September 24, 2019

Perceraian Dan Was-Was Murtad

PERCERAIAN DAN WAS-WAS MURTAD
Kepada Yang Terhormat

Pihak KSI Al-Khoirot dan Majelis Fatwa PP Al-Khoirot

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan Hormat,

Seperti telah disampaikan oleh mantan istri saya hamper sebulan yang lalu, kami telah bersepakat untuk berpisah demi kebaikan kedua pihak dan anak-anak kami. Jumlah talak yang saya jatuhkan telah mencapai tiga sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya rujuk sebelum ada pernikahan antara mantan istri saya secara sah dengan suami baru. Hal ini saya sengaja lakukan, walaupun sangat berat, karena saya ingin memastikan mantan istri saya tidak terhalang dari kesempatan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, khawatir saya tidak kuat menahan beban dan malah menjadi penghalang bagi kehidupan barunya.

Pertanyaan saya:

Saya dan mantan istri saya sampai saat ini masih bersahabat dan berkomunikasi dengan baik. Sebagian besar Komunikasi kami berada seputar masalah pengasuhan dan pengurusan anak-anak kami, dan juga tentang pekerjaan, karena ada dua proyek di mana kami berdua masih sama-sama terlibat di dalamnya. Kami paham betul bahwa kami sekarang sepenuhnya ajnabi dan terkena hukum batasan komunikasi antara orang yang bukan mahram dan tidak terikat pernikahan lagi. Sehingga kami pun selalu berusaha sekeras mungkin menjaga kesantunan dan kepantasan isi dan cara pembicaraan (semuanya terjadi melalui telepon, SMS, atau Whatsapp dan tidak bertemu muka). Namun ada beberapa pembicaraan kami yang memang berisi pembahasan mengenai apa yang terjadi yang pada ujungnya mengakibatkan perceraian. Hal ini kami bahas sebagai usaha berdamai dan supaya tidak ada sisa dendam di antara kami, di antaranya ada pembicaraan yang berisi saling memaafkan dan saling menasihati. Dan juga ada dua tiga pembicaraan yang membahas batasan-batasan pergaulan yang harus kami jaga agar tidak menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan, dan agar tidak melanggar garis.

1A. Apakah kami boleh tetap bersahabat, tentunya dalam batas-batas pergaulan yang syar’I (tidak berkhalwat, menjaga aurat, tidak membicarakan hal-hal yang menuju mendekati zina seperti rayuan, pornografi dan candaan yang tidak pantas dsb.)?

1B. Apakah Komunikasi yang kami lakukan seperti di atas, dalam batasan di atas, termasuk haram atau halal?

1C. Karena alasan pekerjaan, Komunikasi tentang pekerjaan antara saya dan mantan istri saya terjadi agak sering. Kami tetap berusaha keras menjaga content dan tata kramanya menghindari hal yang berbau mendekati zina, dan terjadi layaknya rekan kerja biasa saja. Apakah termasuk halal atau haram?

Alasan utama perceraian kami adalah kelelahan fisik dan mental mantan istri saya menghadapi kondisi depresi saya akibat penyakit OCD yang saya derita. Dan karena saya kasihan pada dia, saya meluluskan permintaan dia untuk bercerai. Terutama karena saya tidak tahu kapan saya bisa sembuh, sementara keadaan fisik mantan istri saya terus melemah sehingga sakit parah (asma nya kumat tanpa henti). Apakah alasan mantan istri saya termasuk alasan yang dibenarkan syariat? Karena saya tidak ingin dia tidak bisa mencium wangi surga.

Walaupun bukan pemicu utama, namun memang pada kenyataannya mantan istri saya selama bertahun-tahun memiliki perasaan (hanya perasaan, tidak pernah terjadi perselingkuhan atau apapun yang mendekatinya) pada orang lain. Dia tidak menyukai perasaan tersebut dan mati-matian mencoba menghilangkan perasaan tersebut, termasuk dengan berdoa pada Allah supaya perasaan tersebut dihilangkan. Namun saat dia sangat stress menghadapi depresi saya, perasaan tersebut timbul kembali dengan sangat kuat dan tidak bisa dia hilangkan lagi. Mantan istri saya tidak pernah bertemu orang tersebut tanpa kehadiran saya, dan bahkan tidak pernah bertemu selama 4 tahun terakhir, dan komunikasinya murni tentang pekerjaan dan hanya terjadi dua kali selama 4 tahun terakhir tersebut. Perasaan ini tidak dia sampaikan pada saya sampai waktu-waktu terakhir karena dia tidak mau mengikuti perasaan tersebut, dan tidak mau menyakiti perasaan saya.

