August 20, 2019

Dalil Waris dalam Quran dan Sunnah

Dalil Waris dalam Quran dan Sunnah
1. Dalil Hukum Waris Islam dalam Quran dan Sunnah

a) QS An-Nisa' 4:11

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَييْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

b) QS An-Nisa' 4:12

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

c) QS An-Nisa' 4:176

يَسْتَفْتُونَكَ قُلْ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنْ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ

Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.

d) Hadits riwayat Bukhari dan Muslim

أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ

Artinya: Berikan warisan kepada yang berhak, jika masih tersisa maka harta itu untuk keluarga lelaki terdekat.

e) Hadits riwayat Muslim

اِقْسِمُوا الْمَالَ بَيْنَ أَهْلِ الْفَرَائِضِ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ

Artinya: Bagilah harta warisan di antara ahli waris berdasarkan Al-Quran.

Bagian Waris Anak Perempuan (Binti)

Bagian Waris Anak Perempuan (Binti)
2. Bagian Waris Anak Perempuan (Binti) Kandung

a. Anak perempuan mendapat 1/2 (setengah) harta warisan apabila (a) sendirian (anak tunggal);(b) tidak ada anak laki-laki; (c) adanya ahli waris asobah lain (selain anak laki-laki).

b. Anak perempuan Mendapat 2/3 (dua pertiga) apabila (a) dua atau lebih (b) tidak ada anak laki-laki.

Berdasarkan pada QS An-Nisa' 4:11 Allah berfirman:

فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ

Artinya: "dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta."

c. Anak perempuan mendapat bagian asobah (sisa) apabila ada anak laki-laki. Dalam keadaan ini maka anak perempuan mendapat setengah atau separuh dari bagian anak laki-laki.

Sebagaimana disebut dalam QS An-Nisa' 4:11

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Artinya: "Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan"

d. Anak perempuan kandung (binti) mendapat 1/2 dan asobah sekaligus apabila: sendirian atau menjadi pewaris tunggal. Di mana 1/2 pertama sebagai bagian dia yang asal, sedangkan 1/2 sisanya adalah bagian dia karena masalah radd. Dengan kata lain, apabila anak perempuan menjadi pewaris tunggal, maka dia mendapatkan seluruh harta warisan.

e. Anak perempuan kandung (binti) mendapat 2/3 dan asobah sekaligus apabila (a) ada dua anak perempuan atau lebih; (b) tidak ada ahli waris lain.

MAHJUB (TERHALANG / GUGUR)

a) Anak perempuan kandung adalah ahli waris utama sehingga akan selalu mendapat warisan selagi masih hidup dan tidak bisa digugurkan (mahjub) oleh ahli waris lain.

b) Adanya anak perempuan kandung dapat menggugurkan (mahjub) pada ahli waris lain di bawah ini:
- saudara laki-laki seiibu
- saudara perempuan seibu
- cucu perempuan dari anak laki-laki (bintul ibni)

Bagian Waris Anak Laki-Laki (Ibnu)

Bagian Waris Anak Laki-Laki (Ibnu)
1. Bagian Waris Anak Laki-Laki (Ibnu)

Anak laki-laki selalu mendapat asobah atau sisa harta setelah dibagikan pada ahli waris yang lain. Walaupun demikian, anak laki-laki selalu mendapat bagian terbanyak karena keberadaannya dapat mengurangi bagian atau menghilangkan sama sekali (mahjub/hirman) hak dari ahli waris yang lain.

Dalam ilmu faraidh, anak laki-laki disebut ahli waris asobah binafsih (asabah dengan diri sendiri).

1. Dalam kasus di mana anak laki-laki berkumpul dengan anak perempuan, maka keduanya sama-sama mendapat asobah namun anak laki-laki mendapat dua kali lipat dari anak perempuan. Sebagaimana disebut dalam QS An-Nisa' 4:11

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Artinya: "Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan"

2. Dalam keadaan di mana anak laki-laki berkumpul bersama ayahnya pewaris dan ibunya pewaris atau salahsatunya, maka dirinci sbb:

a) Apabila pewaris mempunyai ayah dan ibu yang masih hidup - yang berarti kakek dan neneknya anak pewaris - maka masing-masing mendapat 1/6, sedangkan sisanya yang 2/3 menjadi hak dari anak laki-laki.

b) Apabila pewaris memiliki bapak atau ibu saja, maka salah satu dari keduanya itu mendapat 1/6 sedangkan sisanya yang 5/6 untuk laki-laki.

