September 23, 2019

Selalu Was-was, Bagaimana Cara Menyembuhkannya?

WAS-WAS OCD

Bismillahirrahmanirrahiim

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yang terhormat,
Dewan Pengasuh dan Majelis Fatwa
Pondok Pesantren Al-Khoirot, Malang


1. Maaf, pertanyaan ini mungkin agak mengulang pertanyaan saya sebelumnya dari konsultasi Khawatir dan Syirik tanpa sadar, nomor 12C. Namun baru saat ini saya ingat detilnya. Dan karena bagi saya kasus ini sangat rumit dan mengkhawatirkan, saya bermaksud menjabarkan situasinya secara kronologis.

- Mulai bulan Januari/Februari 2018, saya terserang penyakit was-was akut, dan mulai banyak membaca artikel fikih di internet. Sayangnya saya banyak membaca artikel Wahabi.

- Antara Februari - awal Mei, saya membaca tentang nama yang di larang. Di sini saya menjadi salah paham dan berpikir bahwa nama Lathif tidak boleh digunakan tanpa awalan Abd'. Sebenarnya sebelumnya saya pernah membaca pada buku Asma'ul Husna yang disusun Prof. Quraish Shihab, tentang orang dengan ciri tertentu dipanggil dengan nama Lathif tersebut. Mungkin (saya tidak ingat) pada periode Feb - awal Mei tersebut saya juga membaca ulang keterangan tersebut. Namun entah kenapa, mungkin lupa, ragu, ilmunya tidak nempel atau sesuatu, karena saya tidak menemukan nama Lathif tersebut sebagai nama yang boleh dipakai manusia (ketika mencoba mencari tahu di internet), saya berpikir bahwa nama tersebut terlarang bagi manusia tanpa awalan. Mungkin saya sempat mendiskusikan hal terzrbut dengan istri

- Tanggal 4 Mei, setelah kerancuan masalah status akad 11 tahun lalu (perkara hak wali ayah mertua) saya dan istri menjalani tajdidun nikah.

Pada hari yang sama (4 Mei 2018) di pagi hari, setelah tajdidun nikah. Saya mendiskusikan lagi masalah nama tersebut dan melarang istri saya memanggil anak kami Lathif katena secara rancu berpikir hal tersebut dilarang. Saat ini, saya sepenuhnya dalam keadaan terlupa tentang tulisan di buku Prof. Quraish Shihab tentang julukan lathif bagi orang tersebut.

Sore harinya kami membahas lagi perkara tersebut. Sekali lagi saya secara rancu melarang penggunaan nama Lathif tersebut. Bahkan agak berkeras. Saat ini sebenarnya saya setengah ingat (walau samar tentang tulisan Prof. Quraish Shihab tersebut). Akhirnya kami bersepakat akan menanyakan hal tersebut.
Sesudah pembicaraan, saya memeriksa lagi buku Prof. Quraish Shihab (Asma'ul Husna, penerbit Lentera Hati) yang membahas hal tersebut. Dan memang ada keterangan tentang nama lathif sebagai julukan orang yang memiliki ciri tertentu. Saat itu was-was saya sedang kumat parah, sehingga saya merasa sudah melakukan kemurtadan. Saya pun bersyahadat berkali-kali.

Malam harinya saya membaca-baca artikel, dan karena tidak mendapati nama Lathif di daftar nama Allah yang boleh digunakan manusia (tanpa alif lam) saya sekali lagi berpikir secara rancu bahwa nama tersebut terlarang. Saya juga terus bersyahadat.

- Tanggal 5 Mei 2018 subuh, istri saya marah besar tentang hal lain (yang juga berkaitan erat dengan was-was saya dan doktrin Wahabi) hingga ia menekan saya, hingga terucaplah satu lafadz sharih.

Saya masih terus bersyahadat beberapa belas kali setiap hari.


- Tanggal 4 Juni 2018, sekitar pukul 7 pagi kami rujuk. Sebelumnya kami berdua bersyahadat.

- Tanggal 4 Juni 2018, pukul 12 siang lebih (hampir pukul 1) saya menerima jawaban KSIA tentang bolehnya menggunakan nama Lathif. Saya pun bersegera meluruskan pandangan saya, dan bersyahadat lagi.

- Sesudah hari itu saya beberapa kali mengulang kata rujuk pada istri. Salah satunya beberapa hari sesudah Idul Fitri, juga setelah kami berdua bersyahadat.

Pertanyaannya bukan tentang kebolehan menggunakan nama Lathif, karena saya sudah paham dari jawaban KSIA bahwa dibolehkan.