3A. a) Pertanyaannya, apakah dia berdosa? b) Dan apakah adanya factor tersebut yang membuat keadaan semakin sulit untuk mempertahankan pernikahan dan menjadi factor sampingan dalam perceraian menyebabkan mantan istri saya termasuk yang tidak bisa mencium wangi surga?

Saya kasihan padanya karena dia tulus dan sungguh-sungguh mencoba melawan, dan merasa sangat bersalah atas perasaan tersebut.

3B. Sesudah perceraian, mantan istri saya sempat beberapa kali menghubungi orang tersebut untuk alasan pekerjaan. Dan juga pernah menghubungi untuk percakapan pertemanan dalam tata cara yang sopan dan tidak mendekati pembicaraan yang mendekati zina. Apakah termasuk perbuatan dosa?

3C. Saya sempat beberapa kali menyatakan dukungan saya, bahkan saya pernah menyarankan, untuk dia berkomunikasi dengan orang tersebut, karena alasan pekerjaan, dan juga karena saya berharap komunikasi tersebut bisa berujung pada pernikahan (bukan pacaran, karena saya dan mantan istri saya sudah paham bahwa pacaran adalah haram). Apakah tindakan saya termasuk dosa? Apakah termasuk menghalalkan yang haram?

Saat ini mantan istri saya sedang berada di rumah orang tuanya Bersama anak-anak kami. Namun keadaan di sana sangat tidak kondusif. Karena kedua orang tua mantan istri saya dalam keadaan sangat stress akibat ulah mereka sendiri, dan atmosfir nya sangat buruk bagi anak-anak kami. Di sisi lain, anak-anak kami juga tidak bisa mendapat pendidikan formal yang memadai (anak-anak kami memiliki kesulitan Bahasa dan hanya lancer berbahasa Inggeris). Dalam kisaran 3 – 4 bulan ke depan (beberapa bulan setelah habis masa iddah), mantan istri saya berencana kembali ke kota tempat saya tinggal agar anak-anak kami dapat mendapat pendidikan berbahasa Inggeris (minimal bilingual) yang tidak tersedia di kota orang tuanya, dan juga agar anak-anak kami dapat tinggal secara bergantian antara rumah saya dan rumah mantan istri saya (mantan istri saya berencana menyewa rumah sendiri), selain agar mantan istri saya dapat kembali bekerja. Anak-anak kami belum sanggup hidup hanya bersama dengan saya, terutama anak bungsu kami yang masih sangat tergantung pada ibu mereka (Usia anak-anak kami 7 tahun dan 3.5 tahun). Masalahnya tidak ada mahram yang dapat menemani, dan juga tidak ada perempuan tsiqah yang juga dapat menemani.

4A. Apakah keadaan anak-anak kami dan kebutuhan pendidikan mereka menjadi darurat bagi mantan istri saya?

4B. Apakah bila mantan istri saya menikah lagi dengan seseorang, apakah anak-anak kami masih diperbolehkan tinggal dengan ibu mereka?

Karena saya dengar seorang ibu yang bercerai hanya lebih berhak mengasuh anak-anaknya hanya selama dia belum menikah lagi. Saya tahu anak-anak kami masih membutuhkan tinggal bersama ibu mereka untuk waktu yang sangat panjang, minimal beberapa tahun ke depan, sementara kami berdua berpikir bila ia menikah lagi lebih cepat, itu lebih baik.

4C. Apakah diperbolehkan bagi saya untuk memberikan bantuan keuangan (bukan dimaksudkan nafkah) pada mantan istri saya (sebagai shadaqah), disamping uang yang saya titipkan sebagai nafkah wajib saya bagi anak-anak kami?

5. Setelah perceraian terjadi, saya sempat sangat down, sehingga pernah mendapat nasihat rutin dari dua orang sahabat perempuan yang mencoba membantu saya melalui pembicaraan Whatsapp. Isi pembicaraan murni berupa nasihat manajemen psikologi dan tidak menyentuh hal yang diharamkan.