3. Dalam keadaan anak laki-laki bersama suami atau istri pewaris, maka dirinci sbb:

d) Apabila anak laki-laki bersama dengan istri pewaris, maka istri mendapat 1/8 sedangkan sisanya yang 7/8 untuk anak laki-laki.

e) Apabila anak laki-laki bersama dengan suami pewaris, maka suami mendapat 1/4, sedangkan sisanya yang 3/4 untuk anak laki-laki.

4. Apabila anak lelaki menjadi ahli waris satu-satunya, maka dalam hal ini ia menguasai seluruh harta warisan ayahnya.

MAHJUB (TERHALANG / GUGUR)

- Anak laki-laki kandung adalah ahli waris utama, sehingga ia akan selalu mendapat warisan dalam kondisi apapun dan tidak bisa digugurkan oleh ahli waris lain.

- Adanya anak laki-laki dapat menggugurkan (mahjub) ahli waris lain berikut ini:

a) Cucu laki-laki dari anak laki-laki (ibnul ibni).
b) Cucu perempuan dari anak laki-laki (bintul ibni), dan ke bawah.
c) saudara laki-laki kandung (akhi syaqiq)
d) saudara laki-laki se-ayah (akhi li abi)
e) keponakan laki-laki dari saudara kandung (ibnu akhi syaqiq)
f) keponakan laki-laki dari saudara se-ayah (ibnu akhi li abi)
g) saudara perempuan kandung (ukhti syaqiqah)
h) saudara perempuan se-ayah (ukhti li abi)
i) saudara laki-laki se-ibu (akhi li ummi)
j) saudara perempuan se-ibu (ukhti li ummi)
k) paman kandung dari pihak ayah atau saudara kandungnya ayah (ammu syaqiq)
l) paman se-bapak dari pihak ayah atau saudara sebapaknya ayah (ammu li abi)
m) sepupu laki-laki kandung atau anak paman dari sisi ayah (ibnu ammi)
n) sepupu laki-laki anaknya paman yang merupakan saudara sebapak dengan ayah (ibnu ammi li abi)

Umariyatain Gharawain dalam Hukum Waris

Umariyatain Gharawain dalam Hukum Waris
Masalah Umariyatain (Umar Dua - العمريتين) atau Gharawain

Ada dua kasus yang disebut dengan umariyatain atau gharawain di mana ibu mendapat 1/3 dari sisa jadi bukan 1/3 dari keseluruhan harta. Contoh kasus adalah sbb:

Kasus Pertama:

Seorang perempuan wafat dan ahli warisnya hanya ada 3 (tiga) orang yaitu suami, ibu dan bapak.

Dalam kasus ini, maka suami mendapat 1/2 (setengah harta), ibu mendapat 1/3 (sepertiga) dari sisa yakni 1/3 dari sisa yang setengah setelah diambil suami. Sedang bapak mendapat asabah (sisa).

Kasus Kedua:

Seorang laki-laki wafat sedang ahli warisnya hanya ada 3 (tiga) orang yaitu istri, ibu dan bapak.

Maka dalam kasus ini istri mendapat bagian 1/4 (seperempat), ibu mendapat 1/3 (sepertiga) dari sisa setelah diambil istri. Sedang bapak mendapat bagian seluruh sisanya (asabah).

Perbedaan Ulama Dalam Masalah Umariyatain

Ada dua perbedaan besar tentang berapa bagian ibu dalam masalah Umariyatain ini sbb:

- Pendapat Zaid bin Tsabit dan Umar bin Khattab bahwa ibu mendapat bagian 1/3 (sepertiga) dari sisa. Pendapat ini didukung oleh jumhur (mayoritas) ulama.

Pendapat Abdullah bin Abbas atau Ibnu Abbas bahwa ibu mendapat bagian 1/3 dari seluruh harta warisan.

Asal Istilah:

Asal dari istilah umariyatain atau gharawain. Disebut umariyatain karena yang memutuskan perkara ini pertama kali adalah Umar bin Khatab saat menjadi Khalifah Kedua. Disebut gharawain dari bentuk tunggal gharra' karena sangat populer seperti bintang (al-kawkab al-aghar' - الكوكب الأغر).

