August 28, 2019

Menikah Tanpa Restu Orang Tua

MENIKAH TANPA RESTU ORANG TUA

Assalamu'alykum.
Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya konsultasikan ke Ustadz terkait pernikahan. Sebelumnya saya terangkan dulu kronologisnya, melihat permasalahan ini rumit, saya ceritakan kronologis apa adanya.


Saya adalah mahasiswa smester atas di Universitas Islam di Jogjakarta. Beberapa bulan yang lalu ada seorang akhwat yang menawarkan dirinya ingin menikah dengan saya dan serius untuk membina rumah tangga denga saya. Sebelumnya saya sudah sedikit mengenal akhwat tersebut, tapi hanya sebatas rekan dalam satu organisasi dakwah di Jogjakarta. Kurang lebih kami telah 8 bulan berorganisasi dalam satu wadah yang sama. Tetapi baru saling mengenal 4 bulan pasca pelantikan. Sebelumnya kami tak mengenal dan tak pernah berkomunikasi. Karena setiap rapat selalu ada hijab antara laki-laki dan perempuan. Dan kami mulai berkomunikasi selama 2 bulan. Dia akhwat yang baru hijrah kurang lebih 1 tahun sejak awal-awal 2017. Selama 2 bulan kami berkomunikasi, akhwat tersebut sering menanyakan perkara-perkara agama yang belum diketahuinya kepada saya, dan beberapa kali berdiskusi dan meminta solusi terkait masalah-masalah yang dihadapinya selama hijrah. Saya pun meresponnya dan memberikan jawaban-jawaban yang terbaik sesuai dengan kapasitas saya. Akhwat tersebut berumur 21 tahun (kuliah smester 6) dan saya 25 tahun.

Selama 2 bulan berkomunikasi, ternyata diam-diam akhwat tersebut menaruh hati ke saya dan melakukan survei terkait latar belakang dan karakter saya. Akhirnya setlah 2 bulan mengenal dan berkomunikasi dia pun mantap untuk menawarkan diri kesaya untuk dinikahi dan ingin mmbina rumah tangga dengan saya karena faktor agamanya. Sayapun merespon positif niat baik akhwat tersebut dengan menerima tawaran tersebut, karena selama 2 bulan itu pula, diam-diam saya juga menyukai akhwat tersebut dikarenakan kebulatannya dalam berhijrah serta ketaatannya dalam beragama. Kemudian saya mengajaknya untuk melakukan proses taaruf selama kurang lebih 2 bulan. Dan kami merasa cocok dan ada kesamaan satu sama lain, baik visi misi berumahtangga, tujuan berumah tangga, karakter satu sama lain, pemikiran dan prinsip satu sama lain,dan siap menerima kakurangan dan kelebihan satu sama lain. Si akhwat baru boleh diijinkan menikah stelah ia lulus S1 (Pertengahan 2019). Kami berdua pun siap bersabar dan menunggunya hingga lulus S1. Disisi lain saya pun berencana menemui orang tuanya.

Akan tetapi, sebelum saya menemui orang tuanya. Akhwat tersebut berkonsultasi dengan keluarganya terlebih dahulu. Ayah, kakak, dan adik merestui hubungan kami. Tetapi ibunya tidak merestui hubungan kami dan meminta putrinya tersebut untuk tidak melanjutkan taaruf dengan saya. Itu terjadi setelah ibunya si akhwat berkonsultasi dengan "simbah" (Simbah bukan berasal dari kluarga atau saudaranya, beliau bukan pula ustadz atau kyai, tapi dimasyarakat ia dipercayai untuk meruqyah dan mengusir gangguan jin. Dan dipercaya pula dalam memutuskan urusan lainnya termasuk soal jodoh), Setelah berkonsultasi tersebut ibunya langsung memarahi putrinya dan meminta untuk tidak berkomunikasi lagi dengan saya karena beberapa alasan, sebagai berikut:

Kriteria yang ibu untuk calon suami si akhwat sebelum berkonsultasi dengan "simbah" :
1. Ibunya mengutamakan calon untuk putrinya dari lulusan Angkatan (Tentara). Jika calon diluar dari angkatan, kemungkinan untuk direstui kecil. Sementara itu si akhwat tersebut tak menyukai kriteria yang ditawarkan ibu dan tetap pada pilihannya yakni dengan saya. Kalau pun diluar angkatan paling tidak calonnya taat beragama.
2. Calon harus punya tabungan nikah, atau minimal kontrakan rumah untuk putrinya setelah menikah.
3. Calon sudah mempunyai penghasilan yang mapan.
3. Calon harus lulusan S1.
4. Calon berasal dari status keluarga yang terpandang dimasyarakat.
6. Keluarga calon agamanya bagus (taat beragama).
7. Calon berasal dari jawa. Ibunya tak menginginkan calon dari putrinya berasal dari luar pulau jawa. Karena ditakutkan sulit untuk berkomunikasi.

