. Dan tampaknya anda berkonsultasi pada ustadz yang kurang pas dalam memberi saran. Tampaknya ustadz yang anda tanyai adalah berasal dari kalangan Wahabi Salafi yang selalu mengaitkan segala hal dengan kesyirikan. Sekedar diketahui, bahwa gerakan Wahabi Salafi bukan bagian dari Ahlussunnah Wal Jamaah menurut Muktamar Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah Dunia di Chechnya. Baca detail: Kriteria Ahlussunnah Wal Jamaah

Kalau dia bukan dari kalangan Wahabi Salafi, maka berarti dia kurang wawasan ilmu syariahnya.

Karena, mbangun nikah atau dalam bahasa Arab disebut dengan tajdid nikah adalah hal yang sudah dibahas oleh para ahli fikih klasik dan itu tidak menjadi masalah.

Berikut pandangan ulama klasik tentang mbangun nikah:

Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat, 874 H/1567 M) dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj, hlm. 7/391, menyatakan:


أَنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدٍ ثَانٍ مَثَلاً لاَ يَكُونُ اعْتِرَافًا بِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ اْلأُولَى بَلْ وَلاَ كِنَايَةَ فِيهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ إِلَى أَنْ قَالَ وَمَا هُنَا فِي مُجَرَّدِ طَلَبٍ مِنْ الزَّوْجِ لِتَجَمُّلٍ أَوْ احْتِيَاطٍ فَتَأَمَّلْهُ.

Artinya: "Sesungguhnya persetujuan murni suami atas aqad nikah yang kedua (memperbarui nikah) bukan merupakan pengakuan habisnya tanggung jawab atas nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari pengakuan tadi. Dan itu jelas ….s/d … sedangkan apa yang dilakukan suami di sini (dalam memperbarui nikah) semata-mata untuk memperindah atau berhati-hati".

Sulaiman Al-Jamal (wafat, 1204 H/ 1789 M) dalam kitab Hasyiyah al-Jamal ala Syarh al-Manhaj, hlm. 4/245, menyatakan:

يستفاد من هذا الحديث ان إعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا للعقد الأول خلافا لمن زعم ذلك من الشافعية قلت الصحيح عندهم انه لايكون فسخا كما قاله الجمهور إهـ

Artinya: Diambil pemahaman dari hadis ini bahwa mengulangi akad nikah dan lainnya tidak merusak akad nikah yang pertama. Ini berbeda dengan pandangan sebagian ulama madzhab Syafi'i. Menurut saya, pendapat yang sahih dalam madzhab Syafi'i adalah bahwa akad nikah yang kedua itu tidak merusak nikah sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

Baca detail: Akad Nikah Dua Kali

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa 'mbangun nikah' itu dibolehkan dalam syariah Islam.

Oleh karena itu, kami sarankan agar anda tidak menolak usulan mertua tersebut. Itu kalau anda masih menginginkan keberlangsungan rumah tangga anda. Anda dan suami hendaknya fokus pada dibolehkan 'mbangun nikah' oleh para ulama untuk tujuan 'berhati-hati dan memperindah nikah' bukan untuk niat yang lain.

Bahwasanya mertua anda punya tujuan lain itu bukan urusan anda berdua. Dalam rumah tangga, sebisa mungkin kita bisa kompromi dalam urusan yang tidak dilarang dalam agama. Itulah esensi penting menuju keharmonisan dalam rumah tangga. Baca detail: Cara Harmonis dalam Rumah Tangga

February 01, 2019

Cara Gugat Cerai dalam Nikah Siri

Cara Gugat Cerai dalam Nikah Siri
CARA GUGAT CERAI (FASAKH NIKAH) PERNIKAHAN SIRRI

Dalam nikah siri, suami bisa menceraikan istrinya secara langsung apabila ingin talak. Namun apabila istri ingin cerai sedangkan suami menolak mentalak istrinya, maka istri bisa melakukan gugat cerai dengan dua cara: a) melakukan isbat nikah ke hakim pengadilan agama sekaligus gugat cera; b) menunjuk seorang muhakkam atau "hakim non-pemerintah" untuk memusukan pernikahan.

Assallamualaikum, Wr. Wb

Saya telah melakukan pernikahan siri tanpa sepengetahuan keluarga... saya menikah Januari 2018 dan saat ini Desember 2018 kondisi saya hamil 6bln dan merencanakan pernikahan resmi...

Tapi pernikanan resmi itu gagal karena tiba-tiba suami merasa anak yg saya kandung bukan anak nya, melainkan anak orang lain... Selama pernikahan saya tdk pernah berselingkuh, saya berubah sikap terhadap suami karena suami sering berbohong dan main fisik terhadap saya... saya selalu di rendahkan bahkan di fitnah...