Doa Penolak Setan, Guna-guna, Sihir

Doa Penolak Setan, Guna-guna, Sihir
BACAAN DZIKIR PENGUSIR JIN, SETAN DAN GUNA-GUNA (SIHIR), HIPNOTIS, GENDAM, SANTET

1. Membaca isti'adzah yakni Audzubillahi minas Syaitonir Rojim (dalil dasar: QS Fussilat ayat 36 dan An-Nahl ayat 98, 99)

2. Membaca Surah An-Nas dan Al-Falaq saat hendak tidur, setelah shalat fardhu, dan dalam situasi yang kritis dan sulit. Berdasarkan hadits Nabi riwayat Ahmad dan Abu Dawud

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: بَيْنَا أَنَا أَسِيرُ مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم بَيْنَ الجُحْفَةِ وَالأَبْوَاءِ إِذ غَشِيَتْنَا رِيحٌ وَظُلْمَةٌ شَدِيدَةٌ فَجَعَلَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم يَتَعَوَّذ بأَعُوذ برَب الفَلَقِ وَأَعُوذ برَب النَّاسِ وَيَقُولُ: يَا عُقْبَةُ تَعَوَّذ بهِمَا فَمَا تَعَوَّذ مُتَعَوِّذٌ بمِثلِهِمَا قَالَ: وَسَمِعْتُهُ يَؤُمُّنَا بهِمَا فِي الصَّلاَةِ

Artinya: Dari Uqbah bin Amir ia berkata, Saat kami berada di antara Juhfah dan Abwa kami diselimuti angin dan kegelapan yang sangat lalu Rasulullah memohon bantuan pada Allah dengan membaca Surah Al-Falaq dan An-Nas lalu Nabi berkata: Wahai Uqbah, bacalah kedua Surah tersebut maka ia akan dilindungi. Lalu saya mendengar Nabi mengimami shalat dengan membaca kedua Surah tersebut.

3. Membaca ayat Kursi berdasarkan hadits riwayat Bukhari

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ: وَكَّلَنِي رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأَتَانِي آتٍ، فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم-فَقَصَّ الحَدِيثَ- فَقَالَ: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ، لَنْ يَزَالَ مَعَكَ مِنَ الله حَافِظٌ، وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. وَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، ذَاكَ شَيْطَانٌ

Artinya: Abu Hurairah berkata Saya mewakili Rasulullah dalam menjaga zakat Ramadan. Lalu datang padaku seseorang. Dia menawarkan aku makanan yang lalu aku ambil. Aku berkata: Akan aku laporkan tentang dirimu pada Nabi. Lalu Abu Hurairah mengisahkannya pada Nabi. Rasulullah bersabda: Apabila engkau hendak tidur, maka bacalah ayat kursi, maka kamu akan dijaga Allah dan tidak akan didekati setan sampai pagi. Nabi bersabda: Kamu benar dia (yang datang) adalah pembohong. Itu setan.

4. Membaca dua ayat terakhr dari Surah Al-Baqarah yaitu ayat 285 dan 286. Ayatnya sbb:

{آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ [285] لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Artinya: Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". (285)

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (286)

Ini berdasarkan hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim Nabi bersabda:

مَنْ قَرَأ هَاتَيْنِ الآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ البَقَرَةِ، فِي لَيْلَةٍ، كَفَتَاهُ

Artinya: Siapa yang membaca kedua ayat di akhir Surah Al Baqarah pada malam hari, maka itu akan melindunginya dari segala keburukan dengan ijin Allah.

5. Membaca Surah Al-Baqarah
6. Memperbanyak dzikir pada Allah dengan membaca Al-Quran, tahlil (Lailaha illAllah), takbir (Allahu Akbar), tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah)
7. Wudhu dan shalat sunnah terutama saat marah dan nafsu syahwat tinggi.

August 19, 2019

Talak Suami Mabuk, Apakah Sah?

Talak Suami Mabuk, Apakah Sah?
UCAPAN TALAK SUAMI MABUK

Sebenarnya kalau suami ucap cerai dalam keadaan mabuk itu jatuh talak atau tidak ustadz.. yang saya tau dari hadist riwayat abu daud..sahabat nabi ustman bin affan berkata ucapan talak orang mabuk tidak teranggap karena saat itu hilang akal dan kesadaran..apa benar ustadz?