Pertanyaannya adalah:

1A. Apakah perbuatan saya melarang penggunaan nama Lathif pada rentang Januari - awal Mei tersebut, dengan keadaan pernah membaca keterangan yan benar, bahkan mungkin membaca ulang hal tersebut pada waktu tersebut (tapi tidak paham/ragu/lupa) termasuk perbuatan murtad?

1B. Apakah perbuatan saya melarang penggunaan nama Lathif tersebut pada tanggal 4 Mei 2018, pada pagi hari, sore, dan malam hari nya, dengan keadaan yang saya jelaskan di atas merupakan perbuatan murtad?

1C. Apakah rujuk saya (yang didahului syahadat) tanggal 4 Juni jam 7 pagi, sebelum meluruskan pandangan saya tentang masalah ini (karena belum mendapatkan jawaban KSIA, yang datang hampir 6 jam kemudian) dihitung sah?

1D. Ataukah baru pengucapan sesudah tanggal 4 Juni, sesudah pandangan saya diluruskan KSIA yang dihitung sah?

Demi Allah, tidak pernah ada maksud saya mengubah-ubah hukum Allah.

2. Karena pengaruh doktrin Wahabi, selama masa was-was saya sangat parah, sebelum mulai berkonsultasi dengan pihak Al Khoirot, saya banyak melakukan tindakan berlebihan, dengan melarang hal-hal yang sebenarnya diperbolehkan. Umumnya hal-hal tersebut saya larang karena saat itu saya, yang terpengaruh doktrin Wahabi, berpikir bahwa hal-hal tersebut termasuk syirik, bertentangan dengan akidah, mengada-adakan sesuatu yang tidak diciptakan Allah, atau termasuk mendekati/menyetujui maksiat. Saya bahkan pernah mengganti nama anak anak saya, karena namanya merupakan nama biara/kuil kafir. (Nanterra, kuil/biara di Perancis)
Bahkan saya pernah melarang anak saya memakai celana piama (tidak bergambar apa-apa) karena nerupakan setelan dari kaus bergambar transformer. Memang inti cerita seri film transformer banyak berkaitan dengan sesuatu yang sangat tidak sesuai akidah Islam.
Hampir semua salah paham saya tentang masalah ini, diluruskan Al Khoirot sesudah tanggal 4 Juni 2018.

Pertanyaannya:

2A. Apakah tindakan saya yang terpengaruh doktrin wahabi ini, (walau mungkin yang saya lakukan bahkan melebihi/lebih parah dari yang mereka ajarkan/maksudkan) termasuk kekufuran?

2B. Apajah rujuk saya tanggal 4 Juni, yang didahului syahadat, tapi masih belum memiliki pandangan yang benar tentang masalah-masalah yang saya larang-larang tersebut (padahal sebenarnya diperbolehkan) karena belum mendapat koreksi pandangan/pengwtahuan dari KSIA, dihitung sah?

3. Seperti saya sampaikan sebelumnya, saya sering khawatir ada 'racun' yang menyisip saat mengucapkan/membaca/mendengar/menjawab kalimat yang ada kata lafadz kinayahnya, yang sebenarnya diucapkan dalam konteks aman.
Kemarin saat bermain sebuah game handphone, saya membaca pertanyaan "Are you sure you wanna quit?"
Sebetulnya saya sudah/sedang melafalkan niat saya dalam hati untuk mempertahankan pernikahan saat saya menekan icon [x] yang berarti mengiyakan. Namun pada saat yang sama ada racun yang menyisip?

3A. Apakah ada dampak hukumnya pada pernikahan? (Maaf bila pertanyaan ini sebenarnya sudah ditanyakan dan dijawab, saya memang bingung)

3B. Ataukah 'racun' tersebut adalah was-was yang seharusnya langsung saya abaikan saja?

4. Kemarin sebenarnya was-was saya sedang naik, saat anak sulung saya memaksa saya membacakan buku dongeng. Tiba pada satu titik saya melihat kata 'Ibu'. Saya sudah langsung kbawatir. Saat saya membacakan keras kata tersebut, tiba-tiba yang terlintas adalah bayangan istri saya. Saya segera menaruh buku dongeng tersebut.
Apakah berdampak hukum?

5A. Apakah saya benar bahwa lintasan apapun yang tidak diucapkan tidak ada dampaknya bagi pernikahan secara mutlak?

5B. Dan bagi orang normal, semua hal yang bukan lafadz yang membentuk kata yang bisa dimengerti dalam bahasa tertentu tidak berdampak secara mutlak?