Tetapi Allah Maha melihat, suatu hari saya mendapat pesan WA dari perempuan yg dekat dengan suami saya dia mengakui kalau suami telah mengucapkan sayang dan sering berkunjung ke rumah perempuan tsb dengan alasan permasalahan rumah tangga bahwa saya telah selingkuh...

Sungguh sakit hati saat kondisi saya hamil, suami tdk mengakui ini anak nya bahkan suami selalu mengelak bersama perempuan tsb.. Padahal bukti chat WA sudah ada dan pihak keluarga akhirnya memutuskan membatalkan pernikahan resmi tsb...

Saya juga meminta talak kepada suami tetapi suami bilang tidak akan pernah mentalak saya... Jika menurut suami saya telah berselingkuh mengapa tidak mau mentalak saya?

Yang saya tanyakan, apa yg harus saya lakukan...??
Suami tidak mau mentalak saya, sedangkan suami sudah membagi hatinya kepada perempuan lain...

JAWABAN

Dalam kasus di atas, anda bisa memilih untuk bersama dia atau meminta cerai. Apabila memilih cerai, dan suami menolak menceraikan, maka ada dua cara untuk melakukannya:

a) Cerai secara resmi. Yakni dengan menghadap ke pengadilan agama melakukan isbat nikah dan sekaligus gugat cerai. Baca detail: Cara Gugat Cerai Nikah Siri dan Isbat Nikah

b) Melakukan gugat cerai dg meminta bantuan pada pegawai PPN (pegawai pencatat nikah) di desa/kelurahan setempat.

c) Mengangkat muhakkam (orang yang dipasrahi jadi hakim seperti ustadz atau kyai) untuk memutuskan perceraian tersebut. Muhakam itu statusnya mirip dengan wali hakim dalam soal pernikahan, sementara muhakam adalah pihak non-pemerintah yang diserahi untuk menjadi "hakim agama swasta" dalam memutuskan pernikahan secara fasakh nikah. Baca detail: Fasakh dalam Gugat Cerai

Dasar dari bolehnya pengangkatan muhakkam gugat cerai ini sbb:

SYARAT BOLEHNYA MENGANGKAT MUHAKAM DALAM GUGAT CERAI (FASAKH NIKAH)

1) Tidak adanya qadhi (hakim agama)

Ba'alawi dalam Bughiyatul Mustarsyidin, hlm. 207, menyatakan syarat bolehnya mengangkat muhakam:

(مسئلة ب س) الحاصل من مسئلة التحكيم ان تحكيم المجتهد فى غير نحو عقوبة الله جائز مطلقا أي ولو مع وجود القاضى المجتهد كتحكيم الفقيه غير المجتهد مع فقد القاضى المجتهد وتحكيم العدل مع فقد القاضى اصلا او طلبه مالا وان قل لا مع وجوده ولو غير اهل بمسافة العدوى . اهـ

Artinya : Masalah tahkim ( membuat muhakam ) bahwa menjadikan muhakam seorang mujtahid ( ahli menggali hukum dari sumbernya ) dalam masalah selain permasalahan yang manjadikan siksa Allah adalah diperbolehkan secara mutlak , meskipun dengan keberadaan seorang qadi (hakim/ penghulu) yang mujtahid. Seperti halnya membuat muhakam seorang yang ahli fiqih namun bukan mujtahid saat tidak adanya penghulu ( qodi ) yang ahli ijtihad dan membuat muhakam seorang yang adil saat tidak adanya penghulu sama sekali atau ada akan tetapi memungut biaya meskipun pungutannya sedikit, tidak saat adanya penghulu meskipun bukan seseorang yang ahli dalam jarak terdekat .

2) Hakim ada tapi meminta upah atau sulit / menolak mengurus masalah.

Istri boleh menggugat cerai (fasakh nikah) melalui muhakam dengan syarat sebagaimana disebut dalam kitab Syarwani, hlm. 8/340, sbb:

(ولا فسخ) بإعسار مهر او نحو نفقة (حتى ) ترفع للقاضى او المحكم (ويثبت) بإقراره او ببينة (عند قاض) او محكم (إعساره فيفسخه) بنفسه او نائبه (او يأذن لها فيه) لانه مجتهد فيه –الى ان قال- فإن فقد قاض ومحكم بمحلها او عجزت عن الرفع اليه كان قال لا افسخ حتى تعطيني مالا كما هو ظاهر استقلّت بالفسخ للضرورة وينفذ ظاهرا (قوله او المحكم) أي بشرطه بأن يكون مجتهدا ولو مع وجود قاض او مقلد وليس فى البلد قاضى ضرورة ع س (قوله مالا) ظاهره وان قل وقياس ما مر فى النكاح من ان شرط جواز العدول عن القاضى للمحكم غير مجتهد حيث طلب القاضى مالا ان يكون له وقع جريان مثله هنا . اهـ . ع ش