JAWABAN

Talak suami mabuk apakah sah atau tidak masih menjadi perselisihan (ikhtilaf) antara ulama empat madzhab. Anda boleh memilih pendapat yang lebih memberi solusi karena oranbg awam tidak wajib mengikuti satu madzhab tertentu. Baca detail: Orang Awam Tidak Wajib Ikut Satu Madzhab

URAIAN

Pendapat yang menyatakan sahnya talak suami mabuk adalah madzhab Hanafi, Maliki, salah satu pendapat dari madzhab Syafi'i dan Hambali.

Pendapat yang menyatakan bahwa ucapan talak suami mabuk itu tidak sah adalah madzhab Zhahiriyah dan pendapat kedua dari Imam Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal.

Dalam kitab Al Majmuk Syarah Al Muhadzab, hlm. 17/56, dijelaskan:

وان لم يعقل بسبب لا يعذر فيه كمن شرب الخمر لغير عذر فسكر أو شرب دواء لغير حاجة فزال عقله، فالمنصوص في السكران أنه يصح طلاقه.وروى المزني أنه قال في القديم: لا يصح ظهاره، والطلاق والظهار واحد
Artinya: Apabila hilang akalnya suami karena sebab yang bukan udzur seperti minum khamar tanpa udzur lalu ia mabuk atau minum obat tanpa kebutuhan lalu hilang akalnya, maka dalam nash Syafi'i terkait orang mabuk adalah sah talaknya. Akan tetapi Al Muzani meriwayatkan pendapat Imam Syafi'i dalam qaul qadim bahwa zhiharnya tidak sah. Sedangkan talak dan zhihar itu sama.

Secara umum, dalam madzhab Syafi'i ada dua pendapat terkait hal ini sebagaimana disebut dalam kitab Al Majmuk hlm. 17/56 sbb:

فمن أصحابنا من قال: فيه قولان.(أحداهما) لا يصح وهو اختيار المزني وأبى ثور، لانه زائل العقل فأشبه النائم، أو مفقود الارادة فأشبه المكره.(والثانى) أنه يصح، وهو الصحيح، لما روى أبو وبرة الكلبى قال " أرسلني خالد بن الوليد إلى عمر رضى الله عنه فأتيته في المسجد ومعه عثمان وعلى وعبد الرحمن وطلحة والزبير رضى الله عنهم، فقلت ان خالدا يقول: إن الناس قد انهمكوا في الخمر وتحاقروا العقوبة، فقال عمر: هم هؤلاء عندك فاسألهم، فقال على عليه السلام: تراه إذا سكر هذى، وإذا هذى افترى، وعلى المفترى ثمانون جلدة، فقال عمر: أبلغ صاحبك ما قال، فجعلوه كالصاحي " ومنهم من قال: يصح طلاقه قولا واحدا، ولعل ما رواه المزني حكاه الشافعي رحمه الله عن غيره
Pendapat pertama, talaknya tidak sah. Ini adalah pandangan Al Muzani dan Abu Tsaur alasannya karena ia (suami mabuk) sedang hilang akalnya sehingga serupa dengan orang tidur atau hilang kemauannya sehingga serupa dengan orang dipaksa. Pendapat kedua, hukumnya sah dan ini pendapat yang sahih. Berdasarkan hadis riwayta Abu Wabrah Al Kalbi.
Baca detail: Cerai dalam Islam

Al Jaziri dalam Al Fiqh alal Mazhahib Al Arba'ah, hlm. 4/142, menyatakan:

ولا فرق في وقوع طلاق السكران المعتدي بسكره بين أن يصل إلى حد يشبه فيه المجنون فلا يفرق بين السماء والأرض ولا بين الرجل والمرأة أو لا فطلاقه يقع سواء كان في أول سكره أو في نهايته القصوى
Artinya: Tidak ada bedanya dalam segi jatuhnya talak antara suami mabuk yang level mabuknya serupa dengan orang gila atau tidak. Talaknya jatuh sama saja talak itu diucapkan di awal mabuk atau pada puncak mabuknya.