Dari ke 7 syarat tersebut, 5 syarat insyaAllah saya sesuai dengan keriteria yang diinginkan si Ibu. No. 3 sedang diupayakan. Dan nomor 1 bisa didiskusikan lagi secara kekeluargaan.
Si akhwat pun berpikir bahwa ia dan saya ada harapan besar untuk direstui dan menikah.

Akan tetapi setelah ibunya si akhwat berkonsultasi dengan simbah, maka pikirannya pun mulai berubah. Dan mengikuti saran dari simbah. Berikut alasannya:

1. Stelah si akhwat tersebut menceritakan latar belakang keluarga saya: Ayah saya Ustadz. Salaf (InsyaAllah sudah punya status sosial yg baik dimasyarakat sekitar. Sedangkan ibu dan kakak serta adik-adik saya bercadar). Mendengar cerita tersebut Ibunya langsung menolak dengan alasan tak mau berbesan dengan orang yang bercadar dan terlalu menonjolkan ke islamannya. Karena stigma orang bercadar itu negatif dan keluarga besarnya masih awam agamanya. Ibunya menginginkan berbesan dengan keluarga yang biasa biasa saja tidak terlalu menonjolkan ke Islamannya.

2. Ibunya menginginkan berbesan dengan keluarga yang latar belakang organisasi masyarakatnya (ormas) sama yakni NU. Sedangkan background keluarga saya Salafi. Ibunya pun menolak, dengan alasan takut nanti banyak perselisihan terkait pemahaman agamanya (khilafiyah).

Sedangkan ibunya belum bertemu dan berkomunikasi dengan keluarga saya. Walaupun keluarga saya berlatar belakang salafi tapi mereka bisa menerima dan terbuka terhadap perbedaan khilafiyah. Karena dilingkungan ayah saya juga tidak ada masalah dengan masyarkat sekitar yang mayoritas NU. Bahkan terlihat harmonis dan rukun dengan tetangga sekitar. Disisi lain, besan dari kakak saya juga dari NU tulen, dan ayah saya merestuinya. Selain itu, Keluarga besar saya baik di banyumas dan cilacap mayoritas NU, tapi tetap rukun dan harmonis. Ayahku juga sering berjamaah dan menjadi makmum di Masjid yang notabene NU.

3. Ibunya menolak karena alasan jarak yang jauh. Akhwat berasal dari Rembang dan keluarga saya banyumas.

Dari ketiga faktor tersebut, alasan yang paling utama ibu menolak saya karena, ibunya tak ingin berbesan dengan orang yang bercadar.

*(Sedikit keterangan, sebelum berhijrah akhwat tersebut hanya mengenakan pakaian muslim yang biasa saja, kemudian mengenakan jilbab lebar. Dan akhirnya memutuskan untuk sepenuhnya berhijrah dengan mengenakan cadar, karena sebelumnya ia pernah 2 kali digoda oleh laki-laki dijalan dan ia merasa risi. Akhirnya ia memutuskan untuk berhijrah, dengan alasan tidak ingin menjadi fitnah bagi laki-laki dan menjaga kehormatannya serta agar tidak diganggu oleh laki-laki. Akan tetapi keputusannya bercadar tersebut tidak direstui oleh ibunya. Akhirnya ia hanya mengenakan cadar ketika di jogja itupun berharap ibunya tidak tau, sedangkan di rembang ia tidak mengenakan cadar tetapi tetap berbusana syar'i).

Lanjut ke topik,

Sebenarnya Ayah tidak mempermasalahkan besan berlatar belakang dari mana. Beliaupun menilai bahwa cadar adalah baik dan sunnah. Ayahnya bisa menerima perbedaan. Dan kriteria calon suami dari ayahnya hanya taat shalat 5 waktu, bekerja, dan siap menjaga putrinya. Kakak dan adiknya pun mendukung hubungan kami. Akan tetapi, dikeluarga akhwat dalam urusan pernikahan diserahkan sepenuhnya kepada ibu, keputusan final ada ditangan ibu. Jika ibunya tidak merestui maka pernikahanpun batal.