Artinya : Tidak boleh fasakh nikah karena tidak dibayarnya mahar atau tidak diberi nafkah kecuali setelah adanya laporan kepada penghulu atau muhakam ( juru putus ) dan menetapkan bukti dengan peryataan dan bukti kepada penghulu atau juru putus ( muhakam ) akan ketidak mampuan suami maka boleh merusak (fasakh) pernikahannya baik dirinya sendiri atau wakilnya atau orang yang di beri izin untuk memutus pernikahannya karena dia seorang mujtahid .... Apabila tidak ada penghulu atau muhakkam di tempat dia berada atau tidak mampu untuk melaporkan masalahnya kepada penghulu seperti ucapan : saya tidak akan memutuskan pernikahan kamu hingga kamu memberikan saya uang seperti yang terjadi maka dia bisa memutuskan pernikahanya sendiri karena darurat dan sah secara dhohir. perkataan : atau juru putus (muhakam) : dengan syaratnya yaitu harus seorang mujtahid meskipun ada penghulu atau stafnya akan tetapi tidak berada di tempat . perkataan : uang : secara dhohir mskipun jumlahnya sedikit disamakan dengan permasalahan yang ada di bab nikah yaitu syarat di perbolehkanya perpindahan wali hakim kepada muhakam selain mujtahid apabila penghulu/ hakim memungut biaya .

3) Suami tidak memberi nafkah, mahar atau bepergian jauh yang lama.

Dalam kitab Bughiyatul Mustarsyidin, hlm. 243, dinyatakan tidak adanya nafkah dari suami bisa menjadi dasar bolehnya gugat cerai.

وافتى به إبن عجيل وابن كثير وابن صباغ والرويانى انه لو تعذر تحصيل النفقة من الزوج فى ثلاثة ايام جاز لها الفسخ حضر الزوج او غاب وقواه ابن الصلاح ورجحه ابن الزياد والطنبدوي والمزجد وصاحب المهذب والكافى وغيرهم فيما اذا غاب وتعذرت النفقة منه ولو بنحو شكاية قال س م وهذا اولى من غيبة ماله وحده المجوز للفسخ اما الفسح بتضررها بطول الغيبة وشهوة الوقاع فلا يجوز اتفاقا وان خافت الزنا فان فقدت الحاكم او المحكم او عجزت عن الرفع اليه كأن قال لا افسخ الا بمال وقد علمت اعساره وانها مستحقة للنفقة استقلت بالفسخ للضرورة .

Artinya: Ibnu Ujail , Ibnu Katsir , Ibnu Shobagh, dan Imam Rayani berfatwa : bahwa seandainya dalam tiga hari suami tidak bisa menghasilkan nafaqoh bagi istrinya maka istrinya boleh mengajukan fasakh ( pemutusan pernikahan / gugat cerai ) baik suami berada dekat dari rumah atau jauh fatwa tersebut di kuatkan oleh Ibnu Sholah dan di unggulkan oleh Ibnu Ziyad . Thombadawi ,Imam Muzadi , pengarang kitab Al Muhadzab (yakni Al-Syirazi) , pengarang kitab al Kafi dan ulama’ lainnya ketika suami dalam keadan pergi jauh sehingga istri sulit mendapatkan nafkah dari suami meskipun hanya sekedar curhatan . Imam Sabramilisi berkata yang demikian itu lebih baik dari tidak adanya harta yang menyebabkan bolehnya istri menggugat cerai suami ( Fasakh nikah ) . adapun gugatan cerai dari istri karena lamanya pergi seorang suami dan keinginan untuk hubungan sex maka tidak diperbolehkan berdasarkan kesepakatan ulama’ meskipun ada kehawatiran terjadi perzinaan ‘ apa bila tidak ada hakim atau muhakam atau istri tidak bisa melaporkan kasusnya pada hakim karena harus membayar sedangkan dia tahu bahwa suaminya tidak mampu memberikan nafkah dan dia berhak mendapatkan nafkah maka boleh hak memutus pernikahan berpindah kepada istri karena dorurot.

KESIMPULAN:

Muhakkam atau hakim non-pemerintah untuk urusan perceraian fasakh dapat diangkat oleh pihak perempuan dengan syarat: a) tidak ada hakim resmi; b) ada hakim resmi tapi sulit mengajukan gugatan; b) suami tidak memberi nafkah atau tidak membayar mahar; d) dalam keadaan darurat di mana hakim dan muhakkam tidak ada, maka istri bisa memutuskan pernikahan sendiri.


Baca detail: Fasakh dalam Gugat Cerai