Adapun terkait ucapan Usman bin Affan, maka hal itu betul. Sahabat Usman termasuk yang berpendapat tidak sah. Dalam kitab hadis Sahih Bukhari, hlm 5/2019, al-Bukhari meriwayatkan ucapan Usman dan Ibnu Abbas sbb:

وقال عثمان ليس لمجنون ولا لسكران طلاق وقال ابن عباس طلاق السكران والمستكره ليس بجائز
Artinya: Usman berkata: Orang gila dan orang mabuk tidak sah talaknya. Ibnu Abbas berkata: Talaknya orang mabuk dan dipaksa tidak sah.

August 05, 2019

Hukum Nadzar Puasa pada Hari Tertentu

NADZAR PUASA WAKTU TERTENTU DAN TERLAMBAT, WAJIB QADHA ATAU KAFARAT?

Assalamulaikum, maaf saya sering menggangu waktunya ustad dengan pertanyaan2 krn saya bingung mau tanya kesiapa

saya ada baca ini di website Tanya Jawab Syariah itu ketika org bernazar puasa di bulan tertentu tapi ga terlaksana, dia harus tetap mengqadha+bayar kaffarah.

pertanyaannya
ini hanya berlaku pada org yang ber nazar "puasa pada bulan terntentu" kan ustad?

Tapi sesungguhnya pada dasarnya nazar kalo sudah di bayar kaffarat, maka kewajiban tuntas/selesai.
karna nazarnya di ganti dengan kaffarat(denda pelanggaran)
apakah benar ustad?

wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Hukum Nadzar Puasa pada Hari Tertentu

JAWABAN

Pertama, perlu diketahui bahwa situs tanya jawab yg anda kutip itu dikelola oleh kelompok Salafi Wahabi di Indonesia. Yang dalam berfikih biasanya mengacu pada pandangan
a) para ulama kontemporer mereka seperti Bin Baz, Usaimin, Albani, Al-Fauzan, dll. Baca detail: Gerakan Wahabi dan Ulamanya

b) atau mengutip ulama madzhab Hambali (plus Ibnu Taimiyah) yg notabene merupakan asal dari pandangan fikih mereka walaupun kalau terjadi pertentangan antara ulama kontemporer Wahabi dan mazhab Hambali mereka akan memenangkan pandangan ulama kontemporer.

c) dalam akidah (tauhid) kelompok ini akan berpaham pada akidah Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab yg salah satu ciri khasnya adalah trilogi tauhid uluhiyah rububiyah asma was sifat yg ekstrim itu. Baca detail: Kriteria Ahlussunnah Wal Jamaah

Intinya, berhati-hatilah dalam membaca situs agama online agar akidah dan pemahaman fikih anda tidak terkontaminasi pandangan ekstrim.

Kedua, terkait masalah nadzar, maka yg anda kutip itu memang benar demikian menurut pandangan madzhab Hanbali. Ibnu Qudamah adalah salah satu ulama madzhab Hambali.

Adapun menurut pandangan madzhab Syafi'i, maka Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk, hlm. 9/27, menjelaskan sbb:

ولو عين في نذره يوماً كأول خميس من الشهر أو خميس هذا الأسبوع تعين على المذهب الصحيح وبه قطع الجمهور -أي جمهور الأصحاب من الشافعية- فلا يصح الصوم قبله، فإن أخره عنه صام قضاء سواء أخره بعذر أم لا؛ لكن إن أخره بغير عذر أثم، وإن أخره بعذر سفر أو مرض لم يأثم

Artinya: "Apabila penadzar menentukan nadzar (puasa)nya pada suatu hari tertentu seperti awal hari Kamis bulan ini atau hari Kamis minggu ini, maka ia wajib melakukannya pada hari yang ditentukan tsb menurut madzhab yang sahih (dalam madzhab Syafi'i). Ini pandangan jumhur (mayoritas ulama Syafi'iyah). Oleh karena itu tidak sah berpuasa sebelum hari itu. Apabila mengakhiri dari hari yang ditentukan, maka puasanya menjadi puasa qadha. Baik karena udzur atau tidak udzur. Akan tetapi apabila mengakhirkan tanpa udzur, maka ia berdosa. Apabila ia mengakhirkan karena udzur safar (perjalanan) atau karena sakit, maka tidak berdosa."