Ibunya pun memarahi putrinya tersebut dan memintanya untuk berhenti melanjutkan komunikasi dengan saya. Jadi anak jangan ngeyel. Kalaupun mau dipaksakan tetap menikah silahkan, tapi kedepan akan merasakan sendiri akibatnya. Demikian perkataan ibunya. Melihat respon ibunya, akhwat tersebut merasa shock dan down.

Kakaknya si akhwat tersebut sebelumnya juga menikah tetapi tidak direstui oleh ibunya. Alasan utamanya karena keluarga besan dari calon kakaknya tersebut agamanya kurang dan pekerjaan calon kakaknya diluar jawa. Karena beberapa alasan akhirnya terpaksa pernikahan kakaknya tetap dilangsungkan. Tetapi pasca menikah kakaknya sering berkonflik dengan ibunya sampai hari ini.

Si akhwat tersebut jadi bimbang dan takut mendurhakai ibunya. Akan tetapi diapun masih kekeh dengan pilihannya. Karena niat untuk berumah tangga dengan saya bukan karena faktor duniawi tapi karena agamanya, kesamaan dalam prinsip hidup. Itulah yang membuat si akhwat bersabar dan tetap kekeh untuk bertahan.

Untuk saat ini, kami tetap bersabar sampai si akhwat lulus kuliah dan terus berikhtiar serta berdoa. Berharap ada keajaiban dari Allah. Ia masih tetap bertahan untuk tetap menikah dan membina rumah tangga dengan saya.

Karena hasrat kami untuk menikah sangat tinggi, maka saat ini kami sepakat untuk tidak berkomunikasi dulu. Karena ditakutkan terjadi hal-hal yang dilarang agama di antara kami. Sembari menjaga diri, memperbaiki diri dan memantaskan diri, sampai ia lulus kuliah.

Pertanyaannya:
1. Apakah yang dilakukan si Ibu terhadap putrinya sesuai dengan syariat?
2. Bagaimana syariat Islam menyelesaikan persoalan tersebut?
3. Jika si akhwat terus memaksa dan menikah dengan saya apakah si akhwat tersebut termasuk golongan anak yang durhaka kepada ibunya?
4. Untuk saat ini sikap apa yang harus kami lakukan terhadap kondisi yang seperti itu?
5. Apakah boleh tetap menikah tetapi menggunakan wali hakim?


Sekian terimakasih. Syukron Jazakallah Ustadz. Mohon maaf terlalu panjang.

JAWABAN

1. Kalau dilihat dari sudut bahwa kesepadanan dalam pernikahan termasuk bagian dari syariah, maka alasan beliau sesuai dengan syariat dalam beberapa hal. Baca detail: Sepadan dalam Pernikahan

2. Ada dua pilihan dalam hal ini: menghentikan hubungan atau meneruskan hubungan. Dua-duanya boleh secara syariah. Menghentikan hubungan berarti dia betul-betul berbakti pada ibunya dan tidak mau menyakiti hatinya. Baca detail: Hukum Taat dan Berbakti pada Orang Tua

Sedangkan meneruskan hubungan sampai pernikahan itu tidak dilarang dalam Islam walaupun harus berlawanan dengan pilihan orang tua. Karena, ada batasan tertentu bagi orang tua dalam mengatur anaknya. Termasuk orang tua tidak bisa memaksakan anaknya dalam menentukan jodohnya. Baca detail: Batasan Taat Dan Durhaka Pada Orang Tua

3. Tidak durhaka. Namun demikian, dia tetap dituntut untku menjaga adab dan kesantunan serta terus menjaga silaturahmi pada ibunya. Baca detail: Batasan Taat Dan Durhaka Pada Orang Tua

4. Menunggu dengan sabar sambil berusaha melakukan pendekatan pada pihak orang tua wanita. Komunikasi diperlukan terutama karena imej Salafi di kalangan NU itu sangat buruk (intoleran, suka mensyirikkan dan membid'ahkan, dll). Untuk ini tidak ada salahnya anda perlu belajar tentang NU khususnya dan Ahlussunnah secara umum. Karena, kami berasumsi keberatan sang ibu yang paling kuat karena faktor Salafi tersebut. Baca detail: Kriteria Ahlussunnah Wal Jamaah

5. Boleh. Namun mengapa pakai wali hakim? Bukankah ayahnya setuju? Pastikan meminta ijin pada ayahnya. Kalau ayahnya tidak setuju, baru boleh memakai wali hakim. Ini prosedur yang disetujui mayoritas ulama. Baca detail: Menikah dengan Wali Hakim

0 komentar:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.