August 20, 2019

Membagi Warisan Secara Sama Rata

Membagi Warisan Secara Sama Rata


Bolehkah membagi warisan secara sama rata, misalnya antara anak lelaki dan anak perempuan? Dengan kata lain, apa hukumnya membagi warisan tanpa mengikuti aturan hukum waris Islam?

Bab VII: Membagi Warisan Secara Sama Rata

Harta warisan boleh dibagikan kepada ahli waris secara sama dan sukarela atau tidak berdasarkan ketentuan hukum waris Islam yang berlaku asalkan terpenuhi dua syarat:
Pertama, seluruh ahli waris yang berhak mendapat warisan harus berakal sehat, dewasa, dan rasyid (pintar membelanjakan harta).
Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah dijelaskan[1]:

أن يكون جميعُ الورثة بالغين عاقلين راشدين، والرشد عند جمهور الفقهاء من الحنفية والمالكية والحنابلة: حسن التصرف في المال، والقدرة على استثماره واستغلاله استغلالاً حسناً. وعند الشافعية: صلاح الدِّين والصلاح في المال. والمقصود من كل ذلك أن يكون الورثة جميعاً أهلاً للتصرفات المالية، حتى يعتد بتصرفهم شرعاً.

“Seluruh ahli waris harus baligh (dewasa), berakal sehat, dan rasyid (pintar membelanjakan harta). Rasyid menurut jumhur ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali adalah mampu membelanjakan harta dan bisa memperdagangkannya dengan baik. Menurut madzhab Syafi’i rasyid artinya baik agamanya dan baik dalam harta. Intinya, seluruh ahli waris harus hali dalam membelanjakan harta menurut definisi yang syar’i.”
Kedua, seluruh ahli waris harus rela atas keputusan tersebut dengan sepenuh hati, tanpa paksaan atau perasaan segan atau malu ketika menyetujuinya.
 Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah dikatakan:

 أن يكون التراضي حقيقياً، دونما إكراهٍ ولا إلجاءٍ ولا حياءٍ. [وذلك إنما يتحقق إذا كان"الرضا"سليماً، أي بأن يكون حراً طليقاً لا يشوبه ضغطٌ ولا إكراهُ، ولا يتقيد بمصلحةِ أحدٍ كرضا المريض، أو الدائن المفلس، وأن يكون واعياً، فلا يحول دون إدراك الحقيقة جهلٌ، أو تدليسٌ وتغريرٌ، أو استغلالٌ، أو غلطٌ أو نحو ذلك مما يعوق إدراكه. فمن عيوب الرضا الإكراه والجهل والغلط، والتدليس والتغرير، والاستغلال وكون الرضا مقيداً برضا شخص آخر

Kesukarelaan para ahli waris itu harus bersifat hakiki tanpa paksaan dan bukan karena segan, malu atau sungkan. Dan hal itu baru bisa terjadi apabila ‘sikap rela’ itu tulus. Artinya, para ahli waris dalam kondisi bebas tanpa dicampuri rasa terkungkung dan keterpaksaan dan tidak terikat dengan kemaslahatan seseorang seperti kerelaan orang yang sakit atau debitur yang bangkrut. Ahli waris juga harus betul-betul menyadari dan mengerti situasi yang terjadi dan apa yang dia lakukan. Tidak boleh mengambil keputusan tanpa memahami yang sebenarnya. Termasuk dari kecacatan ridho adalah terpaksa, tidak tahu, salah, penyesatan, penipuan,  eksploitasi dan kerelaannya terkait dengan kerelaan orang lain.”[2]





[1] Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 7/160.
[2] Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 7/160

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.