5C. Dan apakah saya benar bahwa semua ucapan dzikir/doa harian seperti syahadat, basmalah, hamdalah, atau apapun tidak berdampak pada pernikahan, apapun keadaan batin yang mengucapkannya?

5D. Apakah ketika menjawab sebuah pernyataan/pertanyaan dengan kata lafadz kinayah dalam konteks aman, dibutuhkan kesadaran penuh bahwa konteks yang digunakan tersebut adalah aman untuk menjadikan jawaban (netral seperti ya/tidak/mungkin, atau kalimat tanpa kata lafadz kinayah) untuk menjadikannya mutlak tidak berdampak apapun keadaan batin si penjawab? Ataukah berlaku otomatis, meski misalnya si penjawab karena was-was atau paranoia, ketakutan bahwa konteksnya tidak aman?

5E. Apakah menyukai lagu yang lafadz kinayah di dalamnya, tanpa secara mengingat bahwa lagu dihukumi sebagai cerita, bisa berdampak hukum?

6. Bolehkah saya tahu hukum melakukan gerakan yoga, hanya gerakan dan teknik pernapasannya saja? bukan humming atau meditasinya.

7. Saya pernah membaca dari artikel yang ada pada sebuah situs Wahabi, bahwa bacaan sirr dalam shalat harus terdengar telinga sendiri dan tidak boleh berupa bisikan (suara angin). Apakah benar?

8. Saya berprofesi sebagai konsultan brand/marketing communication.
Pada bulan Ramadhan kemarin, saya diminta mengerjakan pekerjaan untuk sebuah merk kopi 'Ephraim/Efraim'. Pemiliknya yang merupakan seorang aktivis gereja, mengaku bahwa nama tersebut ia dapat dari bibel. Saya menolak pekerjaan tersebut karena khawatir saya malah membesarkan sebuah merek kristen yang dari awal perancangannya dimaksudkan sebagai penyebaran nilai-nilai kristen.

8A. Apakah saya salah?

8B. Apakah saya termasuk berdosa mengharamkan yang halal?

8C. Hal ini saya lakukan sebelum tanggal 4 Juni (waktu rujuk saya). Apakah rujuk saya tetap sah?

9. Nama tengah istri saya adalah Januari (nama bulan yang terambil dari kara janus, sesembahan kafir). Saya biasanya memanggil dia 'Jay' yang merupakan singkatan nama tersebut. Apakah boleh?

Maaf bila pertanyaan saya tidak terstruktur dengan baik atau bertele-tele.

JAWABAN

1a. Tidak. Tidak termasuk.
1b. Bukan.
1c. Kami agak lupa kasus ini yg mana? Yg jelas kalau memang sah talaknya dan dalam masa iddah, maka rujuknya sah cukup dengan ucapan 'Aku rujuk'.
1d. Kami juga tidak ingat soal ini. Intinya, kalau yang pertama sudah sah, maka tidak perlu rujuk lagi.

2a. Tidak.
2b. Kalau rujuknya disebabkan oleh talak yang sah, maka rujuknya juga sah. Kalau rujuknya karena talak yang sebenarnya tidak terjadi (hanya asumsi), maka rujuknya tidak dianggap dalam arti nikahnya tetap sah.

3a. Tidak ada.
3b. Ya, abaikan saja.

4. Tidak.

5a. Benar.
5b. Benar.
5c. Benar.
5d. Berlaku otomatis. Tidak ada dampak apapun
5e. Tidak berdampak.

6. Hukumnya boleh. Kaidah ulama ahli fikih menyatakan: Hukum asal dari segala sesuatu (masalah muamalah) adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya (الأصل في الأشياء الإباحة حتي يدل الدليل علي تحريمه). Dan tidak ada perbuatan dalam yoga yang melanggar syariah.
Baca detail:
- Kaidah Fikih
- Hukum Olahraga Bela Diri
- Hukum Membungkuk ala Jepang

7. Benar menurut sebagian ulama dalam madzhab Syafi'i dan Hanbali (Wahabi cenderung pada fikih Hanbali walaupun lebih mengutamakan pandangan pribadi dari Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdil Wahab yang non madzhab).
Imam Nawawi (madzhab Syafi'i) dalam Al-Majmuk, hlm. 3/256, berkata:

وأدنى الإسرار أن يسمع نفسه إذا كان صحيح السمع ولا عارض عنده من لغط وغيره، وهذا عام في القراءة والتكبير والتسبيح في الركوع وغيره، والتشهد والسلام والدعاء ـ سواء واجبها ونفلها ـ لا يحسب شيء منها حتى يسمع نفسه إذا كان صحيح السمع ولا عارض

Artinya: Paling sedikitnya bacaan pelan adalah bisa didengar sendiri apabila pendengarannya normal dan tidak ada suara lain yang mengganggu. Ini meliputi bacaan takbir, tasbih pada rukuk dan lainnya, bacaan tahiyat, salam dan doa. Baik bacaan wajib atau sunnah. Tidak dianggap bacaannya kecuali dapat didengar sendiri apabila normal pendengarnnya dan tidak ada gangguan suara orang lain.