Kesimpulan:
a) Orang yang nadzar puasa pada hari tertentu, maka ia wajib melakukannya pada hari yang ditentukan. Tidak boleh dilakukan lebih awal. Apabila dilakukan maka tidak sah. Tidak boleh diakhirkan dari jadwal. Apabila diakhirkan maka puasanya sah dg rincian sbb: (ii) apabila diakhirkan tanpa udzur, maka puasanya sah dan disebut puasa qadha, tidak perlu kafarat, tapi berdosa; (iii) apabila diakhirkan karena udzur, misalnya karena sakit atau perjalanan, maka puasanya sah, tidak perlu kafarat, dan tidak berdosa.

b) Orang yang nadzar seperti di atas lalu tidak mau melaksanakan nadzarnya, maka dia wajib kafarat sebagaimana berlaku pada nadzar-nadzar yang lain.

Baca detail:
- Hukum Nadzar
- Hukum Nadzar dan Sumpah

June 19, 2019

Niat Tanpa Kata Nawaitu (Saya Niat), Apakah Sah?

Niat Tanpa Kata Nawaitu (Saya Niat), Apakah Sah?
Hukum Niat dalam Ibadah Tidak Memakai Kata Saya Niat (Nawaitu), apakah sah?

Seperti saat wudhu cukup berniat "Saya wudhu" bukan "Saya niat wudhu", apakah boleh dan dianggap sah?

Assalamu'alaikum

1. Pak ustadz saya mau bertanya. Ada sebagian orang yang berniat dengan lafadz dalam hati sebagai berikut :

A. Niat saya ( sholat (fardhu atau sunat)/wudhu/mandi wajib/puasa dan ibadah lainnya ) karena Allah

B. Sengaja atau sahaja saya sholat (fardhu atau sunah)/ wudhu/ mandi wajib/ puasa dan ibadah lainnya ) karena Allah

Apakah niat diatas sah untuk beribadah dan sama artinya ?

2. Untuk mengatadi was-was dalam berniat bagaimana pak ustadz ? Sering saya berniat seperti ini "saya niat/berniat (ibadah) karrna Allah" nah pada saat lafadz niat/berniat saya sering was-was takut kalau lafdz yang saya niatkan itu bacaannya buka lafadz "niat" karrna setiap kali saya menyusun huruf dan membayangkan lafadz niatnya sering kali hurufnya abstrak misalnya lafadz yang seharusnya niat karena was-was saya takut lafadznya jadi miat/liat/diat dll sehingga saya sering was-was pada lafadz bagian "niat" tersebut. Maaf kalau penjelasannya "kusut". Pada intinya saya was-was kalau saat melafadz kalimat "niat", susah untuk memfokuskan agara dalam pikiran tersusun huruf yang membentuk kata "niat", sering takut kalaunyang saya lafafznya dalam hati itu bukan kata "niat" tetapi liat/miat/diat dll. Mohon solusinya pak ustadz agar saya terbebas dari was_was ini, sudah saya coba dan saya upayakan untuk tidak menghiraukannya tetapinkarena saya takut niat saya tidak diterima makanya saya ulang-ulang terus sampai tersusun dengan benar dipikiran.

3. Pak ustadz apakah kotoran yg ada dikuku saya ini menghalangi mandi wajib atau wudhu saya ? Untuk menghilangkannya cukuo menyita waktu karena dibutuhkan senter dan atau pengeriknya, kadang ada kotoran yang kecilnya juga sehingga perlu konsentrasi untuk melihatnya.

JAWABAN

1. Kedua model niat itu sama-sama sah. Yang penting dalam berniat adalah menyebutkan jenis ibadah yang diniati untuk membedakan dengan ibadah yang lain. Misalnya, untuk shalat zhuhur, maka yang terpenting adalah menyebutkan kata 'shalat' dan kata 'zhuhur'. Baca detail: Cara Niat

2. Abaikan rasa was-was. Dan tidak perlu was-was. Islam melarang seorang muslim was-was. Syariat Islam memaafkan kekurangan seandainya itu terjadi asal tidak disengaja. Apalagi kalau yang anda lakukan bukan kesalahan. Jadi, tidak ada alasan untuk was-was. Sekali lagi, obat was-was adalah dengan mengabaikannya. Mengabaikan was-was mendapat pahala. Baca detail: Cara Sembuh Was-was Najis, Wudhu, Mandi, Shalat

3. Tidak menghalangi. Tidak perlu dihapus. Apalagi kalau membahayakan anda, misalnya bisa melukai, dll. Yang menghalangi itu apabila berupa benda padat dalam jumlah yang cukup banyak. Baca detail: Kotoran Kuku dan Koreng jadi Penghalang Mandi dan Wudhu?

