September 24, 2019

Perceraian Dan Was-Was Murtad

PERCERAIAN DAN WAS-WAS MURTAD
Kepada Yang Terhormat

Pihak KSI Al-Khoirot dan Majelis Fatwa PP Al-Khoirot

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan Hormat,

Seperti telah disampaikan oleh mantan istri saya hamper sebulan yang lalu, kami telah bersepakat untuk berpisah demi kebaikan kedua pihak dan anak-anak kami. Jumlah talak yang saya jatuhkan telah mencapai tiga sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya rujuk sebelum ada pernikahan antara mantan istri saya secara sah dengan suami baru. Hal ini saya sengaja lakukan, walaupun sangat berat, karena saya ingin memastikan mantan istri saya tidak terhalang dari kesempatan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, khawatir saya tidak kuat menahan beban dan malah menjadi penghalang bagi kehidupan barunya.

Pertanyaan saya:

Saya dan mantan istri saya sampai saat ini masih bersahabat dan berkomunikasi dengan baik. Sebagian besar Komunikasi kami berada seputar masalah pengasuhan dan pengurusan anak-anak kami, dan juga tentang pekerjaan, karena ada dua proyek di mana kami berdua masih sama-sama terlibat di dalamnya. Kami paham betul bahwa kami sekarang sepenuhnya ajnabi dan terkena hukum batasan komunikasi antara orang yang bukan mahram dan tidak terikat pernikahan lagi. Sehingga kami pun selalu berusaha sekeras mungkin menjaga kesantunan dan kepantasan isi dan cara pembicaraan (semuanya terjadi melalui telepon, SMS, atau Whatsapp dan tidak bertemu muka). Namun ada beberapa pembicaraan kami yang memang berisi pembahasan mengenai apa yang terjadi yang pada ujungnya mengakibatkan perceraian. Hal ini kami bahas sebagai usaha berdamai dan supaya tidak ada sisa dendam di antara kami, di antaranya ada pembicaraan yang berisi saling memaafkan dan saling menasihati. Dan juga ada dua tiga pembicaraan yang membahas batasan-batasan pergaulan yang harus kami jaga agar tidak menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan, dan agar tidak melanggar garis.

1A. Apakah kami boleh tetap bersahabat, tentunya dalam batas-batas pergaulan yang syar’I (tidak berkhalwat, menjaga aurat, tidak membicarakan hal-hal yang menuju mendekati zina seperti rayuan, pornografi dan candaan yang tidak pantas dsb.)?

1B. Apakah Komunikasi yang kami lakukan seperti di atas, dalam batasan di atas, termasuk haram atau halal?

1C. Karena alasan pekerjaan, Komunikasi tentang pekerjaan antara saya dan mantan istri saya terjadi agak sering. Kami tetap berusaha keras menjaga content dan tata kramanya menghindari hal yang berbau mendekati zina, dan terjadi layaknya rekan kerja biasa saja. Apakah termasuk halal atau haram?

Alasan utama perceraian kami adalah kelelahan fisik dan mental mantan istri saya menghadapi kondisi depresi saya akibat penyakit OCD yang saya derita. Dan karena saya kasihan pada dia, saya meluluskan permintaan dia untuk bercerai. Terutama karena saya tidak tahu kapan saya bisa sembuh, sementara keadaan fisik mantan istri saya terus melemah sehingga sakit parah (asma nya kumat tanpa henti). Apakah alasan mantan istri saya termasuk alasan yang dibenarkan syariat? Karena saya tidak ingin dia tidak bisa mencium wangi surga.

Walaupun bukan pemicu utama, namun memang pada kenyataannya mantan istri saya selama bertahun-tahun memiliki perasaan (hanya perasaan, tidak pernah terjadi perselingkuhan atau apapun yang mendekatinya) pada orang lain. Dia tidak menyukai perasaan tersebut dan mati-matian mencoba menghilangkan perasaan tersebut, termasuk dengan berdoa pada Allah supaya perasaan tersebut dihilangkan. Namun saat dia sangat stress menghadapi depresi saya, perasaan tersebut timbul kembali dengan sangat kuat dan tidak bisa dia hilangkan lagi. Mantan istri saya tidak pernah bertemu orang tersebut tanpa kehadiran saya, dan bahkan tidak pernah bertemu selama 4 tahun terakhir, dan komunikasinya murni tentang pekerjaan dan hanya terjadi dua kali selama 4 tahun terakhir tersebut. Perasaan ini tidak dia sampaikan pada saya sampai waktu-waktu terakhir karena dia tidak mau mengikuti perasaan tersebut, dan tidak mau menyakiti perasaan saya.

3A. a) Pertanyaannya, apakah dia berdosa? b) Dan apakah adanya factor tersebut yang membuat keadaan semakin sulit untuk mempertahankan pernikahan dan menjadi factor sampingan dalam perceraian menyebabkan mantan istri saya termasuk yang tidak bisa mencium wangi surga?

Saya kasihan padanya karena dia tulus dan sungguh-sungguh mencoba melawan, dan merasa sangat bersalah atas perasaan tersebut.

3B. Sesudah perceraian, mantan istri saya sempat beberapa kali menghubungi orang tersebut untuk alasan pekerjaan. Dan juga pernah menghubungi untuk percakapan pertemanan dalam tata cara yang sopan dan tidak mendekati pembicaraan yang mendekati zina. Apakah termasuk perbuatan dosa?

3C. Saya sempat beberapa kali menyatakan dukungan saya, bahkan saya pernah menyarankan, untuk dia berkomunikasi dengan orang tersebut, karena alasan pekerjaan, dan juga karena saya berharap komunikasi tersebut bisa berujung pada pernikahan (bukan pacaran, karena saya dan mantan istri saya sudah paham bahwa pacaran adalah haram). Apakah tindakan saya termasuk dosa? Apakah termasuk menghalalkan yang haram?

Saat ini mantan istri saya sedang berada di rumah orang tuanya Bersama anak-anak kami. Namun keadaan di sana sangat tidak kondusif. Karena kedua orang tua mantan istri saya dalam keadaan sangat stress akibat ulah mereka sendiri, dan atmosfir nya sangat buruk bagi anak-anak kami. Di sisi lain, anak-anak kami juga tidak bisa mendapat pendidikan formal yang memadai (anak-anak kami memiliki kesulitan Bahasa dan hanya lancer berbahasa Inggeris). Dalam kisaran 3 – 4 bulan ke depan (beberapa bulan setelah habis masa iddah), mantan istri saya berencana kembali ke kota tempat saya tinggal agar anak-anak kami dapat mendapat pendidikan berbahasa Inggeris (minimal bilingual) yang tidak tersedia di kota orang tuanya, dan juga agar anak-anak kami dapat tinggal secara bergantian antara rumah saya dan rumah mantan istri saya (mantan istri saya berencana menyewa rumah sendiri), selain agar mantan istri saya dapat kembali bekerja. Anak-anak kami belum sanggup hidup hanya bersama dengan saya, terutama anak bungsu kami yang masih sangat tergantung pada ibu mereka (Usia anak-anak kami 7 tahun dan 3.5 tahun). Masalahnya tidak ada mahram yang dapat menemani, dan juga tidak ada perempuan tsiqah yang juga dapat menemani.

4A. Apakah keadaan anak-anak kami dan kebutuhan pendidikan mereka menjadi darurat bagi mantan istri saya?

4B. Apakah bila mantan istri saya menikah lagi dengan seseorang, apakah anak-anak kami masih diperbolehkan tinggal dengan ibu mereka?

Karena saya dengar seorang ibu yang bercerai hanya lebih berhak mengasuh anak-anaknya hanya selama dia belum menikah lagi. Saya tahu anak-anak kami masih membutuhkan tinggal bersama ibu mereka untuk waktu yang sangat panjang, minimal beberapa tahun ke depan, sementara kami berdua berpikir bila ia menikah lagi lebih cepat, itu lebih baik.

4C. Apakah diperbolehkan bagi saya untuk memberikan bantuan keuangan (bukan dimaksudkan nafkah) pada mantan istri saya (sebagai shadaqah), disamping uang yang saya titipkan sebagai nafkah wajib saya bagi anak-anak kami?

5. Setelah perceraian terjadi, saya sempat sangat down, sehingga pernah mendapat nasihat rutin dari dua orang sahabat perempuan yang mencoba membantu saya melalui pembicaraan Whatsapp. Isi pembicaraan murni berupa nasihat manajemen psikologi dan tidak menyentuh hal yang diharamkan.

5A. a) Apakah termasuk perbuatan haram? Karena saat itu saya sedang depresi, saya tidak berpikir sama sekali dengan halal haramnya. b) Apakah termasuk menghalalkan yang haram?

5B. Apakah kenyataan saya membuka kejadian yang berujung perceraian tersebut (mantan istri saya tahu dan tidak keberatan) untuk mendapat nasihat manajemen psikologi tersebut, termasuk pada membuka aib?

6. Setelah perceraian, penyakit was-was qahry saya berubah bentuk, dari was-was talak dan was-was tentang keimanan, menjadi was-was qadzaf dan was-was tentang anak-anak kami. Saya sering sekali mengalami ketakutan irasional bahwa seakan saya menuduh mantan istri saya atas perbuatan yang saya yakini tidak pernah terjadi (saya tahu persis tidak pernah terjadi, karena saya tahu persis mantan istri saya menjaga kehormatannya dengan baik)

Pertanyaannya

6A. Karena melawan was-was, saya pernah dua kali berucap keras keras “Dia tidak pernah …. (nama mantan istri saya) tidak pernah berzina.” Apakah termasuk qadzaf?

Saya ketakutan karena ada kalimat yang tidak selesai, yang kemudian diperbaiki. Kalimat tersebut terucap saat saya benar-benar sendirian dan tidak ada yang mendengar.

6B. Apakah kalimat di nomor 6A mempengaruhi kenasaban anak-anak kami yang saya bersumpah demi Allah bahwa mereka adalah anak-anak saya baik secara hukum maupun biologis?

7. Saat dalam keadaan depresi pasca perceraian, saya pernah teringat pada mantan istri saya dan segera saya hilangkan. Namun dengan kalimat terucap sendirian, “That lips might kiss somebody else’ yang saya maksudkan adalah bila mantan istri saya punya suami baru, bukan di luar pernikahan. Apakah termasuk qadzaf?

8a) Apakah qadzaf atau na’udzubillahi mindzalik li’an dapat terjadi bila tidak ada kata sumpah apapun dan terucap sendirian, dan jelas tidak di depan hakim? Dan terucap setelah talak yang ketiga?

b) Tambahan keterangan saya di nomor 8a) sesudah tanda tanya (tadinya tidak ada tanda tanya setelah kata ‘ketiga’) apakah bisa bermakna qadzaf atau li’an?

c) Saya sering ketakutan bila menyebut secara tidak sengaja kata ‘anak’ atau ‘child’ secara tunggal, ataupun bila yang dimaksud memang salah satu dari anak-anak kami, atau bila menggunakan kata ‘saya’ dan bukan ‘kami’, (atau kita, bila saat bicara di Whatsapp dengan mantan istri saya). Apakah termasuk kalimat yang berdampak hukum?

Seperti saya katakan sebelumnya, saya bersumpah demi Allah bahwa kedua anak-anak kami adalah anak-anak sah yang lahir dari pernikahan yang sah dan merupakan anak-anak saya dan mantan istri saya baik secara biologis dan secara hukum Islam dan negara.

d) Pada nomor 6c, tadinya kalimatnya sempat ditulis, ‘merupakan anak-anak bi..’ kemudian saya koreksi. Apakah berdampak hukum?