Namun, madzhab Maliki berpendapat berbeda. Menurut madzhab Maliki, sudah sah bacaan shalat kita apabila lisan dan bibir kita bergerak mengeluarkan huruf (walaupun tidak bersuara)

Khalil Al-Mishri (madzhab Maliki) dalam kitab Mukhtashar Khalil, hlm. 3/318, menyatakan:

وخامسها: فاتحة أي قراءتها بحركة لسان على إمام وفذ أي منفرد، لا على مأموم، هذا إذا أسمع نفسه، بل وإن لم يسمع نفسه، فإنه يكفي في أداء الواجب

Artinya: Yang kelima (rukun shalat) adalah membaca Al Fatihah dengan gerakan lisan bagi imam atau bagi yang shalat sendirian. Tidak bagi makmum. Ini apabila (bacaannya) dapat didengar sendiri. Bahkan seandainya tidak mendengar sendiri itu sudah cukup dalam memenuhi kewajiban.
Baca detail: Shalat 5 Waktu

8a. Itu pilihan. Menerima pekerjaan itu boleh, menolak juga boleh. Bekerjasama bisnis dengan non-muslim itu tidak dilarang sebagaimana Rasulullah pernah beberapa kali berbisnis dengan Yahudi sampai di akhir hayatnya. Yang dilarang adalah apabila berbisnis dengan nonmuslim harbi (yang sedang berperang dengan muslim) itupun yang terkait masalah strategis seperti jual beli senjata. Itupun apabila dengan nonmuslim yang sedang berperang dengan bangsa muslim. Baca detail: Hukum Bisnis dengan Non Muslim

8b. Tidak, karena sifatnya mubah, bukan wajib. Sehingga itu menjadi pilihan untuk melakukan atau meninggalkannya. Demikian juga dengan masalah sunnah. Karena sunnah itu bukan wajib, maka anjurkan untuk melakukan tapi tidak dilarang kalau meninggalkannya. Seperti meninggalkan shalat sunnah, tidak memelihara jenggot (menurut pendapat yang menganggapnya sunnah), dll.
Baca detail:
- Shalat Sunnah Rawatib
- Hukum Memelihara Jenggot

8c. Tentu saja tetap sah sebagaimana sudah kami jelaskan sebelumnya.

9. Boleh. Tidak semua yang menyerupai orang kafir itu dilarang atau haram. Yang haram itu menyerupai di bidang ritualnya. Tapi tidak dilarang apabila menyerupai di bidang tradisi. Baca detail: Halal Haram Serupa Orang Kafir

WAS-WAS (2)

1B. Karena pada pertanyaan utama, saya memberi tanggal yang salah, izinkan saya mengulang pertanyaannya:

Apakah perbuatan saya melarang penggunaan nama Lathif tersebut pada tanggal 4 Mei 2018, pada

- pagi hari (dalam keadaan lupa total tentang tulisan yang membolehkan pengggunaan nama Lathif),

- sore hari (dalam keadaan setengah ingat dengan tulisan tersebut), dan

- malam hari nya (dalam keadaan sudah membaca ulang tulisan tersebut, namun ketakutan karena tidak menemukan nama Lathif dalam daftar nama Asma Allah yang boleh digunakan tanpa abd'),

dengan keadaan yang saya jelaskan di atas merupakan perbuatan murtad, karena naudzubillahi min dzalik mengharamkan hal yang halal? Mengingat nama Lathif sebenarnya boleh digunakan tanpa 'abdu?

1C. Pengucapan lafadz sharih tanggal 5 Mei 2018 bukan merupakan was-was.
Apakah rujuk saya tanggal 4 Juni (atau tanggal 3 Juni, saya agak ragu) dalam keadaan belum mengubah pandangan saya tentang nama Lathif, karena belum mendapat jawaban KSIA mengenai hukum yang benar terkait nama Lathif, dianggap sah? Karena berarti saat rujuk tersebut saya belum mengubah pandangan saya yang salah (belum bertaubat) terkait hukum nama Lathif tersrbut. Apakah tetap sah.