5A. a) Apakah termasuk perbuatan haram? Karena saat itu saya sedang depresi, saya tidak berpikir sama sekali dengan halal haramnya. b) Apakah termasuk menghalalkan yang haram?

5B. Apakah kenyataan saya membuka kejadian yang berujung perceraian tersebut (mantan istri saya tahu dan tidak keberatan) untuk mendapat nasihat manajemen psikologi tersebut, termasuk pada membuka aib?

6. Setelah perceraian, penyakit was-was qahry saya berubah bentuk, dari was-was talak dan was-was tentang keimanan, menjadi was-was qadzaf dan was-was tentang anak-anak kami. Saya sering sekali mengalami ketakutan irasional bahwa seakan saya menuduh mantan istri saya atas perbuatan yang saya yakini tidak pernah terjadi (saya tahu persis tidak pernah terjadi, karena saya tahu persis mantan istri saya menjaga kehormatannya dengan baik)

Pertanyaannya

6A. Karena melawan was-was, saya pernah dua kali berucap keras keras “Dia tidak pernah …. (nama mantan istri saya) tidak pernah berzina.” Apakah termasuk qadzaf?

Saya ketakutan karena ada kalimat yang tidak selesai, yang kemudian diperbaiki. Kalimat tersebut terucap saat saya benar-benar sendirian dan tidak ada yang mendengar.

6B. Apakah kalimat di nomor 6A mempengaruhi kenasaban anak-anak kami yang saya bersumpah demi Allah bahwa mereka adalah anak-anak saya baik secara hukum maupun biologis?

7. Saat dalam keadaan depresi pasca perceraian, saya pernah teringat pada mantan istri saya dan segera saya hilangkan. Namun dengan kalimat terucap sendirian, “That lips might kiss somebody else’ yang saya maksudkan adalah bila mantan istri saya punya suami baru, bukan di luar pernikahan. Apakah termasuk qadzaf?

8a) Apakah qadzaf atau na’udzubillahi mindzalik li’an dapat terjadi bila tidak ada kata sumpah apapun dan terucap sendirian, dan jelas tidak di depan hakim? Dan terucap setelah talak yang ketiga?

b) Tambahan keterangan saya di nomor 8a) sesudah tanda tanya (tadinya tidak ada tanda tanya setelah kata ‘ketiga’) apakah bisa bermakna qadzaf atau li’an?

c) Saya sering ketakutan bila menyebut secara tidak sengaja kata ‘anak’ atau ‘child’ secara tunggal, ataupun bila yang dimaksud memang salah satu dari anak-anak kami, atau bila menggunakan kata ‘saya’ dan bukan ‘kami’, (atau kita, bila saat bicara di Whatsapp dengan mantan istri saya). Apakah termasuk kalimat yang berdampak hukum?

Seperti saya katakan sebelumnya, saya bersumpah demi Allah bahwa kedua anak-anak kami adalah anak-anak sah yang lahir dari pernikahan yang sah dan merupakan anak-anak saya dan mantan istri saya baik secara biologis dan secara hukum Islam dan negara.

d) Pada nomor 6c, tadinya kalimatnya sempat ditulis, ‘merupakan anak-anak bi..’ kemudian saya koreksi. Apakah berdampak hukum?

9. Salah seorang sahabat pernah menanyakan agama mantan istri saya, saya jawab ‘Muslim lah’. Entah kenapa saya takut penambahan kata ‘lah’ di jawaban saya, apakah bisa bermakna dosa takfir?


10. Saat ini saya benar-benar merasa tidak siap untuk menikah lagi, dan saya sedang ingin berkonsentrasi pada pengurusan anak-anak kami, dan juga pada karir, di karenakan kondisi mental saya yang sedang sangat labil (kadang damai, kadang sangat sedih), dan juga karena ingin menjaga stabilitas mental anak-anak kami (walau mereka menerima perceraian orang tua mereka dengan baik). Namun di sisi lain saya paham betul dan mengakui bahwa pernikahan adalah setengah agama dan hukumnya bisa sunnah, bahkan bisa wajib bagi kondisi saya. Saya tetap berdoa pada Allah agar dikirimkan jodoh baru yang baik, cocok, dan menyenangkan kedua pihak dan anak-anak kami, namun saya sendiri merasa sangat belum siap mental, walau mungkin siap finansial. Hal ini juga pernah terucap beberapa kali. Apakah termasuk keharaman? Apakah saya sudah menentang syariat?