9. Salah seorang sahabat pernah menanyakan agama mantan istri saya, saya jawab ‘Muslim lah’. Entah kenapa saya takut penambahan kata ‘lah’ di jawaban saya, apakah bisa bermakna dosa takfir?


10. Saat ini saya benar-benar merasa tidak siap untuk menikah lagi, dan saya sedang ingin berkonsentrasi pada pengurusan anak-anak kami, dan juga pada karir, di karenakan kondisi mental saya yang sedang sangat labil (kadang damai, kadang sangat sedih), dan juga karena ingin menjaga stabilitas mental anak-anak kami (walau mereka menerima perceraian orang tua mereka dengan baik). Namun di sisi lain saya paham betul dan mengakui bahwa pernikahan adalah setengah agama dan hukumnya bisa sunnah, bahkan bisa wajib bagi kondisi saya. Saya tetap berdoa pada Allah agar dikirimkan jodoh baru yang baik, cocok, dan menyenangkan kedua pihak dan anak-anak kami, namun saya sendiri merasa sangat belum siap mental, walau mungkin siap finansial. Hal ini juga pernah terucap beberapa kali. Apakah termasuk keharaman? Apakah saya sudah menentang syariat?

11. Apakah diperbolehkan bagi saya dan mantan istri saya untuk bertemu di tempat umum yang mudah terlihat orang lain dan tidak memungkinkan terjadinya zina, namun tanpa dia ditemani mahram atau membawa teman perempuan yang tsiqah? Seperti di kantor, di kantor klien, atau di tengah restoran atau mall, atau di rumah saudara saya saat terjadi kumpul keluarga (ada istri kakak saya dan kakak perempuan saya), dengan membawa anak-anak kami? Dan juga memperhatikan adab pergaulan sesuai syariat

12. Beberapa waktu yang lalu, saya mesti menemani klien saya melihat-lihat beberapa resor untuk kepentingan pekerjaan. Namun sesudahnya saya di bawa ke sebuah wine house. Saya sudah berusaha mengalihkan tempat meeting ke tempat yang tidak menyajikan khamr, namun beliau ngotot. Karena saya harus mempresentasikan pekerjaan saya, saya terpaksa mengikuti, walau saya ragu apakah kebutuhan presentasi saya termasuk darurat (sebenarnya saya memang sangat memerlukan proyek tersebut). Pekerjaannya sendiri jauh dari hal yang bersifat khamr, karena berhubungan dengan toko baju dan toko coklat, dan pada section took baju nya pun saya berusaha mengubah line produknya menjadi baju muslim. Apakah saya berdosa? Saya jelas mengakui haramnya khamr, apakah tindakan saya mengikuti klien tersebut termasuk menghalalkan yang haram?

13. a) Saat sedang di wine house tersebut, teman saya menawarkan saya untuk mencari masjid untuk shalat. Saya saat itu tahu bahwa masjid terdekat berada jauh, dan waktu saya tidak banyak. Saya tahu saya seharusnya mengutamakan shalat, tapi yang terjawab adalah kata ‘Gampang’. Saya segera menyesali ucapan saya dan segera menambahkan, “Seharusnya saya memang shalat dulu.” Saya segera bersyahadat. Apakah kata-kata saya termasuk kekufuran?

Ucapan tersebut keluar reflex, dan saya benar-benar tidak bermaksud meremehkan shalat, murni karena yang terpikir oleh saya saat itu adalah jarak dan waktu, walau ada rasa lelah karena saya belum tidur sejak malam sebelumnya. Saya tentu mengakui wajibnya shalat fardhu, dan saya merasa berdosa berkata demikian, dan juga berdosa karena kemalasannya.

b) Sesudah menuliskan pertanyaan 13 a. di atas, saya mengingat lagi kejadian tersebut dan kata yang saya khawatirkan tersebut terucap lagi. Segera saya hentikan di tengah kata. Apakah termasuk kekufuran na’udzubillahi mindzalik?

c) Saya bahkan takut menyebut kata ‘kekufuran tersebut’. Apakah berdampak hukum?


Mohon jawaban dan penjelasannya. Terima kasih

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Hormat saya,

JAWABAN

1A. Boleh selagi tidak terjadi khalwat. Baca detail: Hukum Kholwat

1b. Halal

1c. Halal.

3aa. Istri meminta cerai tidak berdosa. Yang penting selama masih menjadi istri dia selalu taat pada suaminya dalam hal yang bukan maksiat. Baca detail: Istri Minta Cerai karena Tak Cinta

3ab. Lihat poin 3aa. Kalau soal ada perasaan pada orang lain, maka selagi itu masih dalam hati maka tidak dihukumi dosa. Baru dianggap dosa apabila dia melakukan hal-hal yang haram dengan dia.

3b. Komunikasi non-fisikal seperti via internet dan telpon tidak masalah.
3c. Tidak termasuk

4a. Karena anda akan berdua tinggal di rumah yang berbeda, maka tidak menjadi masalah. Asalkan menghindari terjadinya kholwat. Adanya kedua anak di tengah anda berdua itu termasuk menghindari kholwat.

4b. Ya, boleh. Yang paling berhak mengasuh adalah ibunya selagi belum menikah. Apabila ibunya sudah menikah, maka status kepengasuhan antara bapak dan ibu sederajat. Artinya, sama-sama berhak. Bukan berarti si ibu dilarang mengasuh anak kalau menikah lagi.
Hadits Nabi menyatakan:

عن عبد الله بن عمر أن امرأة أتت رسول الله صلى الله عليها وسلم فقالت يا رسول الله إن ابني هذا كان بطني له وعاء وحجري له حواء وثديي له سقاء وزعم أبوه ‏أنه ينزعه مني فقال: " أنت أحق به ما لم تنكحي"
‏‏

Artinya: Dari Ibnu Umar seorang wanita yang bercerai datang ke Rasulullah (bertanya tentang masalah putranya apakah bersama ibu atau bapaknya.) Nabi bersabda: "Engkau (istri) lebih berhak mengasuh selagi belum menikah lagi." (HR Ahmad dan Hakim. Menurut Dzahabi hadis ini sahih)

Hadis di atas menjelaskan bahwa (a) ibu lebih berhak mengasuh selagi belum menikah lagi; (b) apabila si ibu menikah lagi maka kedudukan ayah dan ibu statusnya sama. Dalam hal ini maka keputusan diserahkan pada anak mau ikut siapa. Demikian penjelasan Azimabadi dalam Aunul Ma'bud, hlm. 6/267. Teksnya sbb:

قال في النيل : في الحديث دليل على أن الأم أولى بالولد من الأب ما لم يحصل مانع من ذلك كالنكاح لتقييده - صلى الله عليه وسلم - للأحقية بقوله ما لم تنكحي ، وبه قال مالك والشافعية والحنفية . وقد حكى ابن المنذر الإجماع عليه وقد ذهب أبو حنيفة إلى أن النكاح إذا كان بذي رحم محرم للمحضون لم يبطل به حق حضانتها . وقال الشافعي يبطل مطلقا لأن الدليل لم يفصل وهو الظاهر انتهى ملخصا .

Dalam hadis lain Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi menyuruh suami istri yang memperebutkan hak asuh anak untuk meminta anak memilih di antara keduanya. (Lihat, Aunul Ma'bud, 6/299):

فقال أبو هريرة اللهم إني لا أقول هذا إلا أني سمعت امرأة جاءت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا قاعد عنده فقالت يا رسول الله إن زوجي يريد أن يذهب بابني وقد سقاني من بئر أبي عنبة وقد نفعني فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم استهما عليه فقال زوجها من يحاقني في ولدي فقال النبي صلى الله عليه وسلم هذا أبوك وهذه أمك فخذ بيد أيهما شئت فأخذ بيد أمه فانطلقت به

4c. Boleh.

5aa. Tidak haram. Berbicara dengan lawan jenis bukan mahram melalui media online (non-fisikal) itu dibolehkan selagi masih menjaga kepatutan dalam berbicara. Apalagi itu dalam konteks konsultasi. Baca detail: Hukum Bicara dg Lawan Jenis lewat Telepon

5ab. Tidak termasuk.

5b. Tidak termasuk kalau dalam rangka konsultasi.

6a. Tidak termasuk qadzaf. Baca detail: Qadzaf dan Li'an

6b. Tidak berpengaruh apapun.

7. Tidak termasuk qadzaf.

8a. Tidak dapat terjadi.
8b. Tidak dapat.
8c. Tidak berdampak.
9. Tidak berdampak takfir.
10. Tidak menentang syariat. Tidak menikah itu boleh asal bisa menjaga syahwat. Imam Nawawi sampai wafatnya tidak menikah. Baca detail: Pernikahan Islam

11. Di ruang terbuka yang terlihat orang lain, sehingga tidak terjadi perbuatan maksiat, boleh.
8d. Tidak berdampak. Baca detail: Qadzaf dan Li'an

12. Tidak termasuk menghalalkan yg haram. Selagi anda ingkar dalam hati dan tetap mengharamkan khamar, maka anda masih termasuk pelaku nahi mungkar level ketiga yakni ingkar dg hati. Baca detail: Ideologi Amar Makruf Nahi Munkar

13a. Tidak kufur.
13b. Tidak kufur.
13c. Tidak berdampak. Baca detail: Mengatasi was-was Kufur

Perselingkuhan Sampai Hamil

PERSELINGKUHAN SAMPAI HAMIL

Assalamualaikum,

Saya PRIA tinggal di jakarta . Saya ingin berkonsultasi ..
Pertama" saya akan ceritakan awal mula nya .Saya mempunya manta pacar yang sudah menikah . Saya tidak tahu jika dia sudah menikah, sampe sekali saya chat dia dan saya ajak makan karna waktu itu saya dapat pekerjaan baru . Chat itu tidak dia balas sama sekali sampai akhirnya dia hubungi saya dan bilang kalo dia hamil hasil dr pernikahannya ..

Saya pun berkomunikasi hanya sewajarnya hanya bertanya kabar satu sama lain karna saya di jakarta dan dia jawa timur. Dia bilang bahwa suaminya marah lihat chat saya . Sampai suaminya menuduh bahwa saya yang menghamili nya . Dia pun curhat ke saya tentang perbuatan suaminya yang ninggalin dia selagi hamil dan sempat telfon saya saat dia lagi bertengkar sampai dipukul (saya tahu karna dia kirimkan foto luka dan darah ) dan sayapun tahu diri tidak ingin tahu terlalu dalam karna saya merasa salah juga .

Sempat putus kontak lama . Tapi dia hubungi saya lagi dan cerita bahwa dia ditinggal suaminya dan tidak di nafkahi . Sampe akhirnya dia pindah ke jakarta lagi dan lahir anak pertama .dan di saat persalinannya pun dia butuh semangat dari saya karna suami nya tidak datang juga . Berjalannya waktu suami ttap tidak peduli dan pihak kluarga prempuan juga sudah tidak ingin suaminya itu datang lagi .

Singkat cerita berjalan lama.hubungan sya mulai semakin dalam.. Dia memutuskan untuk saya menghamili dia agar sang suami cepat gugat cerai dia .jika tidak hamil sang suami tidak mau cerai tapi tidak peduli .

Berjalan waktu dia hamil dan cerai . Sekarang saya belum menikahinya karna keadaan dia yg harus ganti identitas tempat tinggal dan harus di urus ke jawa . Sekrg mantan suaminya sering datang untuk temui anaknya ..
Saya tahu saya tidak punya hak untuk melarang karna saya blom sah suaminya .