TIDAK PAKAI NAWAITU DALAM NIAT (2)

Pertanyaan untuk jawaban no.1

Berarti jika hanya mengucap lafadz dalam hati "sholat fardhu isya" itu sudah cukup tanpa menyebut saya niat dan sejenisnya ?
Bagaimana kalau niat untuk ibadah selain sholat ? Apa kah sama ? Atua harus dengan lafdaz "niat saya", "saya niat" atau "sengaja saya" ?

JAWABAN

Ya, betul. Cukup menyebut 'sholat fardhu isya' untuk niat. Imam Nawawi dalam kitab Roudotut Tolibin, hlm. 1/224, menjelaskan cara niat sbb:

والنية : هي القصد فيحضر المصلي في ذهنه ذات الصلاة ، وما يجب التعرض له من صفاتها كالظهرية والفرضية وغيرهما . ثم يقصد هذه العلوم ، قصدا مقارنا لأول التكبير

Artinya: Niat adalah bersengaja atau bermaksud (untuk melakukan sesuatu). Orang yang shalat hendaknya menghadirkan dalam hatinya shalat yang akan dilakukannya dan menampakkan sifat shalat yaitu, misalnya, zhuhur dan fardhu-nya...

Ibadah selain shalat juga sama seperti itu. Untuk puasa Ramadan, misalnya, maka cukup bagi kita untuk menghadirkan dalam hati kata 'puasa fardhu ramadan'.Baca detail: Puasa Ramadan

Untuk wudhu, maka niatnya harus mengandung kata "menghilangkan hadas kecil". Imam Nawawi dalam kitab Roudotut Tolibin, hlm. 1/49, menjelaskan:

أما كيفية النية ; فالوضوء ضربان : وضوء رفاهية ; ووضوء ضرورة . أما الأول : فينوي أحد ثلاثة أمور . أحدها : رفع الحدث ، أو الطهارة عن الحدث

Artinya: Cara niat wudhu adalah menyebut salah satu dari tiga: pertama, menghilangkan hadas; kedua, bersuci dari hadas, ....

Dalam penjelasan di atas, niat wudhu cukup dengan "menghilangkan hadas" atau "bersuci dari hadas".

Dalam masalah mandi junub, Imam Nawawi menjelaskan

ثم إن نوى رفع الجنابة ، أو رفع الحدث عن جميع البدن ، أو نوت الحائض رفع حدث الحيض ، صح الغسل

Artinya: Apabila orang yang mandi mandi wajib berniat "menghilangkan jinabah" atau "menghilangkan hadas dari seluruh badan" maka mandinya sah. Baca detail:
Cara Wudhu dan Mandi Wajib


NIAT SAYA WUDHU ATAU NIAT SAYA MANDI WAJIB, APA SAH?

Kalau misalkan niat mandi wajib atau wudhu dengan lafadz hanya " niat saya mandi wajib dan niat saya wudhu" apakah belum memenuhi keharusan niat pak ustadz ? Karena selama ini saya berniat untuk bersuci menggunakan lafadz seperti "saya niat wudhu" dan saya niat mandi wajib pam ustadz.

JAWABAN

Hukumnya sah berniat wudhu atau mandi wajib dengan hanya mengatakan "Niat wudhu" dan "Niat mandi wajib".

Salim Al-Hadrami dalam Ghayatul Muna Syarah Safinatun Naja, hlm. 137, menyatakan:

ولو قال: نويت الوضوء صح، بخلافه في الغسل لو قال: نويت الغسل فقط فانه لا يصح


Artinya: Apabila mengucapkan niat dengan ucapan "Aku niat wudhu" maka itu sudah sah. Berbeda dengan mandi wajib, apabila ia berkata "Aku niat mandi" saja, maka itu tidak sah. (Karena tidak ada kata "wajib" atau "fardhu"-nya. Berbeda kalau berkata "Aku niat mandi wajib" maka hukumnya sah).