11. Apakah diperbolehkan bagi saya dan mantan istri saya untuk bertemu di tempat umum yang mudah terlihat orang lain dan tidak memungkinkan terjadinya zina, namun tanpa dia ditemani mahram atau membawa teman perempuan yang tsiqah? Seperti di kantor, di kantor klien, atau di tengah restoran atau mall, atau di rumah saudara saya saat terjadi kumpul keluarga (ada istri kakak saya dan kakak perempuan saya), dengan membawa anak-anak kami? Dan juga memperhatikan adab pergaulan sesuai syariat

12. Beberapa waktu yang lalu, saya mesti menemani klien saya melihat-lihat beberapa resor untuk kepentingan pekerjaan. Namun sesudahnya saya di bawa ke sebuah wine house. Saya sudah berusaha mengalihkan tempat meeting ke tempat yang tidak menyajikan khamr, namun beliau ngotot. Karena saya harus mempresentasikan pekerjaan saya, saya terpaksa mengikuti, walau saya ragu apakah kebutuhan presentasi saya termasuk darurat (sebenarnya saya memang sangat memerlukan proyek tersebut). Pekerjaannya sendiri jauh dari hal yang bersifat khamr, karena berhubungan dengan toko baju dan toko coklat, dan pada section took baju nya pun saya berusaha mengubah line produknya menjadi baju muslim. Apakah saya berdosa? Saya jelas mengakui haramnya khamr, apakah tindakan saya mengikuti klien tersebut termasuk menghalalkan yang haram?

13. a) Saat sedang di wine house tersebut, teman saya menawarkan saya untuk mencari masjid untuk shalat. Saya saat itu tahu bahwa masjid terdekat berada jauh, dan waktu saya tidak banyak. Saya tahu saya seharusnya mengutamakan shalat, tapi yang terjawab adalah kata ‘Gampang’. Saya segera menyesali ucapan saya dan segera menambahkan, “Seharusnya saya memang shalat dulu.” Saya segera bersyahadat. Apakah kata-kata saya termasuk kekufuran?

Ucapan tersebut keluar reflex, dan saya benar-benar tidak bermaksud meremehkan shalat, murni karena yang terpikir oleh saya saat itu adalah jarak dan waktu, walau ada rasa lelah karena saya belum tidur sejak malam sebelumnya. Saya tentu mengakui wajibnya shalat fardhu, dan saya merasa berdosa berkata demikian, dan juga berdosa karena kemalasannya.

b) Sesudah menuliskan pertanyaan 13 a. di atas, saya mengingat lagi kejadian tersebut dan kata yang saya khawatirkan tersebut terucap lagi. Segera saya hentikan di tengah kata. Apakah termasuk kekufuran na’udzubillahi mindzalik?

c) Saya bahkan takut menyebut kata ‘kekufuran tersebut’. Apakah berdampak hukum?


Mohon jawaban dan penjelasannya. Terima kasih

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Hormat saya,

JAWABAN

1A. Boleh selagi tidak terjadi khalwat. Baca detail: Hukum Kholwat

1b. Halal

1c. Halal.

3aa. Istri meminta cerai tidak berdosa. Yang penting selama masih menjadi istri dia selalu taat pada suaminya dalam hal yang bukan maksiat. Baca detail: Istri Minta Cerai karena Tak Cinta

3ab. Lihat poin 3aa. Kalau soal ada perasaan pada orang lain, maka selagi itu masih dalam hati maka tidak dihukumi dosa. Baru dianggap dosa apabila dia melakukan hal-hal yang haram dengan dia.

3b. Komunikasi non-fisikal seperti via internet dan telpon tidak masalah.
3c. Tidak termasuk

4a. Karena anda akan berdua tinggal di rumah yang berbeda, maka tidak menjadi masalah. Asalkan menghindari terjadinya kholwat. Adanya kedua anak di tengah anda berdua itu termasuk menghindari kholwat.

4b. Ya, boleh. Yang paling berhak mengasuh adalah ibunya selagi belum menikah. Apabila ibunya sudah menikah, maka status kepengasuhan antara bapak dan ibu sederajat. Artinya, sama-sama berhak. Bukan berarti si ibu dilarang mengasuh anak kalau menikah lagi.
Hadits Nabi menyatakan:

عن عبد الله بن عمر أن امرأة أتت رسول الله صلى الله عليها وسلم فقالت يا رسول الله إن ابني هذا كان بطني له وعاء وحجري له حواء وثديي له سقاء وزعم أبوه ‏أنه ينزعه مني فقال: " أنت أحق به ما لم تنكحي"
‏‏

Artinya: Dari Ibnu Umar seorang wanita yang bercerai datang ke Rasulullah (bertanya tentang masalah putranya apakah bersama ibu atau bapaknya.) Nabi bersabda: "Engkau (istri) lebih berhak mengasuh selagi belum menikah lagi." (HR Ahmad dan Hakim. Menurut Dzahabi hadis ini sahih)

Hadis di atas menjelaskan bahwa (a) ibu lebih berhak mengasuh selagi belum menikah lagi; (b) apabila si ibu menikah lagi maka kedudukan ayah dan ibu statusnya sama. Dalam hal ini maka keputusan diserahkan pada anak mau ikut siapa. Demikian penjelasan Azimabadi dalam Aunul Ma'bud, hlm. 6/267. Teksnya sbb:

قال في النيل : في الحديث دليل على أن الأم أولى بالولد من الأب ما لم يحصل مانع من ذلك كالنكاح لتقييده - صلى الله عليه وسلم - للأحقية بقوله ما لم تنكحي ، وبه قال مالك والشافعية والحنفية . وقد حكى ابن المنذر الإجماع عليه وقد ذهب أبو حنيفة إلى أن النكاح إذا كان بذي رحم محرم للمحضون لم يبطل به حق حضانتها . وقال الشافعي يبطل مطلقا لأن الدليل لم يفصل وهو الظاهر انتهى ملخصا .

Dalam hadis lain Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi menyuruh suami istri yang memperebutkan hak asuh anak untuk meminta anak memilih di antara keduanya. (Lihat, Aunul Ma'bud, 6/299):

فقال أبو هريرة اللهم إني لا أقول هذا إلا أني سمعت امرأة جاءت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا قاعد عنده فقالت يا رسول الله إن زوجي يريد أن يذهب بابني وقد سقاني من بئر أبي عنبة وقد نفعني فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم استهما عليه فقال زوجها من يحاقني في ولدي فقال النبي صلى الله عليه وسلم هذا أبوك وهذه أمك فخذ بيد أيهما شئت فأخذ بيد أمه فانطلقت به

4c. Boleh.

5aa. Tidak haram. Berbicara dengan lawan jenis bukan mahram melalui media online (non-fisikal) itu dibolehkan selagi masih menjaga kepatutan dalam berbicara. Apalagi itu dalam konteks konsultasi. Baca detail: Hukum Bicara dg Lawan Jenis lewat Telepon

5ab. Tidak termasuk.

5b. Tidak termasuk kalau dalam rangka konsultasi.

6a. Tidak termasuk qadzaf. Baca detail: Qadzaf dan Li'an

6b. Tidak berpengaruh apapun.

7. Tidak termasuk qadzaf.

8a. Tidak dapat terjadi.
8b. Tidak dapat.
8c. Tidak berdampak.
9. Tidak berdampak takfir.
10. Tidak menentang syariat. Tidak menikah itu boleh asal bisa menjaga syahwat. Imam Nawawi sampai wafatnya tidak menikah. Baca detail: Pernikahan Islam

11. Di ruang terbuka yang terlihat orang lain, sehingga tidak terjadi perbuatan maksiat, boleh.
8d. Tidak berdampak. Baca detail: Qadzaf dan Li'an

12. Tidak termasuk menghalalkan yg haram. Selagi anda ingkar dalam hati dan tetap mengharamkan khamar, maka anda masih termasuk pelaku nahi mungkar level ketiga yakni ingkar dg hati. Baca detail: Ideologi Amar Makruf Nahi Munkar

13a. Tidak kufur.
13b. Tidak kufur.
13c. Tidak berdampak. Baca detail: Mengatasi was-was Kufur

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.