Tapi ketika suaminya dtg dan paprasan dengan saya karna saya menganggap saya punya daarah daging saya drumah prempuan ini . Mantan suaminya emosi dan melakukakn kontak fisik dengan saya . Dan dia mengancam saya untuk lapor polisi karna saya menghamili istrinya waktu masih sah .

Pertanyaan saya . Dia sudah lama pisah ranjang sebelum cerai . Dia tidak menafkahi nya . Skrg dia sudah jadi mantan apa bisa menuntut saya ?
Dan pembelaan apa yang harus saya lakaukan .
Terimakasih sebelumnya,maaf jika cerita terlalu panjang .

JAWABAN

Status suami istri tidak putus walaupun sudah pisah ranjang dan tidak menafkahi. Putusnya hubungan hanya terjadi apabila a) suami mengucapkan cerai secara lisan atau tulisan; atau b) hakim agama memutuskan hubungan suami-istri atas permintaan salah satu pihak. Dalam kasus di atas, si wanita masih berstatus sebagai istrinya saat anda menghamilinya. Oleh karena itu, dia bisa menggugat anda telah melakukan perzinahan dengan istrinya. Baca detail: KHI Kompilasi Hukum Islam

Sebaiknya anda memakai jasa pengacara apabila benar dia menuntut anda ke pengadilan. Baca detail: Cerai dalam Islam

JODOH: IKHWAN TAK MEMBERI KEPASTIAN, HARUSKAH DITUNGGU?

Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh..
Afwan, ana ingin bertanya ustadz..
Insya Allah ana sudah siap untuk menikah,,
Alhamdulillah ana sekarang lagi menjalankan proses ta'aruf dg seorang ikhwan manahj sunnah..
Alhamdulillah ikhwan tsb, sudah nadzhor.. Dan sudah membawa orangtuanya utk menemui keluarga ana,, dan orangtua ikhwan tsb sudah menentukan kapan untuk menikah,,

Tidak lama dari itu, ikhwan tsb menunda pernikahan kami ,alasannya di karenakan ibunya tidak setuju dan tidak merestui ana sebagai menantunya..

Ikhwan tersebut mengatakan karena ibu ana dan dia satu suku,, jadi pihak keluarga ikhwan tsb tidak setuju.
Ikhwan tersebut serius dengan ana,, dan mau menikahi ana,, tetapi ibunya tidak merestui ana..
Dan kami telah berbuat zina,, disitu ana juga sedih dan menyesal atas perbuatan kami..
Ana dan ikhwan tsb ingin menikah agar kami terhindar dari perbuatan maksiat..
Dan ana ingin kepastian dari ikhwan tsb,, kapan akan menikahi ana..
Sampai sekarang ibunya belum merestui kami,,
Dan ana juga sudah bertaubat sama Allah,,, saya bingung dan stress dgn semua ini,,

Bagaimana solusinya ustadz?? Apa saya harus bersabar dan menunggu ikhwan tsb,, atau ana harus cari ganti nya yg lain?? Smentara ana sudah berbuat zina bersama ikhwan tsb.. Dan ana ingin ikhwan tsb menikahi ana.
Dan jika ana direstui oleh ibunya itupun dalam jangka waktu 2 tahun.. Apa yg harus ana perbuat?? Apakah melupakan ikhwan tersebut dan cari penggantinya,, atau bagaimana?? Ana berfikir takut utk gagal kembali dan tidak ada lelaki yang mau menerima ana di karena kan ana sudah pernah berbuat zina.. Ikhwan tsb hanya bisa bilang ke ana bersabar menunggu..
Mohon pencerahannya ustad,,,
Syukron Jazakallahu khair

JAWABAN

Pertama, lakukan taubat nasuha atas dosa zina yang anda lakukan. Yang anda lakukan itu bukan taaruf tapi pacaran yang kebablasan. Baca detail: Cara Taubat Nasuha

Kedua, cobalah ajak dia untuk segera menikah. Kalau perlu tanpa restu dari orangtuanya /ibunya. Ketika anda berdua sudah berzina, maka menghindari zina berikutnya dengan cara menikah adalah wajib. Dan restu ibu dalam kondisi ini tidak lagi diperlukan. Apalagi ayah sudah merestui. Baca detail: Batasan Taat Dan Durhaka Pada Orang Tua

Ketiga, kalau ternyata dia tidak mau dan minta waktu ditunda, maka anda perlu curiga. Jangan-jangan dia mencari waktu untuk menghindar dari anda. Karena lelaki yang sudah berhasil menzinahi seorang wanita yang diincarnya, biasanya dia tidak lagi punya semangat tinggi untuk serius ke jenjang pernikahan. Dalam hal ini anda salah besar telah membiarkan diri melakukan zina tsb.

Keempat, kalau kasus ketiga yang terjadi, maka sebaiknya anda tinggalkan harapan padanya. Cari pria lain yang mau menikahi anda. Kali ini lebih berhati-hatilah dalam bertindak. Jangan gampang jalan berdua kalau belum resmi menikah. Baca juga: Cara Memilih Jodoh

Nikah Siri Tanpa Wali Ayah

NIKAH SIRI TANPA WALI AYAH

Assallamualaikum pak ustad. Mhon bimbingannya. Saya berusia 25th, dan saya ingin mnikah siri dg pcar saya dengn tujuan niat menghindari zina pa. Ustad. Kami takut kalau pcrn smakin lma mlah keblabasen. Smentra kalau nikah resmi blm ada dana, karna pihak ortu blm siap ada hajatan.

Bgaimana hukum nikah siri tanpa wali mempelai wanita karena sdh meninggal. Apakah sah?
Terimakasih pak ustad.
Waalaikumsalam.

JAWABAN

Nikah tanpa wali ayah bisa sah asal dinikahkan oleh wali nikah yang lain dari kerabat mempelai wanita yaitu:
1 - Ayah kandung
2 - Kakek, atau ayah dari ayah
3 - Saudara se-ayah dan se-ibu (saudara kandung)
4 - Saudara se-ayah saja
5 - Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
6 - Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
7 - Saudara laki-laki ayah
8 - Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah
Baca detail: Pernikahan Islam

Kalau wali di atas tidak setuju, bisa juga anda berdua meminta wali hakim untuk menikahkan. Wali hakim bisa saja berupa pegawai PPN desa/kelurahan atau ustadz. Baca detail: Menikah dengan Wali Hakim

CALON SAMA-SAMA PUNYA MASA LALU BURUK

assalamualaikum ustad
saya ingin bertanya, saya adalah orang yang pernah melakukan dosa besar dimasa lalu saya, saat ini saya sedang dekat dengan seseorang, dan orang tsb juga pernah mempunyai masa lalu yang buruk, namun sampai detik ini saya masih ragu apakah dia benar-benar menerima keadaan saya lahir dan batin atau tidak, walaupun dia sering kali berkata kita sama" berjalan lurus dan lupakan masa lalu kita masing-masing, apa yang harus saya lakukan ustad ?
terimakasih wassalamualaikum

JAWABAN

Bisa saja hubungan itu diteruskan ke pernikahan asalkan:
a) Anda harus jaga diri agar tidak terjadi perzinahan dengannya. Bahkan sebisa mungkin hubungan fisik selain zina juga dihindari karena itu juga haram. Banyak lelaki pura-pura menerima sebagai modus untuk menzinahi wanita. Baca detail: Hukum Kholwat

b) Perhatikan betul karakternya: apakah sabar, agamis dan pekerja keras. Apabila dia memiliki ini, maka dia pria yang baik. Silahkan dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan. Baca juga: Cara Memilih Jodoh

NADZAR AKAN MENCERAIKAN SUAMI

Assalamualaikum.......
Maaf mengganggu waktunya...begini ada yang ingin saya tanyakan apa hukumnya Bernadzar jika semua hutang telah lunas akan meminta cerai pada suami?????
Saya bernadzar seperti itu dikarenakan dulu saya kesal,marah,dan jengkel kepada suami saya yang sudah membohongi dan mengecewakan saya.
Tapi sekarang alhamdulilah suami saya sudah mulai sedikit berubah sehingga sekarang saya menyesal telah bernadzar seperti itu.mohon untuk membantu saya memberikan penjelasannya
Terimakasih......
Wassalamualaikum....

JAWABAN

Nadzar anda tidak sah karena istri tidak bisa menceraikan suami. Yang bisa itu, suami menceraikan istri. Baca detail: Hukum Nadzar

SUMPAH NENEK SAAT MASIH HIDUP

Assalamualaikum Wrb Pak Ustad,


Perkenalkan saya adalah wanita berumur 27 tahun.
saya mempunyai seorang nenek yang ketika dalam hidupnya sangat suka
sekali untuk menyumpahi saya ataupun ibu saya karena satu dan lain
hal, memang untuk nenek saya ini sangat rewel dan ya seperti yang kita tahu
jika sudah tua mungkin seperti itu namun ada satu kejadian pada taun
2014 lalu beliau menyumpahi saya dengan kata-kata yang mungkin tidak
pantas dengan kata-kata seperti ini "gue sumpahin biar lu kaga
laku-laku" serta beberapa sumpah lain yang menyangkut soal jodoh saya
dan keluarga saja. sebenarnya pada saat itu usia saya masih 24 tahun
dan walapun sebenarnya sangat sakit tapi saya berusaha untuk biasa
saja.
Kemudian, Nenek saya ini sudah meninggal sejak taun 2015 lalu.

Hampir 3 taun berlalu sejak nenek saya tiada, saya masih belum
mendapatkan jodoh saya.
saya hanya bisa pasrah kepada Allah SWT dan saya sangat yakin jika
memang suatu saat jika jodoh saya sudah tiba saatnya pun akan datang
kepada saya namun tetap saja namun hati saya masih mengganjal Pak
Ustad, apakah ini berarti sumpah serapah dari Nenek saya masih berlaku
hingga saat ini untuk orang yang masih hidup walapun beliau sudah
meninggal dunia?

sempat beberapa orang dari keluarga saya menyuruh saya mendatangi
makam nenek saya agar meminta maaf dan sebelumnya jadi fitnah di
beberapa keluarga saya jika Hantu Nenek saya mendatangi beberapa
keluarga dan kerabat saya dan disebutkan bahwa saya harus minta maaf ke
makamnya, tentu saja saya sangat marah dengan hal ini karena saya
yakin orang meninggal pun tidak akan hidup kembali dengan menjadi
hantu yang mendatangi yang masih hidup.

Akhirnya setelah banyak pertimbangan saya coba ikuti untuk mendatangi
makam dan berdoa untuk nenek saya dan meminta maaf walapun agak aneh
sebenarnya namun karena niat saya datang untuk ziarah juga dan saya
pun sudah lakukan itu. Ketika salat pun saya tidak lupa mendoakan
beliau.(mohon maaf pak Ustad) bukan maksud saya pamer ya.

Mohon pencerahannya Pak Ustad apakah memang untuk sumpah itu sangat
berpengaruh ya dalam kejadian saya ini? Karena saya sampai saat ini
banyak beberapa keluarga yang memberikan komen negatif tentang sumpah
ini dimana saya pun disebut untuk perawan yang gak laku-laku. Lalu apa
yang harus saya lakukan?

Terima kasih banyak sebelumnya Pak Ustad.

Wassalamualaikum Wrb.

JAWABAN

Kasus anda saat ini, yakni belum dapat jodoh, tidak ada kaitannya dengan sumpah nenek. Banyak wanita yang tidak dapat sumpah apapun juga belum dapat jodoh. Baca detail: Kutukan (Sumpah) dalam Islam

Untuk mendapat jodoh, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan:
a) Memiliki aktifitas yang memungkinkan anda bertemu dengan banyak pria. Misalnya, di tempat kerja, di acara pengajian ibu-ibu muslimat, dll. Kalau bisa masuk ke dalam ormas khusus wanita seperti Muslimat NU, atau IPPNU atau ormas mahasiswa seperti PMII, HMI, dll.

b) Meminta bantuan orang-orang terdekat anda untuk mencarikan jodoh buat anda. Seperti kerabat (orang tua, saudara), teman kerja, teman organisasi, dll.

Yang tak kalah penting adalah selektif dalam memilih jodoh. Prioritaskan yang berkarakter baik, bukan yang berpenampilan bagus. Karena awet tidaknya rumah tangga akan sangat ditentukan oleh karakter kedua pihak. Tentu saja, karakter anda juga hurus terus diperbaiki.
Baca juga:
- Cara Memilih Jodoh
- Cara Mendapat Jodoh

Paranoia Dan Was-Was Talak

PARANOIA DAN WAS-WAS TALAK

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang

Dengan Hormat,

I. Anak bungsu kami memegang mainan bis, dan mengulang-ulang kata 'the bus', dia terus mengulang kata tersebut berharap saya menjawab. Saya sempat salah dengar sehingga yang terdengar seakan kata sharih. Dia terus mengulang kata tersebut sampai saya sadar bahwa yang dia ucapkan adalah kata 'the bus', tapi saya masih ketakutan. Saya mencoba menghindari kemiripan bunyi, hingga saya berkata kata 'bus'. Tapi saya terserang kepanikan tentang kata apa yang saya ucapkan. Saya yakin yang saya ucapkan adalah kata 'bus', tapi saya ketakutan sekali. Bagaimana hukumnya?

II. Kantor TV kabel langganan saya menghubungi saya menawarkan program diskon, tapi saat ini budget saya tidak sedang untuk hal tersebut. Saya menceritakan hal tersebut pada istri saya, dan ada ucapan saya, 'bukannya ga mau..." saya tahu yang saya sedang bicarakan adalah tawaran diskon dan upgrade layanan, tapi kepanikan terjadi. Bagaimana hukumnya?

III. Anak sulung kami berpikir bahwa kami sekeluarga berangkat ke rumah mertua saya jam 10 pagi. Saya berkata, "It's already half to one when we depart". Sekali lagi ada serangan kepanikan. Bagaimana hukumnya?

IV. Kemarin saya dan istri saya bercakap-cakap tentang Pancasila. Kami membicarakan bahwa sebenarnya Pancasila diambil dari syariat Islam, yang kemudian diberi nama lain supaya orang nonmuslim mau menerimanya. Kami mengobrol bahwa nilai-nilai dalam Pancasila sebenarnya adalah nilai Islam yang diterjemahkan ke dalam konsep yang bisa dimengerti oleh orang nonmuslim, dan Pancasila ditulis oleh para ulama semacam KH. Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo.
Saya tercetus, "benernya pancasila itu syariat Islam." Saya terkejut sendiri, karena walau Pancasila memang mengambil nilai dari syariat Islam, bagaimanapun juga pancasila merupakan tulisan manusia, dan hal tersebut saya segera sampaikan pada istri saya.
Apakah ucapan saya tersebut merupakan na'udzubillahi mindzalik kekufuran? Bagaimana hukumnya ucapan saya tersebut, dan bagaimana hukum tanggapan istri saya yang mengangguk/mengiyakan saat saya mengucapkan hal tersebut?

V. Saya sempat mengajari anak sulung kami tentang logika bentuk geometrik saat dia belajar matematika. Saya berucap bahwa 'kalo dilihat, bentuk binatang sebenarnya cuma terdiri dari bentuk-bentuk geometrik seperti segitiga, oval, segi empat, dan sejenisnya." Saya terkejut sendiri dengan ucapan tersebut. Tentunya ciptaan Allah tidak bisa disederhanakan begitu saja, karena Allah adalah Al Mushawwier. Hal itu saya sampaikan segera pada anak sulung kami, sambil mengingatkan dia untuk bersyukur dan taat pada Allah.
Apakah ucapan saya yang seakan menyepelekan bentuk makhluk hidup tersebut dihukumi kekufuran na'udzubillahi mindzalik? Saya segera bersyahadat begitu saya berucap demikian.

VI. a) Kemarin istri saya menonton sebuah film yang ada karakternya mengucapkan lafadz sharih. Adegan ini terlihat oleh saya. Saya segera melintaskan bahwa tidak ada dampak apapun dari melihat/mendengar film/lagu yang ada lafadz sharih di dalamnya, karena dihukumi sebagai bercerita. Bagaimana hukumnya saat terlintas 'bila (begini-begini) pastinya (begitu/begitu)'? Saya terserang panik akibat lintasan tersebut. Maksud saya melintaskan lintasan tersebut untuk melawan was-was dan mengatakan bahwa apa yang menjadi ketakutan tersebut tidak beralasan, dan tidak sesuai dengan hukum Islam. Bagaimana hukumnya?

b) Frase 'tidak beralasan' di atas sempat secara rancu tertulis 'beralasan' (walau ketikannya salah). Saya tidak tahu di sebelah mana yang salah, jari saya atau isi kepala saya. Apakah ada dampaknya?

c) Saat menuliskan poin VI b di atas saya lupa tidak melintaskan bahwa saya sedang bertanya, apakah ada dampaknya?


VII. a) Apakah melakukan tindakan nonverbal tanpa suara/kata-kata (saya sempat salah tulis lagi entah kenapa, sehingga tadi tertulis verbal), saat ada lintasan yang menakut-nakuti khawatir ada bahaya dari tindakan tersebut, bisa berdampak hukumkah pada pernikahan?

b) apakah salah tulis seperti yang terjadi di poin VII a (nonverbal tertulis verbal) dan/atau lintasan ketakutan saat saya menulis 'bisakah' yang kemudian karena takut saya tulis jadi 'bisa berdampak hukumkah?', berbahayakah pada pernikahan?

VIII. Saya memiliki sebuah celana training yang numpang merk adidas. Karena saya tidak mau ada merk bajakan di celana tersebut, saya sengaja merusak tulisan tersebut. Pada suatu titik, di dalam proses membuang tulisan tersebut, sempat yang tertera adalah kata 'idas' dan kata 'il as'. Dua-duanya (yang terjadi tanpa rencana), mengingatkan saya pada subyek yang sangat saya tidak mau terjadi. Bagaimana hukumnya?

IX. a) Anak saya menonton ultraman di YouTube, ada iklan film kartun kuno ultraman. Dia bertanya apakah itu film baru, saya menjawab, 'no, it's from a long time ago.'. Saya tahu yang dibicarakan adalah film kartun ultraman, tapi saya terserang panik. Bagaimana hukumnya?

b) Setiap menuliskan pertanyaan, saya selalu panik dan ketakutan saat menuliskan frase, 'tapi saya...' atau 'namun saya...', atau 'walaupun saya...'. Bagaimana hukumnya dan apa yang harus saya kerjakan?

IX. Kadang saat di tengah kalimat, saya ketakutan setelah suatu kata yang sebenarnya seandainya langsung dilanjutkan, konteksnya justru akan jelas, sehingga ada jeda panjang antara kata tersebut dan keterangan konteksnya. Misalnya saat berkata pada anak saya, "I don't want you to get bumped." ada jeda panjang antara kata 'you' dan kata 'to get...' yang justru membuat kata-kata saya terdengar berbahaya sebelum keterangan konteksnya diucapkan. Begitu juga saat berkata dengan kalimat tanya, "Shoo what video?", ada jeda panjang antara kata 'shoo' dan kata 'what..'. Apakah ada dampak apapun kah pada pernikahan?

X. Saat menuliskan kutipan-kutipan kalimat, karena saya takut menuliskannya, kadang pikiran terfokus pada redaksi dan diksi di dalam kalimat tersebut, dan pikiran blank. Apakah dalam kondisi demikian, tindakan mengutip tersebut dengan kalimat-kalimat tersebut, tetap dihukumi berada dalam konteks aman/konteks bertanya?

XI. Kadang saat mengingat suatu hukum, dengan lintasan, 'mengerjakan (ini) dosa', atau 'mengharamkan (itu) bisa murtad.', saya seperti dituduh bahwa saya mengerjakan dosa tersebut, padahal saya cuma sedang mengingat dan mengingatkan diri sendiri atas kaidahnya. Bagaimana hukumnya? Apakah ada dampaknya?

XII. Beberapa bulan yang lalu, istri saya menceritakan sebuah kejadian yang dia merasa berdosa. Saya mengingatkan dia bahwa kita tidak boleh menceritakan dosa sendiri, karena khawatir termasuk mujaharah. Dia tidak pernah menceritakan dosanya pada orang lain selain saya, tapi saya suaminya, bukan ulama, sehingga saya takut termasuk yang tidak dibenarkan. Istri saya berkata bahwa dia menceritakan dosa tersebut sebagai pengingat dirinya sendiri untuk tidak mengulang perbuatan semacam itu, dan sebagai sharing pengajaran/pengetahuan, dan sebagai pengingat agar dia tidak merasa sudah 'baik'. Bagaimana hukum ucapan istri saya dan ucapan saya?

XIII. Apakah tindakan memberikan uang pada istri (tanpa mengucapkan apapun) bisa masuk konteks berbahaya?

XIV. Saat di counter kasir Pegadaian Syariah, tepat sesudah kasir membacakan taksiran nilai barang gadaian, dan menunjukkan surat gadainya, saya khawatir akadnya tidak sah bila saya tidak mengucapkan apapun, sehingga saya berkata, 'Saya gadaikan ya', tapi tidak menyebut obyeknya. Apakah bisa termasuk lafadz kinayah? Apakah ada pengaruhnya kah pada pernikahan?

XV. Apakah salah kata, atau salah ingat, saat mengingat kondisi batin di jaman lampau bisa mempengaruhi bagaimana sebuah lafadz kinayah yang terucapkan tanpa niat, yang diucapkan pada jaman dulu? Secara faktual, lafadz kinayah tersebut terucapkan tanpa niat aneh-aneh. Bagaimana hukumnya?

XVI. Apakah salah istilah/salah penamaan (terlintas, tidak diucapkan) pada suatu peristiwa yang sebenarnya tidak berdampak hukum, bisa mengubah bagaimana peristiwa di masa lampau tersebut dihukumi? Yang saya tanyakan adalah baik pada hukum pernikahan, maupun pada keimanan.

XVII. Bila saya menjawab pertanyaan/obrolan istri saat dia menanyakan/membicarakan sebuah film/lagu yang ada lafadz sharih/kinayah di dalamnya (dakam dialog karakter/ atau berupa lirik lagu), apakah ada bahayanya?

XVIII. Saya selalu (setidaknya sering) ketakutan saat menggunakan kata 'Saya', "I', atau sebangsa nya (kata ganti tunggal). Bagaimana hukumnya pada pernikahan?

XIX. Maaf pertanyaannya agak aneh, apakah bila seseorang pernah berbohong pernah memiliki banyak pacar, (sehingga menyebut punya banyak mantan), padahal sebenarnya tidak sebanyak yang diceritakan, apakah ada pengaruhnya pada pernikahan? Saya tahu bagian berbohongnya termasuk dosa, tapi apakah kebohongan tersebut berdampakkah pada pernikahan?

XX. Apakah mengobrolkan/menceritakan kejadian yang terjadi sebelum berada dalam pernikahan berbahayakah?


Hormat saya,

JAWABAN

I. Tidak berdampak.
II. Tidak berdampak.
III. Tidak berdampak.

IV. Tidak masalah. Karena syariat Islam itu luas cakupannya. Ketika anda mengucapkan 'pancasila adalah syariat Islam' maka itu bisa bermakna 'kandungan pancasila adalah sebagian syariat Islam'. Dalam sastra Arab itu disebut dengan dzikrul kulli wa iradatul juz'i (menyebut global yg dimaksud sebagian). Walaupun anda mungkin tidak bermaksud demikian.

V. Tidak berakibat kufur. Sama dg poin IV. Itu bisa bermakna sebagian.

VIA. Tidak ada dampak.
VIB. Tidak berdampak.
VIC. Tidak ada

VIIA. Tidak berdampak.
VIIB. Tidak berdampak.

VIII. Tidak berdampak.

IXA. Tidak berdampak.
IXB. Tidak berdampak. Abaikan ketakutan tersebut.


X. Ya, aman.

XI. Tidak ada dampak.

XII. Tidak masalah bercerita pada suami yang penting suami tidak keberatan.

XIII. Tidak berbahaya.

XIV. Tidak berdampak.

XV. Tidak berdampak.

XVI. Tidak berdampak.

XVII. Tidak ada bahayanya. Aman.

XVIII. Tidak berdampak.

XIX. Tidah berdampak.

XX. Tidak bahaya.
Baca detail: Was-was Talak

SARAN DAN CATATAN:

Kami menilai yang anda tanyakan umumnya tidak ada hal yang baru. Kebanyakan diulang-ulang. Oleh karena itu, dalam rangka melatih diri menuju kesembuhan penyakit OCD anda, alangkah baiknya kalau anda menghentikan sejenak pertanyaan-pertanyaan yang kami anggap sudah kami jawab berulang kali ini.

Kalau was-was itu kembali muncul atas pertanyaan yang sama, maka sebaiknya merujuk kembali pada jawaban-jawaban yang sudah kami berikan sebelumnya. Atau, meminta pertolongan istri untuk menjawab pertanyaan / ketakutan tersebut berdasarkan jawaban yang sudah kami berikan. Salam.

Tujuan Manusia Hidup

TUJUAN MANUSIA HIDUP

Assalamualaikum warohmatulloh para yai PP. Alkhoirot Malang.
Saya mempunyai pertanyaan berkaitan tentang tujuan manusia hidup di dunia ini?

Apakah arti penting tujuan hidup manusia tinggal di dunia. Apakah tujuan hidup manusia hanya untuk mengenal Tuhannya saja. Jika manusia hidup hanya untuk mengenal Tuhannya, berarti manusia diwajibkan menuntut Ilmu Tuhan dengan serius, seperti santri di pondok pesantren. Sedangkan, masyarakat di Indonesia saja tidak semuanya merupakan santri pondok pesantren, menanggapi hal ini, apakah hal ini berkaitan dengan takdir sang Tuhan kepada kita. Apakah juga kalangan awwam yang pernah berdosa lalu bertobat bisa mengenal Tuhannya tanpa mondok. Jadi, Sebenarnya bagaimana seseorang itu hidup dan tujuan sebenarnya apa?

JAWABAN

Pertama, tujuan Allah menciptakan manusia adalah untuk beribadah pada Allah. Dalam QS Adz-Dzariyat 51:56 Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya: Tidaklah aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk menyembahKu.

Untuk melaksanakan hal di atas, seorang muslim tidak perlu belajar agama secara mendalam. Cukup tahu ilmu dasar agama yang meliputi kewajiban dasar Islam dan yang terkait dengannya. Seperti ilmu tentang shalat dan wudhu, ilmu tentang puasa, zakat, haji. Baca detail: Hukum Belajar Ilmu Agama

Dan pengetahuan tentang perkara yang disepakati haramnya seperti haramnya berzina, dll. Baca detail: Dosa Besar dalam Islam

Kedua, terkait takdir. Takdir adalah pilihan. Kalau kita memilih hal baik, maka kita memilih takdir yang baik. Kalau kita berbuat buruk, maka kita memilih takdir buruk. Baca detail: Takdir

Ketiga, kewajiban orang yang berdosa adalah dengan bertaubat. Dan itu bisa dicapai tanpa harus mondok. Baca detail: Cara Taubat Nasuha

ZINA

Assalamualaikum, saya ucapkan terima kasih sebelumnya telah bersedia membantu menjawab. Semoga kebaikan ini nantinya membantu di saat-saat tersusah Ustad. Saya pribadi sebenarnya cukup takut apakah ini termasuk membocorkan aib atau tidak namun saya benar2 mrasa tidak tenang.

Jadi saya memiliki seorang teman wanita lajang dan tinggal sendiri (kos) yang memiliki seorang pacar namun sering berkunjung ke kos teman wanita saya (kos campur). Pada awal2 pacaran saya tidak pernah tahu apa yg mereka lakukan sampai teman saya yg bercerita sendiri bahwa mereka melakukan sex dan melakukan secara rutin di luar pernikahan. Saya mengenal baik Ibu teman wanita saya, sehingga beberapa kali Ibunya bertanya tentang anakny pada saya. Namun tidak pernah mengenai aktivitas pacaran anaknya.
Saya pribadi sebagai teman dekat merasa berdosa terus2an menyembunyikan ini dari ibunya selama hampir 2 bulan. Namun bila saya cerita saya takut teman saya marah pada saya (karena hanya saya satu2nya teman yg tau) dan saya takut Ibu teman saya sakit karena memikirkan hal itu. Hal ini karena teman saya tergolong nekat dan sering melakukan hal2 d luar dugaan/logika terbalik. Saya sebelumnya sudah menasehati teman saya dan memintanya re-think apa yg sudah dilakukan namun dia selalu beralasan2 dan saya sampai berniat menjauhi teman saya. Namun saya merasa itu merupakan manfaat saya sebagai teman membawa teman saya ke jalan yg baik ( teman saya memiliki background keluarga broken home) dan saya merasa berdosa jika terus membiarkan teman saya seperti itu dan lebih seperti orang brengsek bila saya tetap nekat menjauhi. Apa saran terbaik yang bisa saya lakukan Ustad? Saya mohon pencerahan dan pandangan ustad dari berbagai sisi.

Saya sendiri sadar masih banyak kekurangan dan jauh dari kata alim, jadi kiranya jawaban Ustad bisa sangat membantu saya. Saya ucapkapan terima kasih.
Wassalamualaikum.

JAWABAN

Hal mendasar dalam dalam Islam adalah agar kita menjauhi lingkungan yang buruk dalam rangka untuk menjadi orang baik. Termasuk di dalamnya adalah teman yang buruk. Karena hal itu akan menularkan energi negatif bagi kita. Baca detail: Wajib Menjauhi Lingkungan Pergaulan Buruk

Anda sudah melakukan hal yang benar dengan menasihatinya. Kalau dia mengacuhkan hal itu, maka anda sudah tidak lagi mempunyai kewajiban. Namun di sisi lain, ada baiknya anda menjaga jarak dengan dia agar tidak tertular perilaku buruknya.

Terkait aibnya, maka tidak perlu bagi anda membuka aibnya pada siapapun. Termasuk pada ibunya. Karena membuka aib itu haram hukumnya. Baik aib diri sendiri maupun aib orang lain. Baca detail: Hukum Ghibah

Yang perlu anda lakukan adalah: fokuskan fikiran dan perilaku menuju perbaikan diri sendiri. Dengan cara belajar ilmu agama dasar dan meningkatkan akhlak dan kesantunan. Baca detail: Hukum Belajar Ilmu Agama

SUAMI SUKA MEMBACA CERITA DEWASA

Assalamualaikum

Saya mau konsultasi ustad, bagaimana caranya menghadapi suami yang punya kebiasaan membaca cerita sex dan melihat gambar gambar wanita sexy.
Apa yang harus saya lakukan sebagai istri agar suami tidak kembali ke hobynya ini.
Mohon pencerahannya secara islami ustad, apa yg harus saya perbaiki sebagai seorang istri sedang kebiasaan suami saya ini sudah lama dan selalu dia lakukan.
Atas bantuannya saya ucapkan banyak terimakasih.

Wassalamualaikum

JAWABAN

Kalau sudah hobi memang sulit untuk ditinggalkan. Apalagi membaca atau menonton konten pornografi itu merupakan kebiasaan yang sifatnya adiktif (ketagihan). Dengan kata lain, kebiasaan ini sudah menjadi penyakit. Sama dengan kebiasaan adiktif lainnya seperti merokok atau judi.

Tidak mudah menghentikan kebiasaan adiktif. Satu-satunya cara adalah apabila ada keinginan kuat dari yang bersangkutan untuk menghentikannya sendiri. Sama dengan perokok berat, dia bisa berhenti apabila ada kemauan dari dirinya sendiri untuk berhenti.

Oleh karena itu, anda tidak akan bisa menghentikannya karena itu di luar kontrol anda. Namun, anda bisa membantu dia agar dia memiliki keinginan untuk berhenti. Baca juga: Cara Harmonis dalam Rumah Tangga

Salah satu cara adalah dengan mengajak dia lebih dekat ke agama. Misalnya dengan mengajak dia shalat berjamaah bersama di rumah atau di masjid. Mengajaknya ikut majelis taklim pengajian (perhatian: hindari pengajian Wahabi Salafi). Baca detail: Kriteria Ahlussunnah Wal Jamaah

September 23, 2019

Selalu Was-was, Bagaimana Cara Menyembuhkannya?

WAS-WAS OCD

Bismillahirrahmanirrahiim

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang


1. Maaf, pertanyaan ini mungkin agak mengulang pertanyaan saya sebelumnya dari konsultasi Khawatir dan Syirik tanpa sadar, nomor 12C. Namun baru saat ini saya ingat detilnya. Dan karena bagi saya kasus ini sangat rumit dan mengkhawatirkan, saya bermaksud menjabarkan situasinya secara kronologis.

- Mulai bulan Januari/Februari 2018, saya terserang penyakit was-was akut, dan mulai banyak membaca artikel fikih di internet. Sayangnya saya banyak membaca artikel Wahabi.

- Antara Februari - awal Mei, saya membaca tentang nama yang di larang. Di sini saya menjadi salah paham dan berpikir bahwa nama Lathif tidak boleh digunakan tanpa awalan Abd'. Sebenarnya sebelumnya saya pernah membaca pada buku Asma'ul Husna yang disusun Prof. Quraish Shihab, tentang orang dengan ciri tertentu dipanggil dengan nama Lathif tersebut. Mungkin (saya tidak ingat) pada periode Feb - awal Mei tersebut saya juga membaca ulang keterangan tersebut. Namun entah kenapa, mungkin lupa, ragu, ilmunya tidak nempel atau sesuatu, karena saya tidak menemukan nama Lathif tersebut sebagai nama yang boleh dipakai manusia (ketika mencoba mencari tahu di internet), saya berpikir bahwa nama tersebut terlarang bagi manusia tanpa awalan. Mungkin saya sempat mendiskusikan hal terzrbut dengan istri

- Tanggal 4 Mei, setelah kerancuan masalah status akad 11 tahun lalu (perkara hak wali ayah mertua) saya dan istri menjalani tajdidun nikah.

Pada hari yang sama (4 Mei 2018) di pagi hari, setelah tajdidun nikah. Saya mendiskusikan lagi masalah nama tersebut dan melarang istri saya memanggil anak kami Lathif katena secara rancu berpikir hal tersebut dilarang. Saat ini, saya sepenuhnya dalam keadaan terlupa tentang tulisan di buku Prof. Quraish Shihab tentang julukan lathif bagi orang tersebut.

Sore harinya kami membahas lagi perkara tersebut. Sekali lagi saya secara rancu melarang penggunaan nama Lathif tersebut. Bahkan agak berkeras. Saat ini sebenarnya saya setengah ingat (walau samar tentang tulisan Prof. Quraish Shihab tersebut). Akhirnya kami bersepakat akan menanyakan hal tersebut.
Sesudah pembicaraan, saya memeriksa lagi buku Prof. Quraish Shihab (Asma'ul Husna, penerbit Lentera Hati) yang membahas hal tersebut. Dan memang ada keterangan tentang nama lathif sebagai julukan orang yang memiliki ciri tertentu. Saat itu was-was saya sedang kumat parah, sehingga saya merasa sudah melakukan kemurtadan. Saya pun bersyahadat berkali-kali.

Malam harinya saya membaca-baca artikel, dan karena tidak mendapati nama Lathif di daftar nama Allah yang boleh digunakan manusia (tanpa alif lam) saya sekali lagi berpikir secara rancu bahwa nama tersebut terlarang. Saya juga terus bersyahadat.

- Tanggal 5 Mei 2018 subuh, istri saya marah besar tentang hal lain (yang juga berkaitan erat dengan was-was saya dan doktrin Wahabi) hingga ia menekan saya, hingga terucaplah satu lafadz sharih.

Saya masih terus bersyahadat beberapa belas kali setiap hari.


- Tanggal 4 Juni 2018, sekitar pukul 7 pagi kami rujuk. Sebelumnya kami berdua bersyahadat.

- Tanggal 4 Juni 2018, pukul 12 siang lebih (hampir pukul 1) saya menerima jawaban KSIA tentang bolehnya menggunakan nama Lathif. Saya pun bersegera meluruskan pandangan saya, dan bersyahadat lagi.

- Sesudah hari itu saya beberapa kali mengulang kata rujuk pada istri. Salah satunya beberapa hari sesudah Idul Fitri, juga setelah kami berdua bersyahadat.

Pertanyaannya bukan tentang kebolehan menggunakan nama Lathif, karena saya sudah paham dari jawaban KSIA bahwa dibolehkan.

Pertanyaannya adalah:

1A. Apakah perbuatan saya melarang penggunaan nama Lathif pada rentang Januari - awal Mei tersebut, dengan keadaan pernah membaca keterangan yan benar, bahkan mungkin membaca ulang hal tersebut pada waktu tersebut (tapi tidak paham/ragu/lupa) termasuk perbuatan murtad?

1B. Apakah perbuatan saya melarang penggunaan nama Lathif tersebut pada tanggal 4 Mei 2018, pada pagi hari, sore, dan malam hari nya, dengan keadaan yang saya jelaskan di atas merupakan perbuatan murtad?

1C. Apakah rujuk saya (yang didahului syahadat) tanggal 4 Juni jam 7 pagi, sebelum meluruskan pandangan saya tentang masalah ini (karena belum mendapatkan jawaban KSIA, yang datang hampir 6 jam kemudian) dihitung sah?

1D. Ataukah baru pengucapan sesudah tanggal 4 Juni, sesudah pandangan saya diluruskan KSIA yang dihitung sah?

Demi Allah, tidak pernah ada maksud saya mengubah-ubah hukum Allah.

2. Karena pengaruh doktrin Wahabi, selama masa was-was saya sangat parah, sebelum mulai berkonsultasi dengan pihak Al Khoirot, saya banyak melakukan tindakan berlebihan, dengan melarang hal-hal yang sebenarnya diperbolehkan. Umumnya hal-hal tersebut saya larang karena saat itu saya, yang terpengaruh doktrin Wahabi, berpikir bahwa hal-hal tersebut termasuk syirik, bertentangan dengan akidah, mengada-adakan sesuatu yang tidak diciptakan Allah, atau termasuk mendekati/menyetujui maksiat. Saya bahkan pernah mengganti nama anak anak saya, karena namanya merupakan nama biara/kuil kafir. (Nanterra, kuil/biara di Perancis)
Bahkan saya pernah melarang anak saya memakai celana piama (tidak bergambar apa-apa) karena nerupakan setelan dari kaus bergambar transformer. Memang inti cerita seri film transformer banyak berkaitan dengan sesuatu yang sangat tidak sesuai akidah Islam.
Hampir semua salah paham saya tentang masalah ini, diluruskan Al Khoirot sesudah tanggal 4 Juni 2018.

Pertanyaannya:

2A. Apakah tindakan saya yang terpengaruh doktrin wahabi ini, (walau mungkin yang saya lakukan bahkan melebihi/lebih parah dari yang mereka ajarkan/maksudkan) termasuk kekufuran?

2B. Apajah rujuk saya tanggal 4 Juni, yang didahului syahadat, tapi masih belum memiliki pandangan yang benar tentang masalah-masalah yang saya larang-larang tersebut (padahal sebenarnya diperbolehkan) karena belum mendapat koreksi pandangan/pengwtahuan dari KSIA, dihitung sah?

3. Seperti saya sampaikan sebelumnya, saya sering khawatir ada 'racun' yang menyisip saat mengucapkan/membaca/mendengar/menjawab kalimat yang ada kata lafadz kinayahnya, yang sebenarnya diucapkan dalam konteks aman.
Kemarin saat bermain sebuah game handphone, saya membaca pertanyaan "Are you sure you wanna quit?"
Sebetulnya saya sudah/sedang melafalkan niat saya dalam hati untuk mempertahankan pernikahan saat saya menekan icon [x] yang berarti mengiyakan. Namun pada saat yang sama ada racun yang menyisip?

3A. Apakah ada dampak hukumnya pada pernikahan? (Maaf bila pertanyaan ini sebenarnya sudah ditanyakan dan dijawab, saya memang bingung)

3B. Ataukah 'racun' tersebut adalah was-was yang seharusnya langsung saya abaikan saja?

4. Kemarin sebenarnya was-was saya sedang naik, saat anak sulung saya memaksa saya membacakan buku dongeng. Tiba pada satu titik saya melihat kata 'Ibu'. Saya sudah langsung kbawatir. Saat saya membacakan keras kata tersebut, tiba-tiba yang terlintas adalah bayangan istri saya. Saya segera menaruh buku dongeng tersebut.
Apakah berdampak hukum?

5A. Apakah saya benar bahwa lintasan apapun yang tidak diucapkan tidak ada dampaknya bagi pernikahan secara mutlak?

5B. Dan bagi orang normal, semua hal yang bukan lafadz yang membentuk kata yang bisa dimengerti dalam bahasa tertentu tidak berdampak secara mutlak?

5C. Dan apakah saya benar bahwa semua ucapan dzikir/doa harian seperti syahadat, basmalah, hamdalah, atau apapun tidak berdampak pada pernikahan, apapun keadaan batin yang mengucapkannya?

5D. Apakah ketika menjawab sebuah pernyataan/pertanyaan dengan kata lafadz kinayah dalam konteks aman, dibutuhkan kesadaran penuh bahwa konteks yang digunakan tersebut adalah aman untuk menjadikan jawaban (netral seperti ya/tidak/mungkin, atau kalimat tanpa kata lafadz kinayah) untuk menjadikannya mutlak tidak berdampak apapun keadaan batin si penjawab? Ataukah berlaku otomatis, meski misalnya si penjawab karena was-was atau paranoia, ketakutan bahwa konteksnya tidak aman?

5E. Apakah menyukai lagu yang lafadz kinayah di dalamnya, tanpa secara mengingat bahwa lagu dihukumi sebagai cerita, bisa berdampak hukum?

6. Bolehkah saya tahu hukum melakukan gerakan yoga, hanya gerakan dan teknik pernapasannya saja? bukan humming atau meditasinya.

7. Saya pernah membaca dari artikel yang ada pada sebuah situs Wahabi, bahwa bacaan sirr dalam shalat harus terdengar telinga sendiri dan tidak boleh berupa bisikan (suara angin). Apakah benar?

8. Saya berprofesi sebagai konsultan brand/marketing communication.
Pada bulan Ramadhan kemarin, saya diminta mengerjakan pekerjaan untuk sebuah merk kopi 'Ephraim/Efraim'. Pemiliknya yang merupakan seorang aktivis gereja, mengaku bahwa nama tersebut ia dapat dari bibel. Saya menolak pekerjaan tersebut karena khawatir saya malah membesarkan sebuah merek kristen yang dari awal perancangannya dimaksudkan sebagai penyebaran nilai-nilai kristen.

8A. Apakah saya salah?

8B. Apakah saya termasuk berdosa mengharamkan yang halal?

8C. Hal ini saya lakukan sebelum tanggal 4 Juni (waktu rujuk saya). Apakah rujuk saya tetap sah?

9. Nama tengah istri saya adalah Januari (nama bulan yang terambil dari kara janus, sesembahan kafir). Saya biasanya memanggil dia 'Jay' yang merupakan singkatan nama tersebut. Apakah boleh?

Maaf bila pertanyaan saya tidak terstruktur dengan baik atau bertele-tele.

JAWABAN

1a. Tidak. Tidak termasuk.
1b. Bukan.
1c. Kami agak lupa kasus ini yg mana? Yg jelas kalau memang sah talaknya dan dalam masa iddah, maka rujuknya sah cukup dengan ucapan 'Aku rujuk'.
1d. Kami juga tidak ingat soal ini. Intinya, kalau yang pertama sudah sah, maka tidak perlu rujuk lagi.

2a. Tidak.
2b. Kalau rujuknya disebabkan oleh talak yang sah, maka rujuknya juga sah. Kalau rujuknya karena talak yang sebenarnya tidak terjadi (hanya asumsi), maka rujuknya tidak dianggap dalam arti nikahnya tetap sah.

3a. Tidak ada.
3b. Ya, abaikan saja.

4. Tidak.

5a. Benar.
5b. Benar.
5c. Benar.
5d. Berlaku otomatis. Tidak ada dampak apapun
5e. Tidak berdampak.

6. Hukumnya boleh. Kaidah ulama ahli fikih menyatakan: Hukum asal dari segala sesuatu (masalah muamalah) adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya (الأصل في الأشياء الإباحة حتي يدل الدليل علي تحريمه). Dan tidak ada perbuatan dalam yoga yang melanggar syariah.
Baca detail:
- Kaidah Fikih
- Hukum Olahraga Bela Diri
- Hukum Membungkuk ala Jepang

7. Benar menurut sebagian ulama dalam madzhab Syafi'i dan Hanbali (Wahabi cenderung pada fikih Hanbali walaupun lebih mengutamakan pandangan pribadi dari Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdil Wahab yang non madzhab).
Imam Nawawi (madzhab Syafi'i) dalam Al-Majmuk, hlm. 3/256, berkata:

وأدنى الإسرار أن يسمع نفسه إذا كان صحيح السمع ولا عارض عنده من لغط وغيره، وهذا عام في القراءة والتكبير والتسبيح في الركوع وغيره، والتشهد والسلام والدعاء ـ سواء واجبها ونفلها ـ لا يحسب شيء منها حتى يسمع نفسه إذا كان صحيح السمع ولا عارض

Artinya: Paling sedikitnya bacaan pelan adalah bisa didengar sendiri apabila pendengarannya normal dan tidak ada suara lain yang mengganggu. Ini meliputi bacaan takbir, tasbih pada rukuk dan lainnya, bacaan tahiyat, salam dan doa. Baik bacaan wajib atau sunnah. Tidak dianggap bacaannya kecuali dapat didengar sendiri apabila normal pendengarnnya dan tidak ada gangguan suara orang lain.

Namun, madzhab Maliki berpendapat berbeda. Menurut madzhab Maliki, sudah sah bacaan shalat kita apabila lisan dan bibir kita bergerak mengeluarkan huruf (walaupun tidak bersuara)

Khalil Al-Mishri (madzhab Maliki) dalam kitab Mukhtashar Khalil, hlm. 3/318, menyatakan:

وخامسها: فاتحة أي قراءتها بحركة لسان على إمام وفذ أي منفرد، لا على مأموم، هذا إذا أسمع نفسه، بل وإن لم يسمع نفسه، فإنه يكفي في أداء الواجب

Artinya: Yang kelima (rukun shalat) adalah membaca Al Fatihah dengan gerakan lisan bagi imam atau bagi yang shalat sendirian. Tidak bagi makmum. Ini apabila (bacaannya) dapat didengar sendiri. Bahkan seandainya tidak mendengar sendiri itu sudah cukup dalam memenuhi kewajiban.
Baca detail: Shalat 5 Waktu

8a. Itu pilihan. Menerima pekerjaan itu boleh, menolak juga boleh. Bekerjasama bisnis dengan non-muslim itu tidak dilarang sebagaimana Rasulullah pernah beberapa kali berbisnis dengan Yahudi sampai di akhir hayatnya. Yang dilarang adalah apabila berbisnis dengan nonmuslim harbi (yang sedang berperang dengan muslim) itupun yang terkait masalah strategis seperti jual beli senjata. Itupun apabila dengan nonmuslim yang sedang berperang dengan bangsa muslim. Baca detail: Hukum Bisnis dengan Non Muslim

8b. Tidak, karena sifatnya mubah, bukan wajib. Sehingga itu menjadi pilihan untuk melakukan atau meninggalkannya. Demikian juga dengan masalah sunnah. Karena sunnah itu bukan wajib, maka anjurkan untuk melakukan tapi tidak dilarang kalau meninggalkannya. Seperti meninggalkan shalat sunnah, tidak memelihara jenggot (menurut pendapat yang menganggapnya sunnah), dll.
Baca detail:
- Shalat Sunnah Rawatib
- Hukum Memelihara Jenggot

8c. Tentu saja tetap sah sebagaimana sudah kami jelaskan sebelumnya.

9. Boleh. Tidak semua yang menyerupai orang kafir itu dilarang atau haram. Yang haram itu menyerupai di bidang ritualnya. Tapi tidak dilarang apabila menyerupai di bidang tradisi. Baca detail: Halal Haram Serupa Orang Kafir

WAS-WAS (2)

1B. Karena pada pertanyaan utama, saya memberi tanggal yang salah, izinkan saya mengulang pertanyaannya:

Apakah perbuatan saya melarang penggunaan nama Lathif tersebut pada tanggal 4 Mei 2018, pada

- pagi hari (dalam keadaan lupa total tentang tulisan yang membolehkan pengggunaan nama Lathif),

- sore hari (dalam keadaan setengah ingat dengan tulisan tersebut), dan

- malam hari nya (dalam keadaan sudah membaca ulang tulisan tersebut, namun ketakutan karena tidak menemukan nama Lathif dalam daftar nama Asma Allah yang boleh digunakan tanpa abd'),

dengan keadaan yang saya jelaskan di atas merupakan perbuatan murtad, karena naudzubillahi min dzalik mengharamkan hal yang halal? Mengingat nama Lathif sebenarnya boleh digunakan tanpa 'abdu?

1C. Pengucapan lafadz sharih tanggal 5 Mei 2018 bukan merupakan was-was.
Apakah rujuk saya tanggal 4 Juni (atau tanggal 3 Juni, saya agak ragu) dalam keadaan belum mengubah pandangan saya tentang nama Lathif, karena belum mendapat jawaban KSIA mengenai hukum yang benar terkait nama Lathif, dianggap sah? Karena berarti saat rujuk tersebut saya belum mengubah pandangan saya yang salah (belum bertaubat) terkait hukum nama Lathif tersrbut. Apakah tetap sah.

1E. Saat menulis pendalaman 1C di atas, saya sempat salah menulis '... tanggal Mei 2014' (seharusnya Mei 2018). Pada Mei 2014 tentunya tidak terjadi apa-apa. Saya tidak bermaksud menyatakan ada kejafian pada Mei 2014. Apakah salah tulis saya berdampak hukum?

Saya juga sempat tidak secara khusus melafalkan dalam hati niat saya bertanya/bercerita saat menuliskan pendalaman no. 1C tersebut. Apakah berdampak hukum? Apakah konteks bercerita berlaku otomatis?

4. Kemarin saat membicarakan rencana bisnis yang sedang kami (saya dan istri saya) siapkan, tercetus ide merk MilkBro (dari Brothers), awalnya tidak terfikir apa-apa. Tapi kemudian tercetus kekhawatiran bahwa merk tersebut bisa seakan pernyataan yang saya khawatirkan takut berdampak pada pernikahan kami. Saat sedang menimbang bahaya/tidaknya menggunakan merk tersebut, frase tersebut ('MilkBro') terucap lagi oleh saya. Saya tidak ada niat zhihar.
Apakah berdampak hukum?

8A. Maksud saya, saya menolak pekerjaan tersebut karena takut terseret menyebarkan nilai-nilai kristen lewat penyebaran/kampanye publisitas brand 'Efraim' tersebut. Apakah saya sudah termasuk mengharamkan yang halal?

9. Saya sempat melarang anak bungsu saya memanggil kakaknya dengan format 'Brother Keaton'. (Keaton adalah nama anak sulung saya) karena seperti cara orang kristen memanggil biarawan katolik (seperti Brother Francis, Brother Andreas, Brother Ignacio dll.). Tapi saya katakan sesudahnya, bahwa saya sebenarnya tidak mengetahui hukum haram/halalnya, dan saya bermaksud menanyakannya.

Apakah perbuatan saya melarang anak bungsu kami memanggil anak pertama kami dengan format tersebut, termasuk mengharamkan yang halal? Apakah termasuk kemurtadan?

10. Ada lagu pop jepang (murni pop, bukan lagu keagamaan) yang saya dan istri saya sukai. Perkaranya dalam lagu tersebut ada kata 'kami-sama' yang merujuk pada sesembahan orang shinto.

10A. Bolehkah kami mendengarkan lagu tersebut?

10B. Istri saya sempat beberapa kali menyanyikan lagu tersebut lengkap dengan menyebut kata 'kami-sama' tersebut karena dia pikir kata tersebut merujuk pada hal lain. (Dia salah lihat/slah baca saay melihat translasi Japan to English nya). Apakah istri saya berdosa?

10C. Bolehkah menyanyikan lagu tersebut bila tidak menyebutkan kata 'kami-sama' tersebut?
Sisa isi lagu nya netral, bukan tema keagamaan, berdasar translasi yang saya baca.

JAWABAN

1B. Tidak berakibat murtad karena itu timbul dari a) ketidaktahuan anda; dan b) kehati-hatian Anda.
1c. Tetap sah.
1e. Tidak ada dampak (untuk kedua kasus).

4. Tidak ada dampak. Juga seandainya nama itu dipakai nama perusahaan tidak akan ada dampak.

8a. Tidak termasuk mengharamkan yang halal. Karena berbisnis dengan nonmuslim itu pilihan. Boleh dilakukan dan boleh tidak.

9. Tidak apa-apa. Boleh memanggil dengan sebutan demikian. Dalam tradisi Arab juga bisa menyebut nama Akhi + nama. Seperti "Akhi Hasan" dst. Tidak perlu fobia dengan hal-hal seperti ini. Agar Islam anda bisa lebih menyenangkan (tidak fobia). Juga, tidak termasuk kemurtadan karena hal ini tidak diwajibkan dalam Islam. Ingat kaidah ini: "Yang dianggap merubah hukum adalah apabila membolehkan perkara yang haram, atau melarang perkara yang wajib di mana kedua hukum itu sudah disepakati ulama." Baca detail: Halal Haram Serupa Orang Kafir

10a. Boleh asal rujukannya dirubah tidak sebagaimana maksud dari lagu aslinya. Misalnya, anggap 'kami' itu rujukannya pada kami sesama muslim.
10b. Tidak dg syarat seperti 10a.
10c. Boleh menyanyikan semuanya dg syarat seperti disebut di 10a.

September 10, 2019

Hukum Jual Alkohol Babi untuk Non-Muslim

HUKUM MENJUAL BARANG HARAM SEPERTI BABI DAN ALKOHOL UNTUK NON-MUSLIM

Assalamualaikum para Ustadz yang dimuliakan Allah.

Saya mau bertanya.
Ada saudara saya seorang driver ojek online.

Ada 3 pekerjaan yg harus dia lakukan. Yaitu Mengantar penumpang, membeli makanan dan mengantar barang.

Jadi yang ingin saya tanyakan adalah

1. Apakah hukum driver pria membonceng penumpang wanita, apakah haram?

2. Apa hukum membeli dan mengantar makanan haram untuk pelanggan non muslim?

3. Kalau seandainya halal mengantar makanan haram. Apakah tangan kita yg memegang plastik pembungkus makanan haram tersebut harus disamak. Karena sebelumnya plastik tersebut diberikan oleh pemasak makanan yg saat memasak memegang daging babi?

Jazakallahu khairan kepada para asatidz atas jawabannya.

JAWABAN

1. Boleh dengan syarat dan ketentuan berlaku. Baca detail: Hukum Boncengan dg Wanita Bukan Mahram

2. Menjual barang haram untuk non-muslim atau membelikan barang haram dan mengantarkannya pada pelanggan nonmuslim adalah boleh apabila perkara yang haram menurut Islam itu tidak haram menurut agama mereka. Al-Kasani (madzhab Hanafi) dalam kitab Al-Bada'i As-Shanai' fi Tartib Asy-Syarai', hlm. 10/10, menyatakan:

فَالْخَمْرُ في حَقِّهِمْ كَالْخَلِّ في حَقِّنَا، وَالْخِنْزِيرُ في حَقِّهِمْ كَالشَّاةِ في حَقِّنَا في حَقِّ الْإِبَاحَةِ شَرْعًا، فَكَانَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَالًا مُتَقَوِّمًا في حَقِّهِمْ.

Artinya: Khamar (alkohol) bagi nonmuslim itu seperti cuka bagi muslim. Babi bagi non muslim itu seperti sapi dari segi bolehnya secara syariat. Maka masing-masing dari keduanya adalah harta yang bernilai bagi non-muslim.

Pandangan ini disepakati oleh Dr. Ali Jumah, mantan mufti Mesir. Dalam salah satu fatwanya pada acara Wallahu A'lam pada stasiun tv CBC ia menegaskan:


يجوز للمسلمين بيع ونقل الخمور في بلاد الغرب والدول التي تبيح الخمور وأنه يجوز تقديم الخمور وغيرها من الأطعمة المحرمة على المسلمين، مثل لحم الخنزير في مطاعم المسلمين لكن بشرط عدم تقديمها وبيعها للمسلمين.

Artinya: Boleh bagi muslim menjual dan mengangkut khamar di negara Barat (non muslim) dan negara-negara yang membolehkan khamar. Dan boleh bagi muslim menyediakan khamar dan makanan haram lainnya, seperti daging babi, di restoran dan warung milik muslim dengan syarat tidak disuguhkan dan tidak dijual pada umat Islam.

Namun, sebagian ulama yang lain mengharamkan hal tersebut (menjual barang haram walaupun pada non muslim). Dalam konteks ini, maka kita bisa memilih salah satu dari kedua pendapat tersebut.

3. Pertama perlu diketahui bahwa menyucikan najis berat bukan disamak, melainkan dibasuh dengan air tujuh kali salah satunya dicampur dengan debu atau tanah. Baca detail: Cara Menyucikan Najis Anjing

Samak itu istilah untuk menyucikan kulit bangkai atau hewan yang mati tanpa disembelih secara syar'i. Baca detail: Menyucikan Kulit dengan Disamak

Kedua, status najisnya babi apakah termasuk najis berat atau biasa masih menjadi perbedaan pendapat bahkan di kalangan madzhab Syafi'i. Imam Syafi'i dalam qaul qadim berpendapat najis biasa. Dalam qaul jadid berpendapat najis berat sama dg anjing.

Al Nawawi dalam Al-Muhadzab, hlm. 2/604, menyatakan:

حاصل ما ذكره أن في ولوغ الخنزير طريقين ( أحدهما ) : فيه قولان وهي طريقة ابن القاص ( أحدهما ) : يكفي مرة بلا تراب كسائر النجاسات ( والثاني ) : يجب سبع مع التراب .
( والطريق الثاني ) : يجب سبع قطعا ، وبه قال الجمهور ، وتأولوا نصه في القديم كما أشار إليه المصنف .
واعلم أن الراجح من حيث الدليل أنه يكفي غسلة واحدة بلا تراب ، وبه قال أكثر العلماء الذين قالوا بنجاسة الخنزير .
وهذا هو المختار ; لأن الأصل عدم الوجوب حتى يرد الشرع

Artinya: Terkait jilatan babi ada dua pendapat: pertama, ada dua pandangan a) cukup dibasuh satu kali tanpa debu seperti najis yang lain; b) wajib dibasuh tujuh kali dengan debu. Kedua, wajib dibasuh tujuh kali. Ini pendapat jumhur madzhab Syafi'i. Mereka (ulama Syafi'iyah) mentakwil (menafsiri) pandangan Imam Syafi'i di qaul qadim sebagaimana isyarah mushannif (Al Syirazi pengarang Al Muhadzab). Ketahuilah (kata Imam Nawawi - red), bahwa yang unggul dari segi dalil adalah (najis babi) itu cukup dibasuh satu kali tanpa debu. Pendapat ini didukung mayoritas ulama yang menyatakan najisnya babi. Ini pendapat terpilih (al mukhtar). Karena yang asal adalah tidak wajib sampai diperintah syariah.
Baca detail: Najis Babi Menurut Empat Madzhab

Apabila mengikuti pendapat yang menyatakan najis babi itu najis biasa, maka apabila terkena najis babi, maka cukup dibasuh air satu kali saja.

Ketiga, dalam kasus bersentuhan dengan pemasak daging babi, maka dirinci sbb:
a) apabila yang memberikan bungkus makanan itu pasti yang memasak, maka tangan anda dianggap najis apabila salah satu pihak (anda atau pemasak) ada yang basah. Karena najis baru menular apabila basah. Sedangkan apabila kering semua, maka tidak najis;

b) Apabila pihak restoran yang memberikan bungkus makanan itu tidak pasti apakah tukang masaknya atau bukan, maka persentuhan anda dengannya dianggap tidak najis. Karena status status najisnya masih diragukan. Dalam kondisi meragukan, maka kembali ke status awal tubuh manusia yaitu suci.
Baca detail: Najis dan Cara Menyucikan

September 08, 2019

Suami Tak Beri Nafkah Bolehkan Minta Cerai?

RUMAH TANGGA: SUAMI TAK BERI NAFKAH BOLEHKAN MINTA CERAI?

Assalamualaikum,
Saya wanita 35 tahun dan sudah menikah selama lebih dari 11 tahun tanpa keturunan.
Lebih sebulan yang lalu saya menyatakan kepada suami saya bahwa saya akan tidur dilantai saja karena saya merasa diabaikan sebagai seorang istri (hal yang terjadi berulang kali). Suami saya mengatakan "mari kita lihat berapa lama kamu sanggup".

Tiga minggu saya tidur dilantai, kami tidak bertegur sapa dan tidak sekalipun dia berusaha mengajak saya kembali keatas ranjang. Lalu suatu malam saya memutuskan untuk tidur disofa ruang tengah, dengan sedikit membanting pintu berharap dia mendengar dan mengetahuinya, tapi tidak ada respon darinya. Kami tinggal di rumah orang tua saya, sehingga ibu saya melihat saya di sofa ketika pagi hari. Malam selanjutnya saya mohon izin pada ibu agar saya tidur bersamanya, dan ibu saya membolehkan. Diam diam beliau bicara pada suami saya agar menyelesaikan masalah antara kami dan jangan sampai masuk pihak ketiga ikut campur tangan. Tapi suami saya mengacuhkan saran ibu saya. Setelah seminggu tidur bersama ibu, saya memutuskan bertanya pada dia via whatsapp tentang permasalahan kami, tapi dia hanya membiarkan saya mengirimi text yang panjang dan hanya menjawab "jika saya sudah selesai kita berbaikan."

Yang saya kesalkan adalah, selama 11 tahun pernikahan dia tidak pernah punya inisiatif untuk menyelesaikan permasalahan. Selalu saya yang mecairkan suasana. Kami tidak pernh duduk dan berbicara terbuka seperti yang saya harapkan, yang terjadi sesuai keinginan dia adalah "lupakan masa lalu dan mulai hari yang baru". Dimana permasalahan yang pernah terjadi akan kembali terulang berkali-kali.

Saya tidak menerima ajakan dia, karena yang saya inginkan dia mengajak saya berbicara terbuka tentang hubungan kami dan mencari jalan keluar.

Sebulan lebih pisah ranjang, kami kedatangan tamu yang membuat saya terpaksa kembali kekamar dan saya tidur diatas ranjang tapi tetap tak bertegur sapa. Hingga suatu malam saya berkata pada suami saya "sebaiknya kita pisah dulu untuk sementara untuk mengetahui seberapa besar ketergantungan kita satu sama lainnya". Tanpa ba bi bu dia langsung bilang "baiklah" dan mengemasi 80% pakaiannya dan juga surat2 berharga (sertifikat, bpkb dan buku tabungan) dan langsung pulang kerumah orangtuanya tanpa pamit kepada orangtua saya.

Hari berikutnya ibu kembali mencoba menghubungi dia via telephone dan meminta dia memikirkan tindakannya, tapi dia tetap mengabaikannya. Seminggu kemudian kami memberitahukan pada Bapak saya, dan beliau langsung mengatakan "jika seperti itu biarkan saja dia pergi, kalian cerai saja." Karena selama 2 tahun belakangan suami saya tidak menafkahi saya secara materi (dan saya demi Allah tidak pernah terlontar kepadanya untuk memenuhi kewajibannya ini, meski dalam hati ada penyesalan tapi saya selalu berusaha mencoba memahami keadaannya). Dan nafkah bathin yang juga sangat sering terlupakan olehnya (bahkan pernah hampir 6 bulan tidak menyentuh saya).

Saat saya menulis email ini, suami saya sudah 2 minggu pergi dan tidak sekalipun dia menghubungi saya atau bahkan dari pihak keluarganya. Saya mengirimi dia satu pesan via whatsaap tentang mengapa keluar dari grup keluarga, tapi tidak dibalas. Sebelum Ramadhan ibu saya menghubungi ibu mertua saya, tapi beliau berlagak seakan tidak tahu dan mengatakan kalau suami saya tidak cerita apa-apa.

Saat ini saya tidak tergantung secara materi terhadapnya karena bisa dikatan sejak dua tahun terakhir hidup kami ditanggung orangtua saya dan nafkah bathin yang tidak sempurna dari segi kualitas dan kuantitas dimana dia juga tidak terbuka pada saya tentang masalah ini, jadi perlahan perasaan saya juga sudah berkurang padanya

Yang ingin saya tanyakan adalah,
1. jika keadaan seperti ini bolehkah saya menuntut cerai? Karena Bapak saya juga menuntut hal yang sama.
2 bagaimana tatacara menuntut cerai yang benar sesuai syariat islam?
3 dalam kasus ini, apakah saya berdosa menuntut cerai? Sementara tetap bersamanya saya juga sering merasa berdosa karena selalu dipenuhi sak wasangka.
4 seberapa besar peran orang tua saya menurut islam dalam hal ini? Karena ibu bapak saya mendukung kami untuk berpisah karena menganggap suami saya tidak bertanggungjawab.
5 kapan sebaiknya saya bisa mengajukan permintaan cerai?
.
Demikian pertanyaan saya, dengan harapan mendapat jawaban dan pencerahan yang terbaik dari Al Khoirot.

JAWABAN

1. Boleh menuntut cerai. Baik secara agama maupun secara negara. Baca detail: Cerai dalam Islam

2. Anda tinggal mengurusnya ke pengadilan agama. Sudah disediakan formulirnya di sana. Atau, anda bisa meminta bantuan PPN (pegawai pencatat nikah) di desa/kelurahan tempat anda tinggal untuk mengurus hal ini.

3. Tidak berdosa menuntut cerai. Tidak cinta saja bisa menjadi alasan yang dibenarkan syariah untuk meminta cerai apalagi kalau sampai tidak mendapatkan nafkah lahir batin. Baca detail: Istri Minta Cerai karena Tak Cinta

4. Perceraian hanya terjadi karena salah satu dari dua hal: a) suami menceraikan istrinya secara lisan atau tulisan; b) hakim memutuskan cerai baik atas permintaan istri atau suami. Jadi, peran besar dalam soal perceraian adalah suami atau hakim. Orang tua tidak ada peran apapun yang bisa mengubah hukum pernikahan.

5. Kapanpun anda bisa mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama. Baca detail: KHI Kompilasi Hukum Islam

HUKUM PEMUTUS HUBUNGAN ASMARA DENGAN AMALAN TERTENTU

Assalamualaikuum warahmatullahi wabarakatuh,

Izinkan saya bertanya:

Apakah meminta bantuan kepada seorang ustadz/kyai untuk memutus hubungan asmara itu termasuk penyimpangan terhadap ajaran Islam ? dimana salah satu ritualnya adalah dengan mengubur baju dan foto di kuburan pada tengah malam.

Terima kasih banyak sebelumnya dan mohon pencerahannya.

Hamba Allah,

JAWABAN

Ritualnya itu sendiri tidak masalah karena tidak ada syariah Islam yang dilanggar. Baca detail: Hukum Jimat, Rajah, Ruqyah, Susuk dalam Islam

Yang terkait dengan hukum adalah tujuannya. Apa tujuan anda melakukann hal itu? Kalau tujuannya untuk memutuskan hubungan seorang suami istri, atau hubungan orang yang sedang bertunangan, maka hukumnya haram karena termasuk merusak rumah tangga orang lain dan itu dosa besar. Baca detail: Takhbib Perusak Rumah Tangga Orang