1E. Saat menulis pendalaman 1C di atas, saya sempat salah menulis '... tanggal Mei 2014' (seharusnya Mei 2018). Pada Mei 2014 tentunya tidak terjadi apa-apa. Saya tidak bermaksud menyatakan ada kejafian pada Mei 2014. Apakah salah tulis saya berdampak hukum?

Saya juga sempat tidak secara khusus melafalkan dalam hati niat saya bertanya/bercerita saat menuliskan pendalaman no. 1C tersebut. Apakah berdampak hukum? Apakah konteks bercerita berlaku otomatis?

4. Kemarin saat membicarakan rencana bisnis yang sedang kami (saya dan istri saya) siapkan, tercetus ide merk MilkBro (dari Brothers), awalnya tidak terfikir apa-apa. Tapi kemudian tercetus kekhawatiran bahwa merk tersebut bisa seakan pernyataan yang saya khawatirkan takut berdampak pada pernikahan kami. Saat sedang menimbang bahaya/tidaknya menggunakan merk tersebut, frase tersebut ('MilkBro') terucap lagi oleh saya. Saya tidak ada niat zhihar.
Apakah berdampak hukum?

8A. Maksud saya, saya menolak pekerjaan tersebut karena takut terseret menyebarkan nilai-nilai kristen lewat penyebaran/kampanye publisitas brand 'Efraim' tersebut. Apakah saya sudah termasuk mengharamkan yang halal?

9. Saya sempat melarang anak bungsu saya memanggil kakaknya dengan format 'Brother Keaton'. (Keaton adalah nama anak sulung saya) karena seperti cara orang kristen memanggil biarawan katolik (seperti Brother Francis, Brother Andreas, Brother Ignacio dll.). Tapi saya katakan sesudahnya, bahwa saya sebenarnya tidak mengetahui hukum haram/halalnya, dan saya bermaksud menanyakannya.

Apakah perbuatan saya melarang anak bungsu kami memanggil anak pertama kami dengan format tersebut, termasuk mengharamkan yang halal? Apakah termasuk kemurtadan?

10. Ada lagu pop jepang (murni pop, bukan lagu keagamaan) yang saya dan istri saya sukai. Perkaranya dalam lagu tersebut ada kata 'kami-sama' yang merujuk pada sesembahan orang shinto.

10A. Bolehkah kami mendengarkan lagu tersebut?

10B. Istri saya sempat beberapa kali menyanyikan lagu tersebut lengkap dengan menyebut kata 'kami-sama' tersebut karena dia pikir kata tersebut merujuk pada hal lain. (Dia salah lihat/slah baca saay melihat translasi Japan to English nya). Apakah istri saya berdosa?

10C. Bolehkah menyanyikan lagu tersebut bila tidak menyebutkan kata 'kami-sama' tersebut?
Sisa isi lagu nya netral, bukan tema keagamaan, berdasar translasi yang saya baca.

JAWABAN

1B. Tidak berakibat murtad karena itu timbul dari a) ketidaktahuan anda; dan b) kehati-hatian Anda.
1c. Tetap sah.
1e. Tidak ada dampak (untuk kedua kasus).

4. Tidak ada dampak. Juga seandainya nama itu dipakai nama perusahaan tidak akan ada dampak.

8a. Tidak termasuk mengharamkan yang halal. Karena berbisnis dengan nonmuslim itu pilihan. Boleh dilakukan dan boleh tidak.

9. Tidak apa-apa. Boleh memanggil dengan sebutan demikian. Dalam tradisi Arab juga bisa menyebut nama Akhi + nama. Seperti "Akhi Hasan" dst. Tidak perlu fobia dengan hal-hal seperti ini. Agar Islam anda bisa lebih menyenangkan (tidak fobia). Juga, tidak termasuk kemurtadan karena hal ini tidak diwajibkan dalam Islam. Ingat kaidah ini: "Yang dianggap merubah hukum adalah apabila membolehkan perkara yang haram, atau melarang perkara yang wajib di mana kedua hukum itu sudah disepakati ulama." Baca detail: Halal Haram Serupa Orang Kafir

10a. Boleh asal rujukannya dirubah tidak sebagaimana maksud dari lagu aslinya. Misalnya, anggap 'kami' itu rujukannya pada kami sesama muslim.
10b. Tidak dg syarat seperti 10a.
10c. Boleh menyanyikan semuanya dg syarat seperti disebut di 10